Wanprestasi
Jangan Dipandang sebagai Korupsi
Richo Andi Wibowo ;
Dosen Hukum Universitas Gadjah Mada;
Sedang merampungkan disertasi di
Institute for Jurisprudence, Constitutional and Administrative Law, Utrecht
University, Belanda
|
JAWA
POS, 13
Februari 2017
PATUT diduga
ada kekeliruan fundamental saat hakim memvonis bersalah pembuat mobil listrik
Ir Dasep Ahmadi. Bila penegak hukum masih meneruskan cara berpikir seperti
itu, tidak hanya akan melahirkan ketidakadilan buat Dasep, tapi juga dapat
merugikan masyarakat luas.
Sebagaimana
diketahui, Mahkamah Agung (MA) belum lama ini sependapat dengan pengadilan
tingkat sebelumnya untuk tetap menghukum Dasep. Pun demikian MA, malah
menambah lama hukuman dari tujuh tahun menjadi sembilan tahun penjara. Hingga
saat ini, putusan MA tersebut belum tersedia di website sehingga analisis
berikut didasarkan pada putusan sebelumnya.
Pada intinya,
Dasep dianggap gagal memenuhi perjanjian dengan tiga perusahaan BUMN:
Perusahaan Gas Negara, Bank Rakyat Indonesia, dan Pratama Mitra Sejati (anak
perusahaan PT Pertamina) untuk menghasilkan 16 unit mobil listrik. Dasep
hanya mampu menghasilkan empat unit mobil listrik (Putusan 140
Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst, halaman 227–231).
Mengingat tiga
BUMN tersebut telah mengucurkan dana kepada Dasep melalui perusahaannya, tapi
perjanjian tidak berhasil dipenuhi, kegagalan tersebut dikualifikasikan
sebagai kerugian negara. Argumentasinya, kegagalan Dasep memenuhi janji
merugikan keuangan BUMN dan keuangan BUMN adalah keuangan negara. Dia pun
dipenjara dengan alasan korupsi tipe merugikan keuangan negara.
Wanprestasi Bukan Korupsi
Adalah hal
yang meresahkan jika penegak hukum menganggap suatu kesalahan yang pada
hakikatnya adalah masalah keperdataan, tapi diproses dan disanksi secara
pidana.
Dasar dari
hubungan hukum antara Dasep dan perusahaan BUMN adalah perjanjian. Apabila
hasil pekerjaan tidak selesai sebagaimana yang diperjanjikan, itu disebut
wanprestasi. Tidak tepat jika wanprestasi kemudian dikualifikasikan sebagai
korupsi tipe merugikan keuangan negara.
Jika tiga BUMN
tersebut merasa dirugikan, langkah hukum yang dapat diambil adalah menggugat
perdata perusahaan Dasep –bukan memproses pidana Dasep.
Gugatan
tersebut dapat dilakukan oleh advokat yang disewa BUMN. Sekiranya diinginkan,
jaksa juga dapat dilibatkan. Namun bukan sebagai penuntut umum, melainkan
advokat tiga BUMN tersebut. Peran jaksa itu disebut dengan istilah jaksa
pengacara negara (vide pasal 32 ayat 1 UU Tipikor dan pasal 30 ayat 2 UU
Kejaksaan).
Bila penegak
hukum bersikeras untuk terus mengonstruksikan kasus perdata untuk diproses
(dan dihukum) secara pidana, akan timbul kekacauan. Kelak bukan hanya
aparatur pemerintah yang ketakutan untuk mengambil kebijakan dan tindakan.
Pihak swasta pun akan enggan berpartisipasi sebagai penyedia barang/jasa
pemerintah.
Sekadar
ilustrasi, silakan kunjungi web page daftar hitam nasional yang dihimpun
Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP). Ada ratusan perusahaan yang
saat ini sedang di-blacklist karena wanprestasi. Adil dan tepatkah karena
wanprestasi, mereka kemudian layak disebut koruptor?
Patut pula
dicemaskan bahwa vonis itu akan menimbulkan ketakutan bagi para
ilmuwan/peneliti. Bisa jadi mereka enggan mencari hibah riset yang bersumber
dari anggaran pemerintah. Mereka khawatir, jika hasil riset tidak mencapai
sasaran, mereka kemudian dianggap melakukan korupsi. Akibatnya, ilmuwan akan
lebih nyaman mencari dana dari pihak swasta yang mungkin orientasi
penelitiannya lebih komersial, bukan untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Singkat kata,
pola pikir penegak hukum yang keliru itu harus diluruskan. Jika tidak,
pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan dapat terhambat. Ujungnya,
masyarakat luas akan dirugikan.
Kekeliruan Landasan Hukum
Terdapat
dugaan kesalahan esensial lainnya pada vonis Dasep. Hakim menganggap Dasep
bersalah karena melanggar pasal 19 Perpres 54/2010 mengenai persyaratan yang
harus dipenuhi penyedia barang/jasa pemerintah. Masalahnya, perpres itu
mengatur pengadaan barang/jasa untuk kementerian/lembaga pemerintah.
Perpres baru
berlaku bagi BUMN bila dua syarat berikut terpenuhi. Pertama,pengadaan
tersebut dilakukan untuk belanja modal dalam rangka penambahan aset dan/atau
kapasitas. Kedua, belanja modal itu dibiayai secara langsung oleh APBN (lihat
penjelasan pasal 2 ayat 1 huruf b Perpres 54/2010, lihat juga pasal 1 ayat 1
Permen BUMN No 05/2008 jo No 05/2012).
Misalnya, saat
membangun dan meremajakan kilang minyak, Pertamina menggunakan perpres itu
(bukan peraturan direksi internal). Sebab, pembangunan tersebut memang tidak
bersumber dari kas perusahaan, melainkan anggaran langsung APBN.
Pada kasus
Dasep, pembiayaan pembuatan mobil listrik tidak bersumber dari anggaran
langsung APBN, melainkan anggaran corporate social responsibility dan
sponsorship di tiga BUMN tersebut (lihat putusan
140/Pid.Sus/TPK/2015./PN.Jkt.Pst, halaman 225–226). Dengan demikian,
argumentasi yang menyatakan Dasep melanggar Perpres 54/2010 dapat dianggap
gugur.
Dengan aneka pertimbangan tersebut, jika Dasep merasa bahwa
vonis yang dijatuhkan oleh MA kepadanya tidak adil, dia dapat
mempertimbangkan untuk mengajukan peninjauan kembali. Semoga hakim dapat
bertindak arif dan tidak melanggengkan pola pikir bahwa wanprestasi adalah
korupsi tipe merugikan keuangan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar