Korupsi
dan Dunia Pendidikan
Asep Saefuddin ;
Rektor
Universitas Trilogi; Guru Besar Statistika FMIPA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Februari 2017
DALAM
rangkaian Konferensi FRI 2017 ada program kunjungan ke kampus Binus, UI,
UHAMKA, Gunadarma, UNJ, dan Trilogi. Program kampus ini disepakati sebagai
upaya bagi-bagi pengalaman dan informasi, selain lihat-lihat fasilitas
universitas. Jenis kegiatan (acara) ditentukan manajemen kampus. Di Trilogi
acaranya diisi dengan pameran produk mahasiswa dan diskusi tentang korupsi.
Pada sesi
diskusi korupsi, dari KPK hadir Pak Saut Situmorang yang menyampaikan
informasi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ternyata upaya ini sudah
dilakukan sejak awal-awal kemerdekaan. Akan tetapi, sering tenggelam alias
tidak sustain, padahal korupsi terus marak dengan berbagai modusnya. Salah
satu persoalannya ialah karena ada intervensi penguasa, orang-orang
berpengaruh, dan partai. Hal ini disebabkan perilaku korup tidak dikikis dari
akarnya serta tidak didekati melalui sistem kompleks. Semua unsur berkaitan
satu sama lain.
Awalnya saya
kurang paham ketika Saut Situmorang bicara menantang Pemda DKI untuk membuat
Jakarta bersih total dari sampah. Sungai-sungai bisa mengalir bersih dan
tidak bau, puskesmas dapat melayani penduduk tanpa membedakan kelas ekonomi,
jalan mulus. Saya pikir, apa hubungannya dengan korupsi. Cukup lama saya
kurang 'mudheng'.
Setelah saya
merenung dan memperhatikan kejadian akhir-akhir ini, seperti kebakaran hutan,
perizinan impor sapi, harga bahan pokok, harga BBM, jembatan ambruk, sekolah
roboh, dan berbagai persoalan di Indonesia itu ternyata tidak lepas dari
perilaku korup. Misalnya retribusi pedagang kaki lima, fasilitas pasar
tradisional, dan angkutan umum itu tentu ada hitung-hitungannya yang
berkaitan dengan uang.
Lalu mengapa
sungai kotor, jalan semrawut, dan pasar becek itu bisa jadi faktor korupsi?
Dana pembangunan sarana prasarana itu tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai
dengan kebutuhan. Akibatnya, kualitas sarana itu jauh dari sempurna sehingga
tidak tahan lama dan membahayakan pengguna. Pendek kata, uang yang masuk
tidak dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Ke mana itu uang? Inilah
korupsi.
Ada kapal
penumpang yang kehabisan BBM di tengah laut, itu pun akibat korupsi. Sudah pasti
ada takaran yang dikurangi atau sengaja dilego. Korban yang langsung kena
selalu masyarakat bawah karena merekalah yang paling banyak menggunakan
fasilitas publik. Artinya korupsi berakibat fatal bagi masyarakat yang
ujung-ujungnya negara tidak maju. Jadi korupsi memang harus diberantas. Tidak
ada toleransi bagi koruptor.
Begitu juga
ketika membuat atau memperpanjang paspor, kita harus bolak-balik hanya karena
salah teknis fotokopi yang mesti horizontal, bukan vertikal. Padahal,
fotokopinya juga di kantor imigrasi. Ini kan lucu, aneh, tapi nyata. Hal-hal
kecil yang bisa jadi celah korupsi. Ada juga pencuri yang sudah dilaporkan
ternyata masih bisa jalan-jalan dan mencuri lagi. Waktu untuk berurusan
dengan instansi publik selalu tidak jelas, lama, dan melelahkan. Semua itu
akibat perilaku korup. Ujungnya adalah negara tidak kompetitif, masyarakat
miskin, rasio Gini membengkak.
Peran lembaga pendidikan
Dunia
pendidikan ialah tempat yang paling bertanggung jawab terhadap akar korupsi.
Di sinilah cikal bakal berkembangnya perilaku korup bila sekolah membiarkan
guru dan peserta didik tidak disiplin memegang aturan. Saat ini lembaga
sekolah terlalu menekankan prestasi dengan pola pembandingan antarindividu.
Pembentukan karakter seperti kejujuran tidak mendapat ruang.
Guru sering
lupa bahwa proses pencapaian jauh lebih penting daripada titik akhir. Belajar
(learning) ialah proses memahami secara bertahap, bekerja sama, dan berbagi.
Semua itu ada rantainya, tidak bersifat 'ujug-ujug' ujungnya. Korupsi ialah keinginan
mencapai titik akhir yang 'gemilang' tanpa melewati tahapan proses itu. Bila
hal ini tidak dilakukan di sekolah, berarti peserta didik secara tidak sadar
telah dilatih korupsi. Ini berbahaya
Ruang untuk
berperilaku korup di lembaga pendidikan ini sangat luas. Guru bisa juga
menjadi celah awal, ketika mereka terlalu mengagungkan nilai akhir tanpa
melihat proses pembelajaran itu. Murid-murid akhirnya menyontek, mengintip
jawaban teman, atau membuka catatan hanya untuk mendapat nilai bagus. Esensi
belajar untuk mengerti dan memahami mata pelajaran tidak dirasakan murid.
Pada saat yang sama murid menjadi terbiasa curang. Itu juga korupsi.
Untuk itu,
guru harus benar-benar memahami apa fungsi guru, bukan sekadar menjalankan
profesi untuk mengejar sertifikasi. Upaya menanamkan sifat kejujuran dengan
guru sebagai model harus dilakukan setiap hari tidak saja di dalam kelas,
tetapi juga di luar kelas seperti di kantin atau tempat lainnya di sekolah
dan luar sekolah. Guru yang hanya bisa memberi tugas tanpa memeriksanya
berarti sedang menularkan perilaku korup. Pola-pola target yang tidak
realistis sama saja dengan menjalankan praktik korupsi. Juga regulasi yang
ambisius, tidak realistis, bisa jadi ajang korupsi.
Para lulusan
lembaga pendidikan kemudian masuk ke pasar kerja, termasuk menjadi pegawai
pemerintahan. Belum lagi untuk menjadi pegawai pun harus ada biaya pelicin.
Jadilah lingkaran setan korupsi yang tidak pernah putus. Korupsi terus marak,
sedangkan upaya pemberantasannya sering sirna. Akibatnya, distribusi aset
sangat timpang. Ekonomi pro-poor, pro-job, pro-environment sekadar jargon
bila korupsi tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Juga ekonomi yang
berkeadilan akan menjadi omong kosong.
Jadi, betul
juga bila KPK masuk ke ranah pendidikan, fasilitas publik, lembaga negara,
perpajakan, proses pembuatan kebijakan, dan lain-lain. Juga korupsi memang
ada di mana-mana, di berbagai sektor, dari hulu ke hilir, termasuk di akar
pendidikan. Untuk itu, bila Indonesia ingin maju, berantas korupsi sampai ke
akar-akarnya. Kita dukung KPK. Semoga berhasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar