Ranking
PT dan Tradisi Penulisan Ilmiah
Redi Panuju ;
Dekan
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya
|
KOMPAS, 17 Februari 2017
Paling tidak
saat ini ada sekitar 18 organisasi yang mengeluarkan informasi global atau worldwide
university ranking. Media massa di Indonesia pada umumnya merilis ranking
perguruan tinggi (PT) dari tiga organisasi dominan, yakni: (1) Times Higher
Education World University Ranking(THE) yang berpusat di Inggris; (2)
Academic Ranking of World University (Arwu) yang bermarkas di China; dan (3)
QS World University Ranking yang bermarkas di Inggris.
Ketiga lembaga
tersebut menempatkan 10 PT paling hebat di dunia, enam berasal dari AS dan
empat dari Inggris. Bagaimana PT di Tanah Air menurut lembaga-lembaga riset
di atas? PT di Indonesia baru bisa menduduki urutan di bawah 300, yakni
diwakili Universitas Indonesia (310), Institut Teknologi Bandung (461), dan
Universitas Gadjah Mada (551).
Bagaimana
konstalasi PT Indonesia di Asia? Berdasarkan data QS Top Universities Asia,
100 PT terbaik di Asia 2016 di dominasi PT asal Singapura, Hongkong, China,
Jepang, India, dan Korea Selatan. PT di Indonesia hanya mampu menempati
peringkat ke-67 diwakili UI dan peringkat ke-86 ditempati ITB. Ada satu lagi
lembaga yang menjadi rujukan, yakni Webometrics. Dasar skoring berdasarkan
aktivitas kelembagaan dan akademik yang menggunakan interaksi internet. Di
tingkat dunia, Juli 2016, Indonesia baru bisa menempati ranking ke-761 (UGM),
849 (UI), dan 939 (ITB).
Berdasarkan
data tersebut, PT di Indonesia memang masih sulit unjuk gigi di kawasan
regional Asia, apalagi tingkat dunia. Kebanyakan yang masuk 1.000 besar dunia
tersebut berasal dari perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi swasta belum
banyak memperlihatkan geliatnya.
Dianggap sebagai beban
Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir kemungkinan besar sudah
kehabisan kesabarannya menanti pendidikan tinggi di Indonesia jadi mercusuar
penyemai ilmu pengetahuan di dunia. Jangankan di kawasan Asia, di regional
ASEAN saja Indonesia belum mampu berbicara banyak hingga peringkatnya kalah
dari Malaysia, Singapura, Filipina, ataupun Thailand. Karena itu, baru-baru
ini M Nasir menandatangani Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Nomor 20 Tahun 1017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan
Tunjangan Kehormatan Profesi Profesor..
Rendahnya
peringkat PT di Indonesia memang berkait erat dengan publikasi ilmiah yang
dilakukan para dosen, baik melalui jurnal maupun buku. Selama ini tujuan
pemerintah memberikan tunjanganprofesi bagi dosen antara lain untuk memacu
kreativitas penelitian dan penulisan, tetapi Menteri menengarai hal tersebut
belum memperlihatkan dampak signifikan. Karena itu, tunjangan tersebut akan
dievaluasi melalui karya ilmiahnya.
Pasal 4
peraturan dimaksud menyebutkan, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
publikasi ilmiah di Indonesia, bagi dosen yang memiliki jabatan akademik
lektor kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang
diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi atau paling sedikit satu
karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional dalam kurun waktu
tiga tahun (2015-November 2017). Di samping karya ilmiah di jurnal, lektor
kepala juga masih diwajibkan menghasilkan buku atau paten atau karya seni
monumental. Sementara bagi guru besar (profesor) dituntut lebih besar lagi.
Pada Pasal 8 Ayat 1 (g) disebutkan, mereka wajib menghasilkan paling sedikit
tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau paling sedikit
satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional
bereputasi.Selain itu, guru besar juga diwajibkan menghasilkan buku atau
paten.
Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, tunjangan profesi dosen dan tunjangan
kehormatan guru besar akan dihentikan sementara. Tunjangan baru dibayarkan
kembali setelah memenuhi syarat.
Selama ini
kalangan civitas akademika menganggap tunjangan profesi itu hanya sebagai
wujud bantuan negara kepada para dosen agar penghasilannya bisa melampaui
standar upah minimum regional sehingga tidak mengaitkannya dengan penulisan
karya ilmiah. Ketika tiba-tiba M Nasir mengaitkan tunjangan tersebut dengan
kewajiban penulisan karya ilmiah, hal itu menjadi semacam beban sehingga ada
yang berkomentar negara ini tidak ikhlas menolong rakyatnya.
Sebagian
kalangan dosen menilai Permen Ristek-Dikti itu bersifat diskriminatif karena
kewajiban tersebut hanya untuk dosen yang kepangkatan akademiknya lektor
kepala ke atas. Sebagian dosen yang pangkatnya lektor kepala dan guru besar
ada yang berseloroh ingin mengajukan pemunduran pangkat supaya terbebas dari
kewajiban menulis karya ilmiah. Sementara dosen yang pangkat akademiknya di
bawah lektor kepala berniat mengurungkan mengurus kepangkatan ke jenjang
lebih tinggi.
Momentum untuk bangkit
Lepas dari
kontroversi tersebut, sebetulnya ini sebuah momentum untuk membangkitkan
kreativitas penulisan ilmiah di PT. Selama ini kegiatan penulisan ilmiah
tidak diseriusi sebagai pengembangan kompetensi yang substansial. Penulisan
karya ilmiah sering kali hanya kegiatan formal belaka. Setelah satu-dua kali
menulis kemudian berpuas diri. Malah ada yang tidak memperhatikan kualitasnya
karena yang penting dipublikasikan oleh penerbit yang punya ISBN.
Dengan
membiayai sebagian ongkos cetak, buku diproduksi sangat terbatas. Kadang
(mohon maaf) ada yang hanya dicetak 20 eksemplar saja. Buku-buku semacam ini
memang bisa lolos menjadi kredit poin, tetapi tidak berkontribusi pada
diskusi ilmiah ke publik. Permen Riset-Dikti ini paling tidak bersifat
memaksa pada awalnya, tetapi akan menjadi kebiasaan untuk selanjutnya. Setiap
PT mestinya memberi insentif yang menarik agar kegiatan penelitian dan
penulisan ilmiah menjadi bagian dari tradisi.
Hal lain
mengenai jurnal, Menteri M Nasir tak memahami bahwa tidak semua cabang ilmu
telah memiliki cukup penerbitan jurnal, apalagi yang sudah terakreditasi.
Kini tahapannya baru sampai pada kegairahan ”belajar” menerbitkan jurnal.
Mungkin baru dalam tiga tahun ke depan kegairahan itu sudah bisa dipetik
hasilnya, siap untuk diakreditasi.
Karena itu,
pemerintah mestinya tak keburu nafsu untuk mengilmiahkan PT, tetapi dibuat
tahapan-tahapan. Sebagian dana hibah penelitian, misalnya, bisa digeser untuk
menyubsidi penerbitan jurnal di setiap PT. Saya yakin dalam waktu tak terlalu
lama akan membuat PT di Indonesia peringkatnya menyalip PT di negara ASEAN
lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar