Pilih
Satu demi Semua
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Februari 2017
BILA ada
pendapat menyatakan there's no life with no problems, sebenarnya ia bermakna
bukan hanya hidup identik dengan masalah. Namun, hikmah atau makna-sembunyi
di balik itu ialah 'hidup itu memilih'.
Sesungguhnyalah
ini hikmah atau makna terdalam dari (keber)ada(an)nya manusia, sebagai
makhluk berpikir, berbudaya di kemudiannya, dan beradab pada akhirnya.
'Memilih' (bisa jadi) ialah sebuah kodrat (given), pemberian atau anugerah
dari Dia yang Mencipta, yang membedakan manusia dari makhluk atau ciptaan
lainnya. Malaikat hingga segala binatang, renik, atau tumbuhan hidup tercipta
tanpa pilihan, tanpa kapabilitas un tuk memilih.
Ketika Iblis
dengan takabur mengajukan 'pilihan' untuk tidak meninggikan Adam, Yang Kuasa
langsung menghukum, memberinya azab sepanjang masa. Kitab-kitab suci samawi
pun sebenarnya memberi tahu kita bila manusia ada, berkembang hingga miliar
jumlahnya, menghuni, dan menguasai di kemudian hari juga karena kapasitas
'memilih'.
Kapasitas yang
pada momen tertentu menjadi 'dosa'. Seperti saat Adam memilih nafsu dan
ambisinya untuk memakan buah khuldi, lalu dicemplungkan ke bumi dan
melahirkan bangsa-bangsa, termasuk kita. Namun, lihatlah juga mitologimito
logi dunia, mulai Skandinavia, Yu nani, Arya/India, Semit, hingga Tiongkok.
Bukankah pencapaian besar peradaban dunia, momenmo men teragungnya hingga
tragis dan melodrama disebabkan sebuah 'pilihan'?
Promotheus,
Hercules, Aries dari Yunani, Hamlet Denmark, Bagawad Gita, hingga Konfucius
di Tiongkok atau Gajah Mada di Nusantara, tidakkah ditentukan apa yang mereka
pilih sehingga mereka menjadi besar dan agung, atau kerdil di ketika lain?
Dapatkah Anda
melihat dan memeriksa bagaimana momen-momen penting, seperti turning-point,
dalam hidup Anda tersebab oleh pilihan yang Anda ambil, sengaja atau tak,
tersadari atau tidak?
Hidup itu
memilih. Karena Dia yang Mahaanugerah memberi kita akal, hanya pada species
kita, sehingga dengan itu kita pun menurunkan sifat jaiz-Nya, sebagai
risikonya.
Hanya manusia
memiliki warisan ilahiah untuk 'boleh': berkata, bersikap, bertindak, dalam
arti memilih apa yang harus kita tetapkan itu. Dengan segala konsekuensi di
belakangnya: menjadi ulama atau mafia. Dipasung seperti Promotheus, disiksa
derita perjalanan Konfucius, atau Adam yang dicemplungkan ke dunia. Di setiap
momen hidup kita, mau tak mau kita harus memilih.
Pilihan terkondisi
Kini, di sini,
di negeri ini, sebagian besar dari kita, di 101 wilayah Indonesia, dihadapkan
kembali (juga) oleh satu momen yang imperatif, bahkan represif karena ada
sanksi pidana maupun moralnya untuk memilih.
Satu di antara
beberapa figur yang telah ramai, letih, juga sebagian dipaksakan ditawarkan
pada kita untuk menjadi umara, jadi pemimpin yang akan membawa dan menentukan
kemana kita pergi ke masa depan. Setidaknya di wilayah di mana berlangsung
pilu kerah (pemilihan umum kepala daerah), pilkada dalam abreviasi umumnya.
Momen seperti
ini memang berbeda dengan saat-saat kita harus memilih nasib hidup kita
sendiri. Dalam jargon (demokrasi) yang melatari (segala) pemilihan umum
(semacam) ini, pilihan itu tidak muncul sebagai need, apalagi basic need yang
berkait langsung secara praktis dan pragmatis dengan hidup keseharian.
Pilihan dan
kewajiban memilih ini ada pada kita karena terkondisi oleh keadaan yang
teregulasi dan tersistemisasi. Ia menjadi tuntutan yang tidak personal, tapi
masif, komunal atau nasional.
Karena itu, ia
pun berkait dengan kepentingan, juga need masif. Kepentingan komunal juga
nasional. Ia pun menjadi momen penanda kekuatan naluri atau insting komunal
serta sosial. Naluri atau insting atau pula watak dasar primordial kita
sebagai manusia (beradab) bahari.
Sebagai
manusia yang tumbuh dan terkondisikan oleh realitas geografis kepulauan, kita
tertradisikan dan teradabkan oleh budaya bandar, yang kosmopolit, terbuka,
dan egaliter. Modal dasar budaya yang menciptakan nilai-tak-terelak
interdependen, saling bergantung: kerja sama dan gotong royong. Dengan
empati, bukan imperasi.
Jadi, kita
dapat menempatkan kewajiban memilih (secara politis-demokratis) ini sebagai
modus dengan nilai yang mengutuhkan, mengguyubkan, atau meneguhkan
interdependensi atau gotong royong. Tidak sebaliknya, karena ia bukan hanya
mengkhianati naluri dan watak dasar kita di atas, tapi juga justru
meluluhlantakkannya. Bagaimana arwah kita akan mempertanggungjawabkan
kehancuran diri itu pada anak cucu kita nanti?
Kontestasi
prapemilu (pilkada) yang begitu ramai, bising, penuh agitasi, termasuk hoax,
tentu saja sekadar rempah-rempah di jamuan wajib pemilihan dalam finalnya.
Yang terjebak dalam bumbu, atau selebrasi bahkan artifisialisi kampanye,
tentu akan mengerdilkan dirinya sendiri.
Apalagi yang
membawa kekerdilan itu dalam momen memilih ini hari, ia tidak hanya
mementahkan kebersamaan, tapi juga melawan kebersamaan (nasional). Silakan
memilih dengan kesadaran luhur bahwa ini untuk kemaslahatan dan masa depan
bersama. Pemimpin dengan kejujuran hati, ketegasan sikap dan tindakan serta
kecerdasan gagasan seperti itulah jadi pilihan terbaik kita, juga Anda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar