Pilkada
dan Ikan
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 19 Januari
2017
Pekan
ini dan beberapa pekan ke depan, stasiun TV kita akan riuh menayangkan acara
debat pilkada. Ini menarik. Hasilnya sebagian dari kita tentu masih ada yang
bingung untuk menentukan siapa pemimpin daerah yang bakal dipilihnya.
Maklum,
nyaris semua kandidat pandai berdebat. Tentu ada yang pandai betulan dan ada
yang pandai dadakan akibat dilatih para profesional. Ada yang sudah terbukti
dalam memimpin dan hasil kerja dan ada yang hanya jago berpikir dan berorasi.
Ada yang sudah benarbenar matang dan dipersiapkan alam jauh-jauh hari dan ada
yang muncul tiba-tiba karena kehendak orang lain.
Dan
nanti pemenangnya pun akan amat beragam. Apalagi kalau sudah menyangkut
perubahan. Mana ada sih orang yang suka hidupnya atau kenikmatannya diusik
orang lain? Kita bisa ngomong pentingnya penegakan integritas, tapi yang
ngomong itu tahu tidak kalau penegakan integritas itu bisa berakibat “perang”
dan mengusik para penjahat bangkit melawan?
Singkatnya,
beda teori beda praktik dan Indonesia tengah dalam pergumulan perubahan.
Tapi, jangan lupa, yang berbahaya bagi keluarga pemilik calon pemimpin bukan
soal saat bertarung untuk menang dalam meraih suara, melainkan saat
menjalankan amanah. Penjara dan laknatnya itu ada di sana. Wahai para istri,
suami, ayah-bunda atau anak-anak calon gubernur atau kepala daerah lainnya,
kawallah mereka untuk berani menjalankan amanah, bukan semata-mata saat
merebut kursi.
Keledai yang Terantuk Batu
Berkali-kali
Lalu
apa yang mesti kita lakukan? Sebelum masuk ke soal tersebut, saya ingin
mengajak Anda untuk merenungkan ungkapan berikut: “Bahkan keledai pun tak
akan terperosok lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Tapi, kita tahu,
manusia bukan keledai. Itu sebabnya manusia bisa terperosok pada lubang yang
sama bukan hanya dua kali, tetapi berkali-kali.
Itulah
potret kita dan potret para pemimpinnya. Lihatlah perilaku para pejabat di
negeri ini, baik di pusat maupun daerah. Belum lama ini Bupati Klaten
ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan menerima suap atas
promosi pejabat di daerahnya. Jadi korupsi dan korupsi lagi.
Padahal
sudah banyak pejabat daerah baik para bupati, wali kota atau kalangan DPRD
yang terjerat kasus serupa dan akhirnya kena jaring KPK. Menurut laporan KPK,
sampai saat ini sudah ada 15 gubernur, 50 bupati/wali kota, dan 119 anggota
DPRD yang ditangkap oleh komisi itu. Lalu mengapa mereka belum kapok juga?
Begitulah, kekuasaan dan kekayaan memang begitu menggoda.
Keduanya
berhimpitan. Kalau punya kuasa, Anda bisa kaya. Sebaliknya kalau kaya, Anda
bisa punya kuasa. Itulah, antara lain, godaan yang dihadapi para pejabat di
daerah. Maka saya ingin mengingatkan hal ini karena pada 15 Februari 2017
kita bakal menyelenggarakan pilkada. Kita bakal memilih 7 gubernur, 76
bupati, dan 18 wali kota. Anda jangan salah pilih.
Ini
penting sebab saya percaya kinerja banyak organisasi di Indonesia, termasuk
di pemerintahan daerah, masih sangat tergantung pada pemimpinnya. Kata mantan
Direktur Utama BRI Rudjito (alm), “Kita masih tergantung pada sinten, belum sistem.”
Sinten itu bahasa Jawa (Rudjito lahir di Klaten, Jawa Tengah) yang artinya
“siapa”. Maksudnya, banyak organisasi kita yang masih sangat tergantung pada
orangnya, bukan pada sistemnya. Jadi, hatihatilah dalam memilih orang (baca:
pemimpin).
Cepat Busuk
Bicara
soal memilih pemimpin mungkin kita bisa menggali inspirasi dari ikan. Buat
mereka yang senang makan ikan pasti tahu cara memilih ikan segar. Ada dua
bagian yang paling mudah kita cermati, yakni mata dan insang. Mata ikan segar
terlihat bening dan cembung. Kalau matanya sudah terlihat kelabu, redup, dan
diselimuti lendir, jangan beli. Kalau belum yakin, kita bisa cek insangnya.
Kalau
warnanya merah tua, terang, dan tidak berbau, itu tandanya masih segar.
Sebaliknya kalau insangnya terlihat pucat, gelap, dan kotor serta berbau
busuk, jelas ikan tersebut sudah mulai membusuk. Apa kaitan pilkada dengan
ikan? Anda tahu mana bagian dari ikan yang cepat membusuk? Betul, kepalanya.
Maka
dengan memakai analogi ikan, kita perlu hati-hati dalam memilih kepala
daerah. Apa jadinya kalau kita memilih kepala daerah yang cepat busuk? Begitu
berkuasa, dia jadi mudah disuap atau mengonsumsi narkoba. Kasusnya banyak.
Kalau itu yang terjadi, sebagus- bagusnya sistem, ia bakal dirusak oleh sang
kepala daerah. Kalau itu yang terjadi, ya celaka.
Kita
akan merana, setidaktidaknya selama dia masih menjabat— termasuk kalau
nonaktif sekalipun. Kita seakanakan masuk perangkap. Anda tahu, kita tak
seperti pejabat di Jepang, negara-negara Skandinavia dan Spanyol. Di Jepang,
kalau seseorang terbukti melakukan kesalahan, apalagi sampai korupsi atau
selingkuh, mereka tak akan segan-segan mengundurkan diri.
Bahkan
di Jepang, kalau skandalnya begitu memalukan, mereka akan melakukan seppuku
atau bunuh diri. Contohnya Menteri Ekonomi Jepang Akira Amari. Ia mundur dari
jabatannya walaupun ia tidak terbukti menerima suap. Bahkan atasan Amari, PM
Shinzo Abe, sudah memintanya untuk tidak mengundurkan diri.
Namun
Amari bersikeras. Ia malu. Amari memang tidak terima suap, tapi anak buahnya
menerima senilai Rp1,5 miliar. Lalu lima tahun silam Direktur Perusahaan
Kereta Api Hokkaido, Jepang, Naotoshi Nakajima melakukan bunuh diri. Pada Mei
2011 terjadi kecelakaan kereta api yang mengakibatkan 35 penumpangnya
lukaluka, tapi tidak ada korban jiwa.
Meski
begitu, lantaran merasa bertanggung jawab atas kecelakaan itu, Nakajima
memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke laut. Saya tak terbayang.
Adakah pejabat kita yang punya nyali seperti mereka berdua? Begitu pula di
Eslandia. Awal April 2016, PM Sigmundur David Gunnlaugsson memilih mundur
karena namanya tercantum di Panama Papers.
Sebelas
hari kemudian giliran Menteri Industri, Energi dan Pariwisata Spanyol Jose
Manuel Soria yang mundur lantaran skandal serupa. Negara kita juga belum
seperti China atau Filipina. China tak segan-segan menghukum mati pejabatnya
yang terbukti melakukan korupsi.
Sementara
Presiden Rodrigo Duterte dari Filipina dengan tegas menembak pengguna dan
bandarbandar narkoba. Di negara kita? Ini pun kita harus berhati-hati di
sini: karena banyak juga berita palsu yang dikalungkan kepada orangorang
hebat yang lalu, kita dipaksa untuk menerima info itu sebagai kebenaran
mutlak.
Sementara
pelakunya melenggang penuh senyum bak pemilik kewibawaan nan paling suci. Ini
tentu memerlukan daya kritis dan dukungan sains untuk tidak mengada-ada dan
Indonesia kehilangan pemimpin yang bagus-bagus.
Jangan Asal Pilih
Bicara
soal ini, saya jadi teringat dengan disruption.
Anda tahu banyak perusahaan mapan yang kehilangan pangsa pasarnya akibat
hadirnya startup yang bisa menyediakan jasa serupa, tetapi harga jauh lebih
murah.
Faktor
kuncinya adalah teknologi, simplicity, kemampuan memberdayakan jejaring lewat
sharing—bukan owning—, serta model bisnis yang mengusung semangat
win-win-win. Bisakah konsep serupa diterapkan di pemerintahan daerah? Tentu
kita perlu untuk men-disrupsi pemerintahan dan aparat daerah, terutama yang
sudah terperangkap dalam zona nyaman.
Jangan
sampai kita memilih pemimpin daerah yang biasa hidup di zona nyaman dan
memberi janji muluk yang berlebihan. Ini tentu bakal mempercepat proses
pembusukan birokrasinya. Kita juga ingin seusai Pilkada 2017, bukan hanya
kepala daerah terpilih yang merasa menang,
tetapi
para pesaing dan pendukung-pendukungnya dan akhirnya kita sebagai
stakeholders juga merasa menang. Jadi win-win-win , bukan? Soal bentuk
disruption-nya, bisa macam-macam. Nantilah kita bahas. Jangan lupa bulan
depan buku barunya sudah terbit. Semoga Anda bersabar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar