Urgensi
Badan Perlindungan Konsumen
Adhi S Lukman ;
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan
Minuman Seluruh Indonesia; Ketua Komite Tetap Pengembangan Industri Pangan
Kadin Indonesia
|
KOMPAS, 16 Februari 2017
Era
globalisasi mengubah tatanan perekonomian dan komunikasi masyarakat. Arus
barang/jasa serta informasi semakin bebas, bahkan yang sesat pun sulit
dibendung.
Kebebasan arus
barang/jasa dan informasi bisa menguntungkan konsumen karena menambah
banyaknya pilihan dan info di pasar. Namun, di sisi lain bisa memberi dampak
negatif apabila konsumen tidak bisa mengendalikan diri.
Makin maraknya
penyebaran hoaks (berita bohong) menambah kebingungan konsumen. Perkembangan
teknologi informasi yang mentransformasi sistem perdagangan secara daring
(online) atau dikenal e-dagang merupakan produk kebebasan yang juga mewarnai
pasar saat ini. Namun, UU yang mengaturnya belum siap. Sistem perdagangan
global telanjur menyatu dengan kebebasan informasi, bisa jadi merugikan
produsen ataupun konsumen.
Untuk
mengantisipasi itu semua—terutama dari sisi konsumen—sebenarnya pemerintah
punya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang dibentuk sesuai UU No
8/1999 dan PP No 57/2001. Demikian juga di daerah dilengkapi Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang lebih operasional menyelesaikan
pengaduan masyarakat. Namun, BPKN saat ini sedang ”vakum”. Begitu juga banyak
daerah tidak mempunyai BPSK.
Dalam paragraf
”menimbang” dalam UU No 8/1999 disebutkan, pembangunan nasional bertujuan
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata, materiil dan spiritual,
dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan
ekonomi nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia
usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan jasa yang
memiliki kandungan teknologi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak. Juga sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan
kerugian konsumen.
Filosofi dasar
dari pertimbangan di atas adalah asas kesetaraan dan keadilan antara
tumbuhnya dunia usaha dan perlindungan konsumen. Konsep dasar ini harus
menjadi pegangan dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
Peran BPKN
Meskipun
namanya perlindungan konsumen, BPKN berperan juga melindungi produsen secara
berimbang dengan konsumen. Kedudukan BPKN sangat strategis dalam mewujudkan
perlindungan konsumen secara berkelanjutan.
Mengacu ke UU
dan PP yang jadi landasan keberadaannya, tugas BPKN adalah: memberikan saran
dan rekomendasi kebijakan di bidang perlindungan konsumen; melakukan
penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan serta
terhadap barang dan/jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; mendorong berkembangnya
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; menyebarluaskan informasi
melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap
keberpihakan kepada konsumen; menerima pengaduan tentang perlindungan
konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
atau pelaku usaha; dan melakukan survei menyangkut kebutuhan konsumen.
Peran sentral
dalam mewujudkan perlindungan konsumen tetap di tangan pelaku usaha dan
konsumen/masyarakat. Konsumen harus mandiri, bermartabat, beritikad baik,
berpengetahuan, berdaya, bertanggung jawab, memiliki rasa nasionalisme yang
rasional serta target akhir menjadi konsumen cerdas. Adapun pelaku usaha
harus didorong dalam menjalankan perekonomian yang berdaya saing, produktif,
berkontribusi bagi perekonomian negara, serta bertanggung jawab memproduksi
barang dan/jasa yang sesuai regulasi, memenuhi standar yang ada, bermutu,
aman, sehat, dan memenuhi kebutuhan konsumen.
BPKN
diharapkan menjadi mediator dalam penyelesaian kerugian yang dialami siapa
pun. BPKN awalnya memang fokus di bidang ekonomi. Perannya sangat strategis
dalam mewujudkan kesetaraan produsen dan konsumen dalam pembangunan ekonomi
yang adil dan berkelanjutan. Juga sangat relevan dengan situasi saat ini,
dalam mencari solusi makin maraknya hoaks sehingga pemerintah bisa fokus
menjalankan tugas rutin lainnya. Pemberdayaan lembaga yang ada sesuai UU
menjadi solusi terbaik daripada membentuk lembaga adhoc sebagai reaksi
sesaat. Rencana Satuan Tugas Anti-Hoax belum tentu bisa menyelesaikan masalah
secara berkelanjutan karena perlu disiapkan mekanisme hukumnya.
BPKN harus
merekomendasikan dan mendorong komitmen kuat pemerintah (pusat maupun daerah)
untuk menjadikan perlindungan konsumen serta kesetaraan produsen-konsumen jadi
pilar utama pembangunan ekonomi; sinkronisasi antar-pemangku kepentingan;
menjadikan BPKN pusat solusi atas pengaduan konsumen dan sekaligus pusat
informasi dan acuan tentang perlindungan konsumen. Juga mendorong pengawasan
dan penegakan hukum dalam rangka perlindungan konsumen sehingga memberi
kepastian hukum dan usaha. Di beberapa negara, misalnya, pemerintahnya
menyiapkan regulasi yang memberikan sanksi bagi penyelenggara komunikasi jika
ada hoaks yang disebar melalui jasanya.
BPKN kuat dan berintegritas
merupakan salah satu kunci sukses dalam mewujudkan perlindungan konsumen dan
pelaku usaha/produsen yang bertanggung jawab dan berdaya saing. Di era
globalisasi, BPKN harus memiliki ”mata dan telinga” yang lebih luas dalam
mengamati perilaku masyarakat, konsumen, dan pelaku usaha terkait semakin
bebasnya peredaran barang dan/jasa serta hoaks. BPKN yang awalnya fokus
bidang ekonomi perdagangan bisa saja diperluas ke perlindungan semua sektor
kehidupan berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar