Perdagangan
Multilateral Terancam?
Iman Pambagyo ;
Dirjen
Perundingan Perdagangan Internasional,
Kementerian Perdagangan
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Februari 2017
PERHELATAN
informal tahunan menteri-menteri World Trade Organization (WTO/Organisasi
Perdagangan Dunia) yang digelar sejak 2006 kembali diadakan pada 20 Januari
2017 di sebuah kota wisata pegunungan Davos, Swiss, di tengah suhu -12°C.
Pertemuan informal itu dihadiri menteri atau wakil menteri dari 29 negara
yang dinilai memainkan peran kunci dalam proses perundingan WTO di Jenewa,
termasuk RI. Beberapa menteri hadir mewakili kelompok negara-negara, seperti
Afrika, Afrika-Karibia-Pasifik, Timur Tengah, dan kelompok negara kurang
berkembang.
Dalam
laporannya kepada para menteri, Dirjen WTO Roberto Azevedo menyampaikan bahwa
sejak KTM X di Nairobi, Kenya, pada Desember 2015, para duta perdagangan di
Jenewa cukup aktif terlibat dalam berbagai diskusi. Meskipun demikian, belum
terlihat konvergensi berarti mengenai isu-isu potensial untuk dipetik pada
KTM XI yang akan digelar pada Desember 2017 di Buenos Aires, Argentina.
Dirjen Azevedo
juga mengamati, kebijakan proteksionis cenderung meningkat belakangan ini
melanjutkan tren beberapa tahun terakhir. Jika ditambah retorika presiden
terpilih AS dan fenomena Brexit serta munculnya sentimen populis termasuk di
negara maju, kredibilitas sistem perdagangan multilateral di bawah naungan
WTO sebetulnya mulai dipertanyakan banyak kalangan. Dirjen WTO bahkan
mengungkapkan kekhawatirannya bahwa situasi seperti ini tidak saja akan
membuat perdagangan internasional terfragmentasi atau negara-negara semakin
terdorong untuk menempuh tindakan unilateral terhadap negara lain, tetapi
juga meningkatkan potensi perang dagang antarnegara. Akan tetapi, adakah
alternatif lain dari sistem WTO?
WTO dan sistem
perdagangan yang diaturnya merupakan penyempurnaan dan perluasan dari General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) 1947. Melalui beberapa putaran perundingan (Putaran Annecy, Torquay,
Jenewa II, Dillon, Kennedy, dan Tokyo), GATT 1947 akhirnya disempurnakan
menjadi GATT 1994 setelah melalui Putaran Perundingan Uruguay sejak 1986 dan
mencapai puncaknya dengan terbentuknya WTO pada 1995.
Hanya dalam
beberapa tahun, sejumlah negara khususnya negara berkembang dan kurang
berkembang menyadari bahwa perjanjian-perjanjian yang disepakati pada 1994
itu mengandung sejumlah kekurangan. Pertama, perjanjian kurang memberikan
ruang bagi negara berkembang dan kurang berkembang untuk mengatasi masalah
pembangunan tanpa harus melanggar perjanjian yang telanjur sudah disepakati.
Jumlah penduduk yang terus tumbuh, kemampuan fiskal yang terbatas, dan
tantangan iklim yang memengaruhi produksi di sektor pertanian sering dirujuk
sebagai hal-hal yang mendera pembangunan di negara berkembang dan kurang
berkembang. Sementara itu, negara-negara tersebut dituntut memenuhi komitmen
mereka di WTO yang bersifat mengikat.
Kedua,
meskipun dalam berbagai perjanjian WTO dikenal prinsip 'perlakuan khusus dan
berbeda' (special and differential
treatment/S&D) bagi negara berkembang dan kurang berkembang, dalam
praktiknya prinsip ini kurang efektif memberi ruang untuk mengatasi masalah
pembangunan yang cenderung semakin kompleks.
Di lain pihak,
dalam Perundingan Putaran Uruguay negara-negara maju berhasil mengamankan
ruang kebijakan yang luas khususnya untuk memberikan dukungan domestik
(subsidi) ke sektor pertanian mereka. Akibatnya, tidak saja prinsip S&D
dirasakan tidak cukup mengakomodasi tantangan yang dihadapi negara berkembang
dan kurang berkembang, tetapi juga negara maju berada di atas angin untuk
menguasai pasar pertanian dunia. Atas desakan negara berkembang dan kurang
berkembang, pada 2001 diluncurkan Perundingan Putaran Doha untuk mengoreksi
ketimpangan dalam perjanjian-perjanjian WTO seraya meningkatkan komitmen
akses pasar produk pertanian dan manufaktur.
Hingga saat
ini, Putaran Doha belum dapat dituntaskan. Kelonggaran yang dituntut negara
berkembang dan kurang berkembang belum sepenuhnya ditanggapi positif oleh
negara maju. Demikian pula desakan negara berkembang dan sejumlah kecil
negara maju untuk mendisiplinkan subsidi sektor pertanian di negara maju
selalu menemukan jalan buntu. Dalam menghadapi situasi itu, negara berkembang
dan kurang berkembang menuntut dibentuk sebuah mekanisme safeguard khusus
sektor pertanian. Namun, usulan itu ditolak negara maju dengan alasan
perundingan penurunan tarif sektor pertanian tidak mengalami kemajuan.
Situasi buntu
ini jelas tidak membawa keuntungan, khususnya bagi negara berkembang dan
kurang berkembang karena ketidakadilan terutama di sektor pertanian tidak
bisa segera dikoreksi. Sebagai gambaran, sesuai notifikasinya ke Sekretariat
WTO pada 2012, AS memberi subsidi sebesar US$57.900 per petani per tahunnya,
sementara Jepang US$19.517 dan Uni Eropa US$8.286 (notifikasi 2014).
Bandingkan dengan subsidi pertanian pada 2008 di Tiongkok sebesar US$220 dan
pada 2010 di India sebesar US$99.
Meskipun masih
jauh dari sempurna, tampaknya negara-negara di dunia harus menerima kenyataan
bahwa perjanjian-perjanjian WTO yang ada saat ini satu-satunya yang
memberikan stabilitas dalam perdagangan dunia. Mekanisme penyelesaian
sengketa di WTO, misalnya, merupakan satu-satunya mekanisme penanganan
sengketa multilateral yang dinilai objektif. Semua negara anggota besar atau
kecil, maju atau berkembang atau kurang berkembang--mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam bersengketa.
Lalu, mengapa
sistem perdagangan multilateral di bawah naungan WTO tampaknya mulai
terancam? Adalah krisis ekonomi dunia pada 2007-2008 serta riak-riak kecil
dalam perekonomian global dan regional yang mendorong banyak negara menempuh
kebijakan proteksionis. Keadaan ini juga membuat banyak negara beralih ke
perundingan bilateral atau regional untuk mendapatkan akses pasar khusus
sehingga perundingan multilateral Putaran Doha semakin tidak jelas nasibnya.
Akhir 2016,
dunia dikagetkan kemenangan Donald Trump menjadi Presiden ke-45 AS. Di kalangan
perdagangan internasional, hal yang dikhawatirkan ialah janji Trump semasa
kampanye--dan ditegaskan saat pengukuhannya sebagai presiden pada 20 Januari
lalu--bahwa ia akan meningkatkan berbagai hambatan perdagangan dan menghukum
negara lain secara unilateral (sepihak) untuk membuat AS great again, meski masih perlu dibuktikan apakah janji Presiden
Trump dilaksanakan. Banyak negara di dunia, termasuk yang hadir dalam
pertemuan di Davos, khawatir terjadi perang dagang antarnegara bila janji itu
dijalankan.
Bahkan sebelum
AS sebagai trendsetter mewujudkan niatannya, pesan yang berembus dari
Washington DC sebetulnya sudah cukup membuat para menteri WTO khawatir.
Dikhawatirkan sentimen nasionalis-populis semakin merebak ke berbagai penjuru
dunia dan menciptakan situasi chaos dalam perdagangan internasional dengan
semakin populernya kebijakan beggar thy
neighbor sebuah kebijakan ketika negara berusaha mengatasi masalah
ekonomi domestiknya dengan cara-cara yang memperburuk masalah ekonomi di
negara lain.
Mungkin masih
perlu menunggu 3-4 bulan untuk mengetahui apakah AS benar-benar berubah
menjadi unilateralis-proteksionis seperti dikhawatirkan banyak negara.
Demikian pula dengan Brexit. Banyak negara masih menunggu kelanjutan rencana
pemisahan diri Inggris dari Uni Eropa meskipun PM Inggris menyatakan bahwa
Inggris akan menanggalkan perikatan FTA-nya dengan Uni Eropa.
Di tengah
ketidakpastian ini, tentu sulit bagi para menteri perdagangan WTO yang
bertemu di tengah udara dingin Davos untuk menyepakati prioritas agenda yang
akan diputuskan dalam KTM Buenos Aires nanti. Satu hal yang tampaknya pasti
ialah nasionalisme-proteksionisme dalam perdagangan akan semakin menyebar ke
berbagai negara dalam bulan-bulan mendatang, mengikuti pendekatan yang
ditempuh negara adidaya AS. Semua menunggu, sementara ancaman itu ada dan
nyata.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar