Memilih
Calon Kepala Daerah Antikorupsi
Armand Suparman ; Peneliti
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
|
MEDIA INDONESIA,
31 Desember 2016
DESEMBER
tahun ini perayaan Hari Antikorupsi terasa tepat dan spesial karena
berlangsung dalam suasana kampanye di 101 daerah. Publik tentu sedang
menimbang-nimbang kandidat-kandidat yang dianggap paling kapabel dan
berintegritas. Perayaan itu pun menjadi alarm bagi kesadaran publik untuk
memilih calon pemimpin daerah antikorupsi. Alarm itu krusial ketika perilaku
koruptif yang melanda para kepala daerah di era reformasi ini kian banal dan
masif.
Tak
tanggung-tanggung, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan episentrum
korupsi saat ini berada di daerah. Lihat saja jumlah kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi. Dalam kurun 2010-2015, 110 bupati menjadi tersangka;
wakil bupati 16, wali kota 34, wakil wali kota 7, gubernur 14, dan wakil
gubernur 2 (Mediaindonesia.com, 29/8/). Sementara itu, dalam Laporan Tahunan
KPK 2015, pada 2005-2015, terdapat 17 gubernur dan 49 bupati/wali kota dan
wakil yang terjerat korupsi. Pada 2015, ada delapan kepala daerah yang
berurusan dengan penegak hukum.
Angka-angka
itu sulit diterima nurani publik. Bagaimana mungkin kepala-kepala daerah yang
dipilih langsung oleh rakyat dengan begitu mudah berkhianat. Litani
penangkapan yang dilakukan KPK dan penegak hukum lainnya ternyata tak cukup
menciutkan nyali kepala daerah, untuk mencolong uang rakyat. Rompi oranye KPK
rupanya bukan hantu yang menakutkan bagi para kepala daerah. Rompi ini
sepertinya memacu kreativitas mereka untuk membangun tembok pelindung diri
agar tidak terdeteksi radar penegak hukum. Korupsi tidak dianggap lagi
sebagai sebuah kejahatan, sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja.
Dalam
situasi banal ini, Indonesia seharusnya dikenai status bencana nasional.
Sebab tak terhitung rupiah yang ditilap untuk kepentingan pribadi dan
kelompok. Padahal masih banyak rakyat yang megap-megap dalam kubangan
kemiskinan. Selama semester I 2016 saja, dalam catatan ICW, kerugian negara
akibat laku koruptif pejabat daerah di sektor infrastruktur ialah Rp485,5
miliar dari 63 kasus. Sementara itu, noninfrastruktur ada 148 kasus dengan
total kerugian negara Rp404 miliar. Jika hasil korupsi dikumpulkan, jumlahnya
mendekati Rp1 triliun. Sebuah angka yang bisa membiayai kurang lebih 1.000
desa jika mengacu pada program dana desa.
Penelitian
KPPOD (2012) menunjukkan daya destruktif dari laku koruptif pejabat daerah
bagi kualitas infrastruktur di daerah. Korupsi menyebabkan peningkatan
anggaran daerah di bidang infrastruktur. Ini terjadi karena kontraktor proyek
memasukkan biaya korupsi, seperti penyuapan/penggelembungan anggaran, ke
perhitungan total nilai proyek.
Imbasnya,
kualitas jalan tidak memadai dan menghambat denyut perekonomian daerah. Lebih
dari itu, peningkatan anggaran infrastruktur (yang sia-sia ini) mengurangi
dan menutup peluang pembangunan sektor utama lain, seperti pendidikan dan
kesehatan. Kelompok yang terkena imbas perilaku koruptif kepala daerah ialah
golongan yang tidak berdaya secara ekonomi, sosial, dan politik. Korupsi
telah mencuri sumber-sumber daya yang seharusnya mereka terima. Pada titik
ini, korupsi sesungguhnya menjadi kejahatan kemanusiaan. Sebuah tindakan yang
menghalangi manusia lain untuk hidup layak sebagai manusia.
Publik
pasti sepakat segala tindakan melawan kemanusiaan harus dilawan. Hemat saya,
momen pilkada langsung ini menjadi instrumen perlawanan dengan memilih
kandidat-kandidat berkarakter antikorupsi. Memang tak dimungkiri, masifnya korupsi
di kalangan kepala daerah menggerus kepercayaan publik pada pilkada. Rentetan
pilkada selama ini dimaknai sebagai sarana yang hanya melahirkan perilaku
berulang para kepala daerah. Semestinya pilkada menghasilkan kepala-kepala
daerah yang mumpuni membawa rakyat lebih dekat dengan kesejahteraan.
Alih-alih demikian, yang terjadi justru kepala daerah menjadi sumber
malapetaka bagi daerahnya.
Lalu,
apa akar persoalan ini? Mengapa kepala daerah yang dipilih langsung tega
mengkhianati kepercayaan rakyat? RAA Wattimena (2012) mengaitkan laku
koruptif dengan pemikiran F Nietzsche yang menyatakan manusia memiliki hasrat
untuk berkuasa. Hasrat berkuasa ini menjadi sumber segala kejahatan termasuk
korupsi. Sebaliknya, hasrat berkuasa ini berdaya konstruktif jika diarahkan
untuk menciptakan bonum commune. Pemikiran Nietzsche ini terkonfirmasi dalam
pengalaman Indonesia hari-hari ini. Baik di level daerah maupun pusat,
kekuasaan sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan
kelompok.
Selain
hasrat berkuasa, demokrasi (langsung) yang bersahabat karib dengan
kapitalisme (kepentingan ekonomi) juga menjadi rahim yang melahirkan
koruptor-koruptor. Biaya pilkada yang begitu mahal menjadi gerbang selamat
datang bagi pemilik modal dalam proses demokrasi. Tak mengherankan politik
uang marak terjadi. Survei KPK (2015) menyatakan 75% publik mengetahui
politik uang dan 44% enggan melapor pelanggaran pemilu. Hasil ini menunjukkan
politik uang sudah menjadi rahasia umum tapi masyarakat tampaknya permisif.
Publik
juga bisa menderetkan satu-satu akar lain dari persoalan ini. Hemat saya,
dalam konteks demokrasi langsung, ketika kepala daerah dipilih secara
langsung, satu akar masalah yang perlu diperhatikan bersama adalah pilihan
masyarakat sendiri. Kita boleh menyalahkan sistem atau partai politik. Kita
boleh menyalahkan penegakan hukum yang mood-mood-an. Itu tidak debatable
lagi; sudah menjadi rahasia publik karena demikian adanya. Saat ini
masyarakat harus jujur pada diri sendiri. Suka tidak suka, masyarakat (pemilih)
sesungguhnya memberikan kontribusi. Masyarakatlah yang memilih
koruptor-koruptor itu.
Karena
itu, hari-hari kampanye ini hendaknya menjadi momen berharga bagi publik
untuk mengevaluasi dan me-review integritas kandidat. Pertama, rekam jejak
merupakan parameter terukur untuk menilai integritas kandidat, bukan janji,
dan slogan politik. Sudah menjadi rahasia umum, janji atau slogan politik
tidak memiliki garansi untuk diimplementasikan di kemudian hari.
Pada
era siber seperti ini, bukan perkara sulit menelusuri jejak-jejak kandidat,
apalagi dalam konteks pilkada ketika rakyat pemilih dengan kandidat tidak
berjarak. Rakyat bisa mengetahui 'luar-dalam' para kandidat, bahkan bisa
mengetahui karakter dan rekam jejak keluarganya.
Kedua,
transparansi dana kampanye. Kandidat yang antikorupsi menyeleksi semua bentuk
sumbangan entah berbentuk uang maupun barang/jasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kandidat boleh mengunakan beragam bentuk kampanye; mulai
program-program populis dan berusaha berbeda dari kandidat kompetitor,
blusukan, penyebaran poster-poster, baliho, sampai pada pendirian posko
pemenangan atau rumah aspirasi. Semua ini sah-sah saja sepanjang pendanaannya
tidak bertentangan dengan regulasi pemilu.
Dua
aspek ini patut menjadi bahan deliberasi pemilih sebelum menjatuhkan pilihan.
Diktum Lord Action berbunyi: "kekuasaan itu cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut". Jadi, pilihlah
calon kepala daerah antikorupsi yang berani melawan atau meminimalkan kecenderungan
kekuasaan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar