Bahaya
Laten White Supremacy
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 10 Maret 2017
Sejarah kelam dunia kita tidak bisa dilepaskan dari
tendensi "rasialisme" yang ada pada sebagian kalangan manusia.
Sejarah pertarungan antara kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-bathil) juga
diawali salah satu oleh tendensi rasisme ini. Iblis menolak memuliakan Adam
karena alasannya "dia lebih baik" (khaer) dari Adam. Dan jelas
alasan yang dipakai adalah alasan material. Lebih tegasnya Iblis beralasan
bahwa penciptaannya lebih baik karena tercipta dari api (naar). Sementara
Adam tercipta dari tanah (thiin).
Perasaan superioritas sebagian manusia karena
"material basis" (dasar material), seperti warna kulit, ras, etnis,
dan seterusnya, telah menjadi penyebab banyak kesengsaraan (miseries) dan
kerusakan (destruction) dalam kehidupan manusia.
Jika kita kaji lebih jauh, perang dunia pertama maupun
kedua disebabkan terutama karena adanya tendensi superioritas kulit putih
Eropa saat itu di bawah komando Hitler. Bangsa Yahudi dianggap imigran,
berpenetrasi ke dalam kehidupan mereka, dan bahkan menjadi pengusaha-pengusaha
sukses, ilmuwan, dan lain-lain.
Puncak dari semua itu adalah pembantaian bangsa Yahudi di
seluruh daratan Eropa. Mereka dikirim ke kamp-kamp, disiksa, dan diperlakukan
tidak manusiawi. Mereka sejatinya ingin dibumihanguskan, sehingga sejarah mereka
terhapus di atas dunia ini.
Dari sekian negara-negara Eropa saat itu, hanya Albania
yang sebaliknya memberikan perlindungan penuh kepada warga Yahudi. Dan
Albania adalah negara mayoritas Muslim saat itu. Mereka melindungi warga
Yahudi dengan satu alasan: "Karena itulah yang seharusnya kami
lakukan".
Mungkin mereka tidak memiliki ilmu Islam yang mumpuni saat
itu, sehingga mereka tidak dengan tegas mengatakan: "Inilah ajaran Islam
yang kami yakini". Tapi sikap mereka yang melindungi mereka yang terzalimi
dan termarjinalkan itu adalah ekspresi iman yang ada dalam dada mereka.
Sejarah panjang penjajahan bangsa Eropa di berbagai
belahan dunia, khususnya Asia dan Afrika, juga sejatinya tidak lepas dari
tendensi 'superioritas' ras ini. Alasan ekonomi dan kekuasaan politik itu
memang menjadi pendorong. Tapi tampaknya karena perasaan lebih sebagai ras
inilah yang menjadi dasar utama.
Penjajah Eropa di negara-negara belahan Afrika bahkan
membawa budak-budak mereka ke bumi Amerika. Mereka dipaksa melakukan kerja
(kerja paksa) dan dirampas hak-hak kemerdekaan mereka. Tidak sedikit juga di
antara mereka datang dari Afrika sebagai penganut agama Islam. Tapi dalam
perjalanan hidup mereka sebagai budak mereka dipaksa untuk meninggalkan
keyakinan dan jati diri mereka.
Dalam perjalanan sejarahnya Amerika tidak immune
(terbebas) dari tendensi ini. Perjuangan warga berkulit warna lain selain
putih, yang biasa dikenal dengan people of color selalu saja mendapat
perlakukan yang tidak sejajar dengan sesama warga lainnya (baca kulit putih).
Walaupun sejatinya Konstitusi Amerika jelas dan tegas
menjamin equalitas ini, justice for all, tapi tendensi superioritas inilah
yang menjadi penghalang utama dari implementasi idealisme konstitusi. Di
jalanan, di mal-mal, di perkebunan, bank-bank, bahkan di
perkantoran-perkantoran masih saja terjadi diskriminasi karena SARA.
Diskriminasi ini bahkan tidak jarang terasa sistemik,
sehingga terjadi pilih kasih dalam pembangunan di antara kantong-kantong
warga putih dan warna (color). Hal ini masih terlihat di kota Manhattan, New
York, di mana pembangunan kota tampak tidak imbang antara downtown, midtown,
dan uptown. Downtown dan midtown begitu mewah dengan pusat-pusat bisnis dan
apartemen mewah. Tapi uptown yang kebetulan umumnya dihuni oleh Afro Amerika
dan Hispanic nampak kumuh.
Perjuangan warga kulit hitam di era tahun 60-an barangkali
adalah saksi hidup dari tendensi rasialisme di Amerika ini. Di bawah komando
orang-orang luar biasa seperti Martin Luther Jr, Malcom X, dan lain-lain Afro
Amerika bangkit melakukan perlawanan dengan jalan damai (non-violent).
Setelah proses panjang dan berliku, perjuangan itu
membuahkan hasil. Lebih delapan tahun lalu untuk pertama kalinya seorang Afro
Amerika terpilih menjadi presiden Amerika. Barack Obama dianggap sebagai
kristalisasi dari civil rights movement atau perjuangan mendapatkan hak-hak
sipil.
White Supremacy
Kelompok radikal teroris kulit putih di dunia barat bukan
sesuatu yang baru. Perjalanan Eropa sudah digeluti oleh tendensi perasaan
lebih ini (superioritas). Perasaan di atas manusia lainnya berdasr ras,
etnik, suku dan warna kulit begitu dalam sehingga ada kecenderungan untuk
menjadikan orang berkulit warna (people of color) tetap berada di posisi
tertindas dan ditindis.
Akan tetapi, karena pandangan dunia yang semakin
amburadul, tendensi materialistik dan foya-foya (hedonistis) semakin
menggeluti, kehidupan tidak lagi dikawal oleh fondasi moral, orang-orang
barat kulit putih semakin menjatuhkan diri ke dalam lubang kehancurannya sendiri.
Salah satunya mereka semakin tidak peduli dengan kehidupan keluarga, dan
memiliki anak seolah beban hidup yang harus dihindari.
Akibatnya populasi mereka menjadi terminimalisir, dan
populasi nonwhite semakin bertambah. Apalagi didorong oleh membesarnya
pendatang dari negara-negara konflik yang juga tidak lepas dari keterlibatan
negara-negara barat sendiri. Pengungsi dan imigran dari Afrika, Timur Tengah
dan Asia semakin bertambah.
Pada akhirnya memang terjadi shifting demografi dalam
masyarakat barat. Amerika tentunya tidak terlepas dari fenomena ini. Hal ini
kemudian menimbulkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, sekaligus kebencian
kepada warga nonwhite.
Salah satu bentuk kebencian itu adalah tumbuhnya kelompok
radikal teroris warga kulit putih yang lebih dikenal dengan white supremacy.
Di Amerika Serikat kelompok white supremacy ini telah lama meneror kelompok
minoritas warga nonwhite. Mereka dalam melakukan gerakannya tidak canggung
menggunakan cara-cara teror dan kekerasan.
Dalam beberapa dekade terakhir pergerakan white supremacy
ini sempat tertekan, baik secara legal maupun secara moral. Secara legal
karena yang memimpin Amerika adalah mereka yang sadar hukum dan konstitusi.
Maka kelompok yang melakukan kekerasan, termasuk white supremacy ini akan
menghadapi hukum yang tegas.
Secara moral karena dalam dekade terakhir tumbuh kesadaran
pluralitas yang sangat tinggi di kawasan masyarajat Amerika, khususnya di
perkotaan. Amerika mampu membentuk kesadaran kolektif tentang pluralistic
society yang setara di mata hukum.
Masyarakat warna kemudian mendapat tempat dalam tatanan
kehidupan publik. Afro Amerikan, Hispanic, Asian, dan semua dengan ragam
agama dan kultur menemukan tempatnya dalam kehidupan publik Amerika.
Minoritas kini menjadi pejabat, kongress, walikota, gubernur, dan lain-lain.
Puncak dari semua itu adalah ketika Amerika mencatat
sejarah dengan memilih seorang Afro Amerika sebagai presidennya.
Perubahan tatanan kehidupan publik di dunia barat itu dari
hari ke hari semakin memperbesar kemarahan dan dendam warga kulit putih. Maka
di mana-mana terjadi reaksi negatif terhadap trend pertumbuhan imigrasi baru.
Para politisi ekstrem di berbagai negara, termasuk Eropa, mempergunakan
momentum tersebut. Maka terjadilah Brexit di Inggris sebagia satu misal.
Di Amerika Serikat sendiri terjadi hal yang sama, bahkan
lebih buruk. Politikus-politikus ektrem Republikan mempergunakan sentimen
kemarahan warga putih ini untuk membalas dendam kepada partai Demokrat,
khususnya kepada Presiden Barack Obama. Momentum ini pula yang dipakai oleh
sebagian, yang sejatinya nonpolitikus, tapi memiliki dendam dan kemarahan
yang sama, seperti Donald Trump.
Pendukung Donald Trump adalah mereka yang memang ada
ketakutan dengan demographic shifting dan marah dengan realita bahwa mereka
semakin tersisihkan. Tentu yang paling dominan dalam hal ini adalah mereka
yang memang secara sejarah memiliki mentalitas dendam kepada masyarakat
berkulit warna (people of color). Mereka inilah yang dikenal dengan white
supremacists.
Di sini lain tentunya perubahan ini juga mengancam
dominasi kelompok dengan agama tertentu. Maka bagian dari white supremacy itu
timbul kelompok radikal teroris atas dasar agama. Atau lebih tepatnya
kelompok yang mengatas namakan agama Kristen. Mereka inilah yang dikenal
dengan KKK.
Bahkan pada tataran yang masih rasional ada
kelompok-kelompok tertentu, dan masih bagian dari mainstream masyarakat Amerika
juga mendukung Donald Trump ini berdasarkan agama.
Perkembangan agama-agama non-Kristiani di Amerika,
khususnya Islam dan Buddhisme, menjadikan kelompok mayoritas Kristen keras
dan radikal khawatir. Maka janji kampanye Trump untuk melawan dan menekan
Islam ditangkap oleh mereka. Dan mereka pun menjadi pendukung Donald Trump
dalam pemilu lalu.
Kelompok terakhir yang saya sebutkan ini adalah kelompok
Kristen Evangelicals, yang secara kolektif terang-terangan mendukung Donald
Trump.
Intinya adalah bahwa pemerintahan Donald Trump, diakui
atau tidak, jujur atau tidak, terbuka atau tertutup, memang didominasi oleh
kelompok ekstrem kulit putih atau white supremacy. Dan ini dengan sendirinya
mwnjadi ancaman tersendiri bagi bangsa dan negara ini.
Hingga detik ini saya yakin Amerika tidak pernah dan tidak
akan besar tanpa menjunjung tinggi konstitusinya dan nilai-nilai universal
yang dibanggakan. Amerika tidak akan besar, kuat dan indah kecuali jika
wajah-wajah masyarakat pluralistik itu teranyam baik dan rapih dalam pelukan
kesatuan Amerika.
Itu the United States of America yang saya kenal.
New York, 9 Maret 2017 ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar