(Jangan)
Bubarkan Mahkamah Konstitusi
Bayu Dwi Anggono ;
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila
dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember
|
DETIKNEWS, 30 Januari 2017
Badai
yang telah berlalu itu kini datang kembali, itulah perumpaan atas apa yang
sedang menimpa lembaga yang dimuliakan dan diagungkan bangsa Indonesia yaitu
Mahkamah Konstitusi (MK). Ditangkap dan ditetapkannya sebagai tersangka Hakim
Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa
hari lalu karena sangkaan memperdagangkan putusan tidak saja mengagetkan,
namun juga menjadi kado pahit bagi bangsa Indonesia yang tengah
gencar-gencarnya mereformasi lembaga peradilan sebagai tempat para wakil
Tuhan di muka bumi menjalankan tugas sucinya menegakkan hukum dan keadilan.
Berbeda
dengan pendahulunya yaitu Akil Mochtar yang ditangkap KPK pada 2 Oktober 2013
karena memperdagangkan putusan sengketa hasil pemilihan kepala daerah,
Patrialis Akbar disangka memperdagangkan putusan perkara pengujian
Undang-Undang (constitutional review) yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Atas perilaku Patrialis Akbar ini
telah menimbulkan berbagai reaksi publik mulai dari rasa marah, keinginan
membubarkan MK, prihatin, sampai harapan kejadian ini tidak terulang kembali.
Sekedar
mengingatkan, pada waktu itu untuk mencegah tidak terulangnya peristiwa Akil
Mochtar salah satu langkah MK adalah dengan mengamputasi kewenangan yang
menjadi pangkal masalah adanya suap di MK yaitu kewenangan mengadili sengketa
hasil pemilihan kepala daerah. Amputasi dilakukan pada 6 Maret 2014 melalui
putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 perihal pengujian Undang-Undang Pemerintahan
Daerah dimana MK menyatakan tidak berwenang lagi menangani sengketa hasil
Pilkada, meskipun selang 1 tahun kemudian DPR dan Presiden melalui
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah bersikeras menyerahkan kembali kepada
MK wewenang untuk mengadili sengketa hasil Pilkada sampai dengan dibentuknya
badan peradilan khusus.
Berbeda
dengan peristiwa Akil Mochtar yang diselesaikan dengan jurus mengamputasi
wewenang yang menjadi sumber masalah, dalam kejadian Patrialis Akbar ini
langkah tersebut hampir tidak mungkin dilaksanakan. Hal ini mengingat
kewenangan menguji Undang-Undang adalah kewenangan orisinil yang membuat MK
di banyak negara perlu didirikan. Artinya jika kita mengeluarkan kewenangan
menguji Undang-Undang dari MK sama artinya dengan membubarkan MK.
Logiskah
kita harus membubarkan MK hanya karena perilaku tercela oknum seperti
Patrialis Akbar? Padahal kita semua mengetahui putusan MK dengan segala
kekurangan dan kelebihannya harus diakui telah banyak memberikan perlindungan
konstitusional bagi warga negara dari tindakan sewenang-wenang pembentuk
Undang-Undang.
MK dan Korupsi Legislasi
MK
Indonesia didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003 sebagai reaksi atas
keberadaan produk legislasi pada era sebelumnya yang menunjukkan karakter
sewenang-wenang, melanggar HAM, bias kepentingan kelompok tertentu dan aroma
korupsi dalam pembentukannya. Patrialis Akbar sendiri sebelum menjadi Hakim
Konstitusi merupakan salah satu anggota MPR dari Fraksi Reformasi yang turut
serta menggagas dan mendukung lahirnya MK.
Bahkan
Patrialis Akbar secara tegas dalam rapat Komisi A MPR yang membahas rancangan
perubahan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman termasuk di dalamnya mengenai MK
pada tanggal 6 November 2001 meminta agar anggota DPR ikhlas jika ada
Undang-Undang yang dibatalkan oleh MK apabila memang terbukti tidak sesuai
konstitusi. Hal ini dikarenakan menurut Patrialis "DPR adalah sebagai
lembaga politik yang juga kadang-kadang belum tentu memiliki kesinambungan
antara pemahaman satu undang-undang yang ada dengan undang-undang yang lain".
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi dalam
pembentukan Undang-Undang terkadang belum benar-benar memperjuangkan
kepentingan rakyat yang diwakilinya. Bahkan tak jarang sejumlah oknum DPR
rela membarter pasal dalam Undang-Undang dengan iming-iming sejumlah uang.
Beberapa kasus yang menunjukkan adanya praktek korupsi legislasi ini
diantaranya suap miliaran rupiah oleh pejabat Bank Indonesia kepada sejumlah
oknum anggota DPR Periode 1999-2004 untuk melancarkan pembahasan perubahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dimana atas korupsi
legislasi ini sejumlah anggota DPR telah diputuskan bersalah oleh pengadilan
(Detik.Com 7/01/2009).
Kasus
lainnya adalah ketika pada Oktober 2009 RUU Kesehatan yang telah disetujui
dalam Paripurna DPR dan ketika dikirimkan kepada Presiden ternyata terdapat
satu ayat yang di dalamnya terkait tembakau dihilangkan. Atas hilangnya ayat
tersebut setelah dilakukan penyelidikan oleh Badan Kehormatan DPR dinyatakan
bukan karena kesalahan administratif. Sejumlah pihak menduga bahwa hilangnya
ayat tersebut karena ada faktor kesengajaan yang melibatkan oknum DPR atau
pun dari oknum Departemen Kesehatan akibat menerima iming-iming uang dari
pihak tertentu yang berkepentingan (Detik.Com, 27/01/2010).
Keberadaan
MK sesungguhnya adalah untuk mencegah keberadaan Undang-Undang yang
dihasilkan dari proses yang koruptif di parlemen. Keberadaan MK akan membuat
mafia jual beli pasal di DPR tidak dapat lagi leluasa menjalankan aksinya
mengingat andaikata mereka dapat mempengaruhi oknum-oknum di DPR untuk
membuat Undang-Undang sesuai kepentingan mereka, namun Undang-Undang tersebut
tidak serta merta dijamin akan dapat berlaku mengingat masih ada MK yang akan
menjaga kepentingan publik dari nafsu serakah pihak-pihak yang ingin mendapat
keuntungan besar melalui pengaturan dalam Undang-Undang.
Seiring
berjalannya waktu, mafia jual beli pasal ini nampaknya cepat melakukan
adaptasi. Mereka tahu betul bahwa tidak cukup hanya berkolaborasi dengan
oknum-oknum DPR jika ingin membuat dan memberlakukan Undang-Undang sesuai
kepentingan mereka. Biaya besar yang mereka keluarkan untuk oknum-oknum DPR
tidak akan berguna jika pada akhirnya Undang-Undang tersebut dibatalkan oleh
MK di kemudian hari.
Untuk
itu baik oknum DPR maupun oknum hakim MK harus mereka kuasai. Atau malahan
terdapat mafia jual beli pasal yang berpikir lebih pragmatis yaitu lebih
murah biayanya langsung berkolaborasi dengan oknum hakim MK mengingat putusan
MK adalah final dan mengikat, sehingga boleh saja Undang-Undang yang dibentuk
DPR tidak menguntungkan mereka, tetapi nantinya mereka dapat mengubahnya
melalui oknum hakim MK yang telah mereka kuasai.
Perbaikan Rekruitmen dan
Pengawasan
Terkuaknya
fakta bahwa mafia jual beli pasal telah berhasil menyusup ke MK melalui oknum
hakim tertentu bukan berarti kemudian menjadi dasar pembenar kita untuk
menghapus MK dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Harus diingat bahwa para
perumus perubahan UUD 1945 saat memutuskan membentuk MK dengan segala kewenangannya
yang super sesungguhnya sudah memberikan bekal vaksin agar nantinya para
hakim MK mempunyai kekebalan dan tidak terkena godaan virus mafia jual beli
pasal.
Vaksin
yang dimaksudkan adalah ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang mengatur
syarat kumulatif yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk dapat menjadi hakim
konstitusi yaitu harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta
tidak merangkap sebagai pejabat negara. Syarat negarawan oleh UUD 1945 hanya
diberlakukan untuk hakim MK dan tidak diberlakukan kepada pejabat lembaga
tinggi negara lainnya, bahkan untuk hakim agung MA sekalipun yang sama-sama
pelaku kekuasaan kehakiman.
Dilihat
dari risalah perubahan UUD 1945, negarawan yang dimaksudkan setidaknya
mengandung 4 unsur yaitu: (i) mempunyai keahlian; (ii) layak menjadi salah
satu tumpuan menegakkan negara hukum; (iii) independen terhadap posisinya;
(iv) bijak dan mampu mengambil jarak terhadap kepentingan sempit kelompok
atau golongan.
Selain
konstitusi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK pun sebenarnya sudah
memberikan rambu-rambu kepada lembaga yang berwenang mengajukan hakim
konstitusi yaitu DPR, Presiden dan Mahkamah Agung agar dapat menemukan hakim
konstitusi sesuai yang dimaksud UUD 1945. Pasal 19 Undang-Undang MK
menyebutkan bahwa Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan
dan partisipatif yaitu calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa
baik cetak maupun elektronik sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk
memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.
Persoalannya
kemudian adalah atas dasar kepentingan pragmatis, lembaga yang berhak
mengajukan hakim konstitusi kemudian tidak menjalankan amanat konstitusi dan
Undang-Undang MK tersebut. Sebagaimana terjadi pada pengajuan Patrialis Akbar
sebagai hakim MK oleh Presiden SBY pada waktu itu yang langsung menunjuk
Patrialis Akbar tanpa melalui pembentukan Panitia Seleksi yang membuka
pendaftaran secara luas atau menjaring calon hakim konstitusi dari
figur-figur yang memenuhi persyaratan dan tanpa mempublikasikan ke media
untuk mendapatkan masukan dari masyarakat. Tindakan sepihak Presiden SBY
langsung mengangkat Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi setelah sebelumnya
diberhentikan di tengah jalan sebagai Menteri Hukum dan HAM serta tanpa
melalui mekanisme Pasal 19 Undang-Undang MK sesungguhnya telah memendam bom
waktu yang kini terbukti telah meledak.
Menimbang
bahwa Produk Undang-Undang yang dihasilkan DPR hingga saat ini belum
benar-benar bebas dari kepentingan pragmatis di dalamnya, maka dengan
demikian sesungguhnya MK masih dibutuhkan dalam rangka mengoreksi
Undang-Undang yang bermasalah dan dalam rangka memberikan perlindungan
konstitusional warga negara. Adapun mengenai upaya mencegah tidak terulangnya
kejadian Akil Mochtar dan Patrialis Akbar maka salah satu letak
permasalahannya adalah proses rekruitmennya yang sejak awal bermasalah.
Pilihan
bijak yang bisa diambil bukanlah dengan membubarkan MK, melainkan sebaliknya
justru mengarahkan agar MK benar-benar diisi oleh sosok negarawan yang
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan. Untuk itu perlu dilakukan sejumlah perbaikan
melalui perbaikan Undang-Undang MK.
Pertama,
perbaikan masalah rekrutmen/pengangkatan hakim konstitusi dilakukan melalui
perubahan UU MK yaitu dengan menambahkan pengaturan mengenai kewajiban bagi
MA, DPR dan Presiden untuk masing-masing membentuk panel ahli (unsur
akademisi senior, mantan hakim MK, tokoh masyarakat) dalam melakukan seleksi
hakim konstitusi, meskipun putusan akhir pengajuan calon hakim konstitusi
tetap ada di Pimpinan MA, Anggota DPR dan Presiden.
Kedua,
perlu ditambahkan pengaturan dalam UU MK yang mengatur kewajiban bagi
Mahkamah Agung, DPR dan Presiden untuk membuka pendaftaran dan menjaring
seluas-luasnya figur-figur yang memenuhi persyaratan sebagai hakim
konstitusi. Ditambahkannya kewajiban untuk membuka pendaftaran bagi semua
warga negara yang memenuhi persyaratan dikarenakan selama ini dalam
prakteknya Pimpinan MA telah menafsirkan secara sepihak bahwa ketentuan dalam
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan hakim MK diajukan 3 (tiga) orang
oleh Mahkamah Agung diartikan bahwa ketiga hakim MK yang diajukan oleh MA
haruslah seorang hakim di lingkungan MA.
Padahal
Merujuk pada makna asli (orgininal meaning) pasal tersebut maka dapat
diketahui meskipun diajukan oleh MA, DPR dan Presiden, bukanlah berarti yang
dapat menjadi hakim konstitusi hanyalah hakim pengadilan di lingkungan MA
yang diusulkan oleh MA untuk menjadi hakim konstitusi, anggota DPR yang
diusulkan oleh DPR untuk menjadi hakim konstitusi, atau para pejabat di
lingkungan kepresidenan yang diusulkan sebagai hakim konstitusi, melainkan
siapa pun warga negara sepanjang memenuhi persyaratan maka dapat menjadi
hakim konstitusi baik melalui jalur yang diusulkan oleh DPR, MA atau pun
Presiden.
Ketiga,
selain perbaikan proses rekruitmen, untuk menjaga hakim-hakim MK tetap dalam
koridor sumpah/janji jabatannya maka pengawasan hakim MK juga perlu
diperkuat. Upaya memperkuat MK adalah dengan mempermanenkan kedudukan Dewan
Etik Hakim Konstitusi dalam Perubahan UU MK. Dewan Etik yang bersifat tetap
dan beranggotakan mantan hakim MK, guru besar ilmu hukum, dan tokoh
masyarakat haruslah menjadi alat yang efektif untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi terkait dengan laporan dan/atau informasi mengenai dugaan
pelanggaran etik yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi tanpa mencampuri
independesi hakim konstitusi.
Akhirnya
MK adalah milik Bangsa Indonesia, jangan biarkan kerusakan yang diakibatkan
oknum tertentu akan membuat kita merobohkan MK. Mengingat keberadaan MK telah
menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai negara demokrasi melainkan juga
menjadi negara nomokrasi (hukum). Untuk itu mari kita jaga MK bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar