Langkah
Pemerintah Vs Freeport
Effnu Subiyanto ;
Senior
Advisor CikalAFA-Umbrella; Direktur
Koridor;
Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Februari 2017
JAJARAN eksekutif PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali
bergoyang. Minggu (19/2), Presiden Direktur Chappy Hakim menyatakan mundur
setelah sejak 20 November 2016 menduduki jabatan puncak perusahaan tambang
emas dan tembaga terbesar di Indonesia itu. Chappy menggantikan Maroef
Sjamsuddin yang juga mundur pada 18 Januari 2016 setelah menduduki kursi
nomor 1 PTFI sejak 7 Januari 2015. Chappy memilih kembali sebagai penasihat
perusahaan raksasa itu seperti posisinya sejak Agustus 2016. Publik pun
segera bertanya apa yang terjadi dengan PTFI. Demikian panaskah kursi CEO-nya
sehingga dua mantan jenderal pun tidak sanggup bertahan di kantor Mimika,
Papua?
Badai politik
Persoalan bisnis yang sejatinya infiltrasi politik dalam
tubuh PTFI memang selalu membuat panas dingin Jakarta. Pemicunya klasik, PTFI
dianggap tidak transparan dan adil dalam mendistribusikan kesejahteraan
kepada Indonesia, berizin tembaga tetapi mendapatkan emas, bahkan uranium
dengan nilai ekonomi yang jauh menggiurkan. Jika dibandingkan dengan empat
daerah operasional Freeport-McMoRan (FM) di seluruh dunia, operasional di
Papua mencatatkan rekor tertinggi produksinya. Produksi emas, misalnya, dapat
dijual sebesar 1,17 juta ons, sementara pabrik di Amerika Selatan hanya mampu
menyetorkan 0,07 juta ons. Dua daerah operasional FM lainnya malah tidak
menghasilkan emas, yakni di Amerika dan Afrika.
Hitungannya jika dibuat sederhana, laba bersih anak usaha
Freeport-McMoRan setiap tahun rata-rata sebesar US$1 miliar. Beroperasi sejak
1967 atau 49 tahun operasional, minimal laba bersih PTFI ialah US$49 miliar.
Ironisnya yang didistribusikan kepada Indonesia ialah US$16,1 miliar dalam
bentuk pajak dan nonpajak. Rasio setoran 32,86% sangat kecil dilihat Jakarta.
Jakarta kemudian menggunakan politik kekuasaan untuk
menekan PTFI. Izin ekspor konsentrat tidak segera diberikan sehingga
mengakibatkan gudang PTFI penuh dan akhirnya memicu ribuan pekerjanya
demonstrasi kepada pemerintah. Izin ekspor akhirnya diberikan terbatas
sebesar 1.113.105 wet metrik ton selama satu tahun sejak 16 Februari 2017.
Jumlah ini sebetulnya cukup karena kapasitas produksi konsentrat PTFI ialah
2,5 juta MT sementara 37% diolah oleh smelter-nya di Gresik.
Persoalan ketimpangan keadilan inilah yang membuat Jakarta
tidak nyaman dengan PTFI. Persoalan lainnya juga belum selesai, seperti
dividen yang tertunggak sejak 2012, perkembangan smelter yang masih 14%,
negosiasi divestasi yang sangat mahal ditawarkan US$1,7 miliar, hingga
mekanisme perpajakan prevailing (dinamis) yang menggantikan naildown (tetap).
Padahal, dalam kontrak karya (KK) sudah ditetapkan sistem pajak naildown dan
rencana perpanjangan kontrak 2041 yang tidak jelas.
Rencana investasi yang lebih besar, yaitu US$17,3 miliar
terdiri US$15 miliar untuk tambang bawah tanah dan US$2,3 miliar untuk
membangun tambang bawah tanah DOZ, DEPP MLZ, dan Kucing Liar pun sepertinya
akan ditinjau ulang. Kekisruhan bisnis (baca; politik) menyebabkan pemerintah
vs PTFI saling menyandera. Proyek smelter di Gresik perkembangannya sangat
pelan hanya 14% dan sama sekali belum menampakkan kegiatan fisik proyek. Rencana
investasi tambang emas dengan dana US$18 miliar (Rp252 triliun) ditunda PTFI
sampai kejelasan nasib perpanjangan yang dimohon sampai dengan 2041.
Inilah sumber kekisruhan pemerintah dan PTFI, dan
sebetulnya lingkaran setan karena seperti mencari tahu mana yang lebih dulu
antara telur dan ayam. Pemerintah menunggu smelter yang seharusnya
operasional pada 2014, tetapi PTFI menggunakan teknik mengulur waktu dan
berlarut sampai dengan tahun ini. Sumber kesalahan tentu saja PTFI karena
tidak menjalankan amanat UU Minerba No 4/2009.
Direksi tokoh
Menyikapi persoalan politik yang kian rumit, PTFI
menggunakan strategi menyimpang dalam menentukan presiden direkturnya.
Barangkali hanya di Indonesia, salah satu perusahaan AS terkemuka tetapi
memilih CEO-nya bukan dari profesional. Dua kali PTFI menggunakan tokoh
mantan jenderal TNI dan kedua-duanya mundur karena masalah kinerja serta
kemungkinan konflik kepentingan. Maroef Sjamsuddin ialah mantan Wakil Kepala
BIN dengan pangkat marsekal muda TNI-AU, sementara Chappy Hakim ialah mantan
KSAU dengan pangkat marsekal TNI-AU.
FM selaku induk PTFI berpikir bahwa masalah politik dapat
diselesaikan dengan memasang jenderal, padahal faktanya tidak demikian.
Ketegangan dalam sidang DPR terakhir antara Chappy dan politisi Senayan
menunjukkan bahwa DPR pun kini tidak lagi bisa ditekan jenderal. Melihat
perkembangan yang demikian tidak kondusif dari tanah timur Indonesia itu,
pemerintah dan manajemen PTFI harus bersama-sama mencari solusi terbaik untuk
kedua belah pihak. Terlihat bahwa Jakarta terlalu menekan PTFI dengan
berlindung di balik UU, tetapi perlu diperiksa ulang benarkah demikian yang
terjadi? Pada saat ini begitu banyak petualang politik yang berjalan di dalam
koridor bisnis, motifnya pun jelas untuk kepentingan kelompok.
Demikian pula kepada PTFI, sederet masalah belum selesai
dan tentu saja mengancam prinsip governance jika kekuasaan ditarik menjadi
CEO. Di antara ketidakpastian iklim investasi yang subur terjadi di Indonesia
pada saat ini, justru PTFI bertindak kontraproduktif dengan melanggar
sejumlah UU dan peraturan, posisi PTFI tentu saja menjadi tersudut. Justru
posisi perusahaan ini akan berpotensi menjadi ajang transaksi baru sampai
dengan 2019. Sebaiknya pada saat ini PTFI segera cepat melakukan kajian internal
secara komprehensif dengan kedewasaan investor yang mendapat izin investasi
di negara lain. Jangan pernah lagi mencari jenderal-jenderal baru sebagai CEO
karena itu bukan solusi yang dikehendaki pemerintah dan juga Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar