Label
Islam Radikal
Mukhijab ; Mahasiswa Program Doktoral Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
|
JAWA POS, 19 Januari
2017
ISLAM
radikal, intoleran, antipluralisme, dan eksklusif masih saja disematkan pada
agama samawi tersebut. Karena kebenaran label itu diperdebatkan, kalangan
positivistik Islam –yang memandang Islam sepenuhnya sebagai agama (dogma)–
mengecap embel-embel tersebut dan mengategorikan sebagai stigmatisasi.
Sebaliknya, kalangan Islam liberal –yang menempatkan Islam sebagai ideologi–
memandang itu sebagai kebenaran yang berlaku secara parsial.
Tulisan
ini membahas labelisasi bertendensi stigmatisasi yang dikaitkan dengan sumber
wacana dari kekuasaan (pimpinan negara/presiden), yang merujuk pada pemikiran
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang fenomena Islam radikal. Pertemuan
Presiden Jokowi dengan Ketua Umum PB NU Said Aqil Siroj (11/1) menjadi simpul
isu tersebut. Menurut Said, presiden prihatin terhadap fenomena itu dan
organisasi yang dipimpinnya ditugasi mengatasinya. Dia berpendapat,
orang-orang berpaham radikal seolah-olah tengah mendominasi (pemikiran)
lembaga-lembaga pendidikan agama, masjid-masjid, dan targetnya mengubah dasar
negara Pancasila menjadi negara agama. Apakah tengara itu faktual atau
politisasi agama oleh kekuasaan?
Terdapat
beragam labelisasi agama, yang populer Islam fundamentalis, Islam militan,
Islam ekstrem, dan Islam radikal. Siapa pelabelnya? Masalah itu berkaitan
dengan monopoli pengetahuan; aktornya penguasa, kaum intelektual, dan
pemangku keamanan (intelijen, militer, serta polisi). Dalam konteks
kepentingan politik, pemerintah paling dominan melakukannya.
Graham
E. Fuller (2010), mantan wakil ketua Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat
(AS) dan mantan kepala Stasiun Biro Central Intelligence Agency (CIA) di
Kabul, mengulas bahwa AS merupakan contoh ideal di mana pemerintahannya
sering melabeli aktivis atau gerakan dan negara Islam. Alumnus Harvard
University yang kini menjadi analis senior bidang politik itu berpendapat,
labelisasi agama bersifat subjektif dan politis.
Dalam
A World without Islam, Fuller
menyebut Presiden AS George Bush sebagai sosok pemimpin yang piawai melabeli
Islam dengan istilah teroris atau organisasi teroris, Islam radikal, dll.
Definisinya sesuai selera politik pemerintah maupun personal presiden.
”Terrorism is what I say it,” atau Departemen Pertahanan AS mendefinisikan:
i) kekerasan dikategorikan melanggar hukum (unlawful violence) apabila pelakunya aktivis atau organisasi
Islam, ii) kekerasan dikategorikan taat hukum (lawful violence) ketika pelaku kekerasan representasi negara AS.
Presiden
Barack Obama digambarkan berbeda, cenderung menghindari insinuasi terhadap
aktivis, tokoh, dan organisasi Islam. Pikirannya sedikit terbuka dan ingin
menempatkan Islam yang bermartabat. Masalahnya, Bush dan Obama mengutamakan
dimensi ideologis dan politis. Dedikasinya pada kekuasaan pemerintahannya
dalam relasi politik nasional dan internasional. Mereka mendangkalkan
nilai-nilai spiritualitas dan adiluhung agama serta mendorong agama atau
organisasi agama tidak eksis ”di rumahnya sendiri” dan memaksa agama serta
aktor-aktornya berkompromi dengan kekuasaan mereka.
Islam
di Indonesia yang menjadi keyakinan mayoritas warganya juga dilabelisasi penguasanya.
(Almarhum) Presiden Soeharto merupakan contoh sempurna pelaku stigmatisasi
Islam yang potensial mengganggu kekuasaannya. Beberapa sebutan disandangkan
seperti kelompok kanan, kelompok Islam garis keras, gerakan ekstrem, gerakan
sempalan, atau gerakan anti-Pancasila. Akibatnya, tensi hubungan Islam dengan
pemerintah Orde Baru sangat fluktuatif. Anehnya, rezim Orde Baru selalu
mendekati kekuatan-kekuatan Islam untuk mendapatkan sokongan politik,
melanggengkan kekuasaan.
Meskipun
labelisasi terhadap Islam meluruh sejak era reformasi, suasana relasi Islam
dan pemerintah tidak mulus, berkaitan dengan insiden-insiden terorisme pada
masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tragedi bom Bali 2000 dan
2002 maupun peristiwa sebelumnya memicu adrenalin Presiden Megawati, mengapa
ada pelaku teror dan dari komunitas Islam. Label ”Islam garis keras” maupun
teroris menjadi akrab di telinga warga.
Presiden
Jokowi ikut masuk pusaran labelisasi dengan mewacanakan secara langsung
maupun tidak langsung (lewat tokoh agama) Islam radikal yang berkarakter
intoleransi, antipluralisme. Wacana itu bisa jadi diilhami munculnya gerakan
Islam yang menuntut keadilan dalam kasus pelecehan agama maupun pelaku
rencana aksi teror yang ”digagalkan” polisi. Apakah tepat menggunakan
terminologi Islam radikal?
Olivier
Roy (2005) mengingatkan akan potensi overlapping pemahaan antara
fundamentalis dan radikalis. Menurut dia, Islam fundamentalis dan Islam
radikalis memiliki misi identik: memahami agama secara tekstual. Fundamentalis
bermetamorfosis menjadi radikal ketika pemahaman tekstual bergeser ke politik
dan ideologis, dari gerakan pengetahuan agama menjadi gerakan politik.
Siapakah
Islam radikal? Karena Jokowi tidak mendeskripsikan, pengertiannya menjadi
kabur. Pertama, apakah kelompok Islam yang terlibat aksi praksis seperti aksi
masal menuntut keadilan dalam kasus penistaan agama bisa digolongkan Islam
radikal? Kedua, apakah segelintir orang yang ditangkap atas dugaan terlibat
terorisme juga representasi gerakan Islam radikal? Dalam pemahaman sederhana,
Roy menekankan, aktivis dan organisasi menjadikan Islam sebagai ideologi
politik bagi seluruh kehidupan sosial. Dimensi kekuasaan sangat substansial
dan bangunan komunitas (masyarakat) dalam integrasi keimanan dan keesaan Tuhan.
Sampai sejauh itukah gerakan-gerakan sosial dan politik yang dicemaskan
pemerintahan Jokowi?
Haruskah Dilabeli?
Sebagai
agen CIA yang meneliti dunia Islam, Fuller mengingatkan akan konsekuensi
labelisasi oleh pemangku pemerintahan. Ketika presiden mengidentifikasi Islam
radikal, muncul opsi (biner) yang mengklaim tidak radikal. Ketika satu orang
disebut teroris, antitesisnya orang lain pejuang antiteroris. Pendekatan
biner itu melahirkan kebencian, permusuhan, dan kemarahan antarkelompok yang
berbeda tipologinya.
Jadi,
labelisasi agama sebagai trik politik yang membahayakan keutuhan bangsa tidak
hanya memicu perpecahan agama. Ongkos labelisasi agama sangat mahal. Kalau
sebagai strategi politik (political
call) saja, yang berorientasi pada stabilisasi dan dukungan kekuasaan
presiden, alih-alih menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional
sebagai topengnya. Haruskah labelisasi terhadap agamanya sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar