Bangkitnya
Kekerasan Pembelajaran
Saifur Rohman ;
Pengajar Filsafat di Program Doktor
Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 15 Februari 2017
Tiga mahasiswa
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, dinyatakan tewas dalam sebuah
kegiatan luar kampus beberapa waktu lalu. Sebelum tewas, salah seorang korban
sempat mengaku dianiaya oleh seniornya dalam proses kegiatan "pendidikan
dasar" yang melibatkan 37 peserta pencinta alam.
Beberapa
peserta lainnya tercatat luka-luka. Akibat peristiwa itu, rektorat pun
memutuskan untuk menutup semua kegiatan luar kampus dan siap mendukung adanya
proses hukum. Pihak kepolisian kemudian merespons dengan cara mencegah para
pelaku keluar kota.
Kasus di atas
membuktikan, ketika pemerintah membubarkan sejumlah program orientasi di
dalam kampus beberapa waktu lalu, ternyata tidak secara serta-merta menutup
ancaman kekerasan yang berada di luar kampus. Ketika ditemukan benang merah
dengan sejumlah kasus penganiayaan yang berakibat tewasnya peserta didik di
sejumlah institusi pendidikan di Indonesia, perlu ditanyakan, mengapa
kekerasan masih dimanfaatkan sebagai "teknik pembelajaran" dalam
dunia pendidikan?
Di mana akar
kekerasan itu terjadi?
Mendidik secara keras
Diakui atau
tidak, model-model pembelajaran memiliki sisi gelap dalam sejarah
perkembangan pendidikan di dunia. Secara teoretis, proses transformasi
pengetahuan menuntut hadirnya sebuah konstruksi berpikir, berkehendak, dan
berperilaku dari peserta didik.
Pada masa
lalu, kekerasan dibutuhkan sebagai bagian dari teknik pembelajaran. Hal itu
didasarkan pada dua asumsi. Pertama, pada dasarnya belajar itu tidak pernah
bisa menyenangkan. Kedua, setiap orang menyukai kekerasan. Itulah kenapa
tontonan sulap dan olahraga yang menghadirkan kekerasan memiliki segmen pasar
tersendiri di tengah-tengah masyarakat.
Kelemahannya,
program pembelajaran yang membutuhkan latihan fisik sering kali terjerumus
pada tindak kekerasan dan penganiayaan. Sebab, pendisiplinan tubuh memerlukan
modifikasi perilaku melalui "pemaksaan" dengan cara, tempat, dan
waktu yang tepat. Kondisi manusia sejenis besi panas yang harus ditempa
dengan cara paksa agar menjadi suatu bentuk yang diinginkan.
Tapi,
kesalahan akan berakibat fatal. Fakta, peristiwa itu tidak jarang berujung
pada kematian. Pendidikan yang dijadikan sebagai upaya meningkatkan
nilai-nilai kemanusiaan berakhir dengan pelecehan terhadap humanisasi.
Belajar itu menyenangkan
Apabila
mengacu pada sejarah, seiring berakhirnya Perang Dunia II dan lahirnya
tatanan dunia baru melalui Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 1948, kaum
liberal mengusulkan adanya sebuah
model pembelajaran yang bebas dari kekerasan sebagai jalan keluar
pendidikan masa lalu. Teknik pembelajaran ini dikembangkan untuk memenuhi
asas "belajar itu menyenangkan".
Sejauh apa
yang dilakukan itu membuat gembira dan mencapai target pembelajaran, maka hal
itu bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Setiap peserta didik
dibebaskan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Jadilah pendidikan
diarahkan pada upaya mencapai inovasi, kreativitas, kebaruan, kompetisi, dan
kemajuan.
Gagasan Paulo
Freire tentang liberalisme pendidikan tersebut menemui kebuntuan ketika
dihadapkan pada pentingnya memelihara nilai-nilai utama dalam pengembangan
karakter kolektif. Contoh, gagasan tentang kemajuan dan inovasi meninggalkan
nilai-nilai ideologis kebangsaan yang memerlukan refleksi dan kondisi mental
yang tetap.
Kelemahan itu
tampak dalam praktik pembelajaran nasional hari ini. Sebagai bukti, dalam
Kurikulum Nasional, rancangan metodologi pembelajaran memanfaatkan
langkah-langkah empiris-pragmatis yang dirangkum dengan istilah pendekatan
saintifik. Dimulai dari teknik mengamati, bertanya, mencoba, mengasosiasi,
dan mengomunikasikan.
Proses
transformasi pengetahuan dimulai dengan dan diakhiri dengan pendekatan
saintifik dalam semua mata pelajaran. Fakta tersebut menunjukkan, refleksi
ideologi dan nilai-nilai kemanusiaan yang diperoleh dari penafsiran dan
internalisasi subyektif tidak mendapatkan tempat yang memadai dalam kerangka empiris
di atas.
Itulah kenapa
tidak sulit menyatakan, akar kekerasan dalam praktik pendidikan sebetulnya
tertuju pada rancangan dasar pengembangan model pembelajaran di Indonesia.
Logika empirisme adalah kata lain dari sebuah kekerasan filosofis yang terjadi
dalam penyusunan sistem pendidikan nasional sekarang ini. Satu pelajaran dari
logika tersebut, kekerasan paling
hakiki adalah praktik kekerasan filosofis dalam rancang bangun pendidikan di
Indonesia.
Apabila
dilacak dalam mekanisme perundang-undangan, kekerasan filosofis sebagaimana
dicerminkan dalam peraturan pemerintah itu kemudian diturunkan menjadi konsep
metodologis pembelajaran. Hal itu berujung pada pelaksanaan pembelajaran di
setiap unit satuan pendidikan.
Masalahnya,
ketika dipraktikkan di dalam kelas, para pembelajar jarang mengenali dampak
dari pelbagai dimensi kekerasan
terhadap peserta didik.
Persoalan penting
Sekurang-kurangnya
ada tiga persoalan penting ketika kekerasan dijadikan sebagai metode pembelajaran. Pertama, terjadi penyakit mental karena
trauma terhadap kengerian fisik yang dipertontonkan. Hal itu membawa pada perilaku-perilaku yang
menyimpang. Bukti, kasus-kasus penganiayaan di sekolah disinyalir berasal
dari tontonan kekerasan di media audiovisual.
Kedua,
perasaan tidak nyaman akibat menyaksikan dan mengalami sendiri peristiwa
kekerasan sehingga menumpulkan perasaan manusiawi. Seperti halnya indera bau
ikan asin bagi penduduk yang tinggal di pantai dianggap sebagai aroma yang
biasa-biasa saja.
Ketiga, metode
kekerasan tidak efektif untuk menghasilkan tujuan-tujuan akhir pembelajaran.
Sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dicita-citakan sebuah keluaran peserta didik yang
cerdas secara spiritual, sosial, kognitif, dan motorik.
Kekerasan yang
terjadi di dalam dan di luar kampus yang mengatasnamakan pembelajaran tidak
bisa dilepaskan dari kekerasan filosofis dalam rancang bangun pendidikan
untuk mencapai cita-cita nasional.
Pemerintah
harus terbuka tentang kegagalan ini. Bukan liberal, bukan pragmatis, kita
hanya memerlukan sebuah rancangan pendidikan yang berakar pada nilai-nilai
filosofis bangsa yang manusiawi, adil, dan beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar