Lampion
Imlek dan Keluarga Saya
Muchus Budi R ;
Wartawan Detikcom; Koresponden Solo
|
DETIKNEWS, 28 Januari 2017
Diam-diam
sedikit banyak kami juga berasal dari keluarga berdarah Tionghoa. Namun
karena sudah sedemikian lama melebur menjadi 'keluarga Indonesia' maka tak
terlacak lagi identitas etnis manapun yang menjadi cikal-bakal keluarga kami.
Istri
saya keturunan Babah, istilah untuk menyebut kelompok warga berdarah campuran
Tionghoa dengan pribumi setempat. Nenek istri saya seorang keturunan Melayu -
Tionghoa asal Singapura yang menikah dengan pemuda etnis Jawa dari Solo yang
sedang studi musik di negeri Singa, yang saat itu menjadi jajahan Inggris.
Dari pernikahan mereka lahir enam anak, salah satunya adalah ibu mertua saya.
Sedangkan
ayah istri saya berasal dari keluarga berdarah campuran Jawa - Belanda asal
Salatiga. Jadi, jika memang Anda merasa dipentingkan melacak 'kemurnian'
darah untuk pemeriksaan identitas, akan sulit melacak hal itu pada pada
anak-anak kami.
Sebagai
keluarga yang selalu berusaha mengambil pendekatan kemanusiaan dengan
meletakkan 'manusia sebagai pusat', kami merasa tak peduli lagi tentang
identitas-identitas seperti itu. Sebagai keturunan bangsa terbuka, kami harus
siap menghadapi konsekuensi logis bahwa kami akan selalu menjadi 'bangsa
baru' yang terus meng-update pembaharuan-pembaharuan yang seiring juga dengan
pembauran-pembauran baru.
Ke-Jawa-an,
ke-Belanda-an, ke-Tionghoa-an, hanyalah sebuah penanda lahir bagi seseorang
yang hidup di negeri terbuka bernama Indonesia; padang terbuka dan tengadah
yang akan selalu menjadi muara arah singgah pembauran manusia dari segala
penjuru dunia.
Pembauran
itu bukankah sudah sejak lebih dari seribu tahun lalu terjadi, semenjak kapal
layar mulai dirakit dan digunakan untuk 'penyatuan' umat manusia di dunia.
Ciri-ciri kebudayaan atau kekhasan etnis kita bukankah telah menunjukkan
bahwa nenek-moyang kita adalah bangsa yang sangat mumpuni sebagai 'peramu'
peradaban dunia yang tanpa perlu gembar-gembor telah melakukan proses akulturasi
dengan semangat 'menyatukan semua kelebihan untuk masa depan'.
Rembesan
kebudayaan Tionghoa misalnya, telah sedemikian banyaknya kita terima sebagai
bagian dari kebudayaan yang selama ini seolah menjadi 'kebudayaan asli' kita.
Semua dilakukan dengan kesadaran dalam proses berabad-abad lamanya, yang
kemudian secara jenius dilakukan proses domestifikasi dan dibarengi dengan
reproduksi ide.
Arsitektur
masjid dan bangunan kuno kita, sangat kelihatan pengaruh Tionghoa. Gamelan
sebagai perangkat musik tradisi yang paripurna itu adalah pengembangan jenius
dari peradaban zaman Dongson.
Penerjemahan
karya-karya sastra Tionghoa telah dilakukan secara masif sejak Yosodipuro I
mempelopori masa Renaisance Sastra Jawa. Demikian pula pengaruh karya-karya
seninya. Fragmen tari 'Adaninggar - Kelaswara' dan lakon kethoprak
'Manggoloyudo Sudiro' yang melegenda itu adalah bukti nyata.
Bahasa
Tionghoa pun banyak mempengaruhi berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Seorang
ahli bahasa menyebut terdapat 233 kata 'pinjaman' dari Bahasa Tionghoa yang
kita pakai sehari-hari dalam percakapan Bahasa Indonesia. Pastinya ini belum
ditambah lagi perbendaharaan Bahasa Tionghoa yang 'dipinjam' oleh bahasa
daerah kita masing-masing.
Ini
belum lagi sumbangan kebudayaan Tionghoa dalam hal olahraga dan
adat-istiadat. Beladiri dan senam pernafasan Tionghoa, sangat populer di
dalam kehidupan bagsa ini. Sedangkan pengaruh adat-istiadat Tionghoa yang
paling populer dan sangat digemari bangsa ini adalah tradisi minum teh serta
kebiasaan merayakan kegembiraan dengan memasang lampu hias (lampion) dan
membunyikan petasan.
Lalu
bagaimana melacak kemurnian itu? Sangat sulit. Istri saya, si peranakan yang
sejak lahir memang dididik dan 'benapas' dalam ke-Indonesia-an tadi justru
merasa asing ketika melihat 'tradisi asli' dari negeri leluhurnya itu
disuguhkan di kawasan Pasar Gede, Solo, setiap malam selama hamper sebulan
menjelang tahun baru Imlek. Hal demikian juga sepertinya dirasakan anak-anak
kami ketika melihat atraksi seni etnis 'kemasan' para leluhur pribumi mereka
sendiri, karena mereka telah berjalan jauh sebagai manusia Indonesia yang
'kesatuan' tadi.
Demikian
juga saat mereka melakukan 'ziarah' ke negeri leluhurnya. Ketika istri dan
anak-anak kami mengunjungi keramaian yang dikemas khusus menyambut Imlek di
kawasan Chinatown, Singapura, saya merasakan mereka tak lagi hadir sebagai
bagian dari perayaan itu. Mereka hadir sebagai pengunjung yang dengan genit
berfoto sana-sini untuk mengabadikan kehadirannya di sebuah arena plesiran.
Tak
perlu panik, tak perlu risau. Semua itu adalah konsekuensi logis perjalanan
peradaban. Belum lagi ditambah proses-proses 'penyatuan dan pembebasan
manusia' seiring keputusan-keputusan politik. Budayawan kenamaan, (Alm) Umar
Kayam, pernah menyampaikan pemikiran yang layak kita renungkan;
"Konsekuensi
membangun suatu republik kesatuan dan modern memang jauh. Dan seringkali juga
mahal bayarannya! Salah satu esensi negara-kebangsaan yang kesatuan dan
modern adalah 'penyederhanaan' dan 'penyatuan'. Akan banyak kekhasan etnik
kita hilang, akan banyak wajah tradisi musnah. Pasti kita akan berusaha
menyelamatkan yang dapat diselamatkan. Tetapi mencegah serat-serat tikar yang
sudah mulai lapuk memang sulit! Yang akan lahir adalah suatu kebudayaan (dan
kesusasteraan) yang baru meskipun masih akan banyak mengandung unsur-unsur
lama dalam kurun waktu yang cukup panjang."
Meski
demikian, tak salah juga Imlek dirayakan dengan berbagai tradisi dan atraksi
yang lekat dengan tradisi asalnya. Justru itu perlu untuk memperlihatkan
keragaman tradisi budaya di negeri yang menyepakati kebhinekaan dan
kemajemukan. Apalagi saudara-saudara kita etnis Tionghoa juga perlu
mengenalkan kepada keluarganya tentang tradisi moyangnya yang selama puluhan
tahun dilarang oleh rezim Orde Baru.
Istri
dan anak-anak saya juga boleh ikut numpang merayakannya. Karena 'bukan lagi'
menjadi etnis Tionghoa, perayaannya cukup dengan bergabung dalam kerumunan
warga yang setiap malam menyesaki kawasan Pasar Gede untuk ber-selfie di
antara keindahan ribuan lampion Imlek.
Tapi
ada juga yang perlu disayangkan. Sebagai yang bukan lagi 'keluarga etnis'
maka anak-anak saya menjadi dilupakan tidak mendapat ucapan selamat tahun
baru dengan selipan angpao..... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar