Amerika:
Bangsa Imigran
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 09 Maret 2017
Sekitar tujuh tahum silam, tepatnya di 2009, saya bersama
100 lainnya menerima penghargaan Ellis Island Honor Award. Penghargaan ini diberikan
kepada para imigran atau anak cucu imigran yang dianggap berjasa
berkontribusi kepada negara ini. Bersama saya ada beberapa nama besar, antara
lain Jenderal Abi Zayd mantan panglima perang Amerika di Irak, John Podesto
mantan Jubir Presiden Bill Clinton, dan penyanyi legendaris Hispanic Gloria
Stephane.
Sejak dimulainya pemberian penghargaan itu setahu saya
baru dua orang Islam yang menerima. Saya sendiri dan pentinju legendaris
dunia Muhammad Ali.
Saat itu saya bangga, merasa terhormat, dan tentunya
bersyukur sekaligus bahwa negara Amerika yang selama ini biaaa dikenal kurang
bersahabat dengan Muslim justeru memberikan penghargaan kepada imimgran
seperti saya dan Muslim pula. Kebanggaan saya itu tentunya karena saya merasa
Amerika adalah rumah saya sendiri.
Ellis Island adalah sebuah pulau kecil seberang kota
Manhattan. Berada di antara Manhattan dan pulau dimana Lady Liberty berdiri
tegak, di sanalah sejarahnya para pendatang ke negeri ini pertama kali
diterima. Sehingga, dengan sendirinya Ellis Island adalah simbol pintu
kedatangan para imigran ke negara ini.
Dengan patung lady Liberty di seberangnya, Kota New York
merupakan simbolisasi Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi
kebebasan, sekaligus membuka dada dengan lapang menerima pada imigran.
Negara imigran
Bukan rahasia, dan siapapun tahu bahwa Amerika adalah
negara imigran. Mereka yang berkulit putih juga sejarahnya adalah pendatang,
yang umumnya melarikan diri dari daratan Eropa karena kesulitan-kesulitan
yang mereka hadapi.
Kedatangan para imigran atau tepatnya pengungsi Eropa ini
menjadikan penduduk asli Amerika (Native American) termarjinalkan, bahkan
cenderung tereliminir. Mereka dipaksa menyerahkan tanah dan kepemilikan
mereka oleh pendatang Eropa, bahkan diusir untuk berpindah dari satu daerah
ke daerah lainnya.
Kita tentunya diingatkan perayaan "Thanksgiving"
di Amerika. Mengingatkan kita sebuah perayaan pahit. Perayaan kaum kulit
putih (baca Eropa) merampas tanah dan kepemilikan penduduk asli Amerika
(Native Americans).
Peperangan demi peperangan di masa kelam Eropa menjadikan
bangsa itu mencari tempat pelarian. Maka Amerika adalah tempat yang memang
dari dulu menjadi tujuan pelarian itu. Dari bangsa Irlandia, Yunani, Itali,
dan seterusnya.
Mungkin pengungsi dari Eropa yang masih dekat di memori
kita adalah pengungsi komunitas Yahudi yang melarikan diri juga dari
kekejaman Eropa di bawah pimpinan Hitler. Amerika-lah menjadi destinasi
mereka melarikan diri dari pembantaian tentara Hitler.
Adapun warga kulit hitam (Afro Americans), mereka tidak
datang di negeri ini karena melarikan diri. Tapi, mereka datang ke negeri ini
karena dipaksa oleh penjajah Eropa dari Afrika saat itu. Oleh karenanya,
sejatinya, Afro Americans tidak dikategorikan sebagai imigran, tapi
budak-budak kulit putih yang datang ke negeri ini.
Demikianlah seterusnya warga Amerika tumbuh besar,
berkembang, dan bersama membangun negeri ini. Semuanya, datang dari berbagai
penjuru dunia.
Kini Amerika, mau atau tidak, menerima atau menolak. Sadar
atau tidak, berani atau phobia, kenyataannya memang adalah negara imigran.
Kota New York barangkali adalah kota paling metropolitan dan sekaligus paling
ragam, tidak saja di Amerika tapi di
dunia. Tentu selain Makkah dan Madinah di musim haji.
Secara ras, etnis, warna kulit, bentuk dan wajah, bahkan
kultur, budaya dan agama, hampir semuanya ada dan menyatu dalam kesatuan
bangsa dan negara Amerika. Maka, sangat wajar jika istilah "united
states of America" tidak saja simbolisasi kesatuan 50 negara-negara bagian
itu. Tapi sekaligus simbolisasi dari kesatuan dalam keragaman yang luar
biasa.
Ancaman 'White Supremacy'
Kebutaan sejarah atau pembutaan sejarah Amerika memang
kuat. Warga Amerika kulit putih yang sejatinya adalah pendatang juga atau
keturunan imigran Eropa tiba-tiba terbalik dan seolah mereka adalah warga
Amerika asli (pribumi). Sebaliknya, siapapun yang berkulit non putih mereka
seolah adalah pendatang, non pribumi, atau immmigran.
Pembalikan sejarah ini, menjadikan warga kulit putih,
selain didukung oleh sistem, juga semakin berada di atas angin dan melakukan
apa saja untuk menjadikan non putih seolah bukan warga Amerika yang punya hak
kesetaraan dengan mereka. Pergolakan sosial antara kulit hitam dan warga
kulit putih di tahun 60-an menjadi catatan sejarah kelam Amerika.
Terpilihnya Barack Obama sesungguhnya sebuah sejarah besar
yang terjadi dalam perjalanan bangsa Amerika. Belum berselang lama sejak
pergerakan warga kulit hitam di bawah pimpinan Martin Luther Jr. Amerika
berhasil memilih seorang non putih menjadi presidennya. Tentu sebuah sejarah
yang membanggakan bagi bangsa ini.
Akan tetapi di balik kebanggaan itu ternyata juga
meninggalkan luka kalangan mayoritas kulit putih. Setelah sekian lama merdeka
Amerika ternyata belum sepenuhnya siap dipimpin oleh seorang non putih, yang
dianggap bagian dari minoritas. Dan sekali lagi, asumsi masih saja kuat bahwa
non putih itu masih lekat dengan atribut immigran.
Ketidak senangan (displeasure) yang dirasakan oleh
sebagian besar warga kulit putih itu terwakili oleh sikap Donald Trump dan
petinggi Republikan yang melakukan upaya apa saja untuk menghalangi bahkan
menjatuhkan Barack Obama. Donald Trump misalnya, ketika itu mencari sekuat
mungkin akte lahir Barack Obama, yang dicurigai lahir di luar negeri. Maklum,
ayahnya adala seorang warga Kenya dan hanya pernah sekolah di Harvard
University bersama ibunya.
Sentimen kebencian sebagian besar kulit putih terhadap
Presiden Obama itulah yang berhasil dimainkan oleh Donald Trump dalam
kampanye. Modal rasisme menjadi salah satu modal utama memenangkan
kepresidenan.
Mungkin dalam sejarah pemilihan presiden di Amerika baru
kali ini ada seorang kandidat yang secara terbuka dan terang-terangan
didukung oleh kelompok kristen teroris atau lazimnya dikenal sebagai KKK. Dan
dukungan ini tidak juga diingkari oleh sang calon (Donald Trump).
Kini, terpilihnya Donald Trump, kelompok ekstrim putih
yang dikenal dengan "White Supremacist" semakin menjadi-jadi. Jika
di masa lalu merek kerap kali menterror imigran dan kelompok minoritas
lainnya sebagai prilaku sporadis di sana sini, kini mereka seolah mendapat
justifikasi sistem. Artinya tindakan rasisme kulit putih dan kekerasan yang
mereka lakukan itu seolah sudah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan
Amerika saat ini.
Terakhir, tentunya beberapa kebijakan dalam beberapa hari
pemerintahan Donald Trump telah memperlihatkan fenomena anti-non White itu.
Dari kebijakan melarang orang Islam dengan Executive Order I dan II, hingga
kepada kebijakan imigrasi untuk mendeportasi warga yang tidak bersurat
(undocumented). Bahkan hari-hari ini, juga sedang dilalakukan upaya
penghapusan dan penggantian asuransi kesehatan Obama yang dikenal dengan nama
Obamacare.
Saya melihat semua ini tidak lepas dari karakter para
pemain di pemerintahan Donald Trump yang memang bias dan rasis.
Amerika dan Imigran
Sejujurnya tidak ada seorang manusia yang mau meninggalkan
tanah leluhurnya. Terkadang sesulit apapun itu kecintaan kepada tanah
kelahiran menjadi bagian dari kehidupan orang.
Tapi, kenapa banyak orang yang pernah atau akan datang ke
Amerika? Apakah memang Amerika begitu menarik bagi banyak orang sehingga
berjuang untuk bisa tinggal di negara ini?
Selama ini, kita mendengarkan bahwa hal yang menarik
sehingga begitu banyak orang yang ingin datang ke Amerika adalah karena
Amerika memiliki apa yang disebut "impian Amerika" atau
"American Dreams". Bahwa mereka yang datang ke negara ini membawa
seribu satu impian, dan seolah Amerika memiliki kemampuan untuk mewujudkan
impian itu.
Saya, barangkali, termasuk yang salah memahami selama ini,
seolah impian yang dimaksud adalah peluang ekonomi (economic opportunities),
peluang pendidikan (educational opportunities), dan berbagai pertimbangan
material lainnya semata. Ternyata perkiraan saya itu keliru. Bahwa Amerika
memiliki peluang ekonomi, pendidikan yang baik, jaminan kesehatan yang cukup
mapan, dan lain-lain. Ternyata jika kita lihat latar belakang para imigran
yang datang ke negara ini, umumnya bukan sekedar tersedianya peluang-peluang
tadi. Tapi ada yang lebih dari sekedar kepentingan material (material
interests).
Terkecuali mereka yang imigran kulit putih dari Eropa,
khususnya yang datang bersama penemu bumi Amarika, Columbus, hampir semuanya
datang ke Amerika karena faktor-faktor non material. Mereka melarikan diri ke
Amerika karena dipaksa oleh kekerasan dan peperangan di negara asal, atau
sebaliknya karena memang melihat bahwa Amerika itu memiliki nilai-nilai
tinggi dalam kebebasan, keadilan, toleransi, dan merangkul imigran.
Nilai-nilai universal inilah yang kerap disebut sebagai
"American values" yang saya lihat sebagai impian Amerika yang
sesungguhnya (true American values).
Dengan kata lain para imigran dari dulu hingga saat inipun
datang ke Amerika karena melihat peluang untuk ikut menikmati nilai-nilai
universal yang dijunjung tinggi Amerika itu. Mereka melarikan diri dari
daerah-daerah konflik, atau dari negara-negara yang memang dikuasai oleh
penguasa diktator. Sehingga kedatangan mereka ke Amerika mencari American
Dreams itu dalam bentuk kebebasan, keadilan, kesetaraan, toleransi, dan
peluang dalam menemukan kebahagiaan (pursuit of happiness).
Jika kedatangan itu ternyata menemukan sebaliknya, mereka
didiskriminasi, diperlakukan tidak semena-mena, dan bahkan dipersulit dan
diusir maka tentu Amerika juga seolah telah kehilangan jati dirinya. Yaitu
kehilangan nilai-nilai universal yang seharusnya menjadi kebanggan bangsa
ini.
Perlakuan kepada para imigran dengan cara-cara paradox
terhadap "American Values" itu hanya akan semakin menjadikan negara
ini berwajah buruk di duia internasional. Tentu dengan berbagai kebijakan
luar negeri Amarika yang selama ini dinilai buruk, perang Irak salah satunya,
akan semakin menjadikan Amerika tidak saja buruk. Tapi akan dibenci dan
sekaligus boleh jadi menjadi dasar atau justifikasi bagi kelompok-kelompok
radikal untuk merekrut pengikutnya.
Intinya, kebijakan pemerintahan Donald Trump tidak
menguntungkan Amerika. Sebaliknya merusak bahkan membahayakan bagi Amerika
dan dunia. Karena Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump dinilai
terang-terangan melakukan peperangan kepada Islam, agama bagi 1.6 milyar
manusia.
New York, 8 Nopember 2017 ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar