Membudayakan
Inovasi di Birokrasi
Abdullah Azwar Anas ; Bupati Banyuwangi
|
JAWA POS, 16 Januari
2017
SALAH
satu tantangan utama untuk menyukseskan program pembangunan adalah penguatan
birokrasi. Birokrasi adalah variabel terpenting yang menentukan kesuksesan
program pembangunan. Bisa dikatakan, birokrasi yang kapabel dan solid
menggaransi 50 persen kesuksesan program. Sisanya adalah sinergi elemen lain
dan evaluasi berkelanjutan.
Di
sisi lain, harus diakui masih adanya persepsi sebagian publik yang menganggap
birokrasi justru bagian dari permasalahan, bukan bagian dari solusi. Persepsi
tersebut menjadi tantangan untuk memacu kinerja birokrasi.
Maka,
kuncinya adalah penguatan birokrasi –tentu dengan sekian faktor pendukung
lain seperti partisipasi publik. Penguatan birokrasi bakal bermuara pada
kualitas pelayanan publik. Perlu terobosan penting agar pelayanan publik
berjalan semakin baik.
Tapi,
yang perlu dilakukan bukan lagi pelayanan publik yang bersifat business as
usual. Dalam konteks itulah inovasi menjadi penting dan relevan.
Agak
sulit membayangkan, jika di tengah derasnya tuntutan publik terhadap
peningkatan pelayanan birokrasi tak ada inovasi yang dilakukan. World
Economic Forum dalam The Competitiveness of Cities (2014), berdasar riset di
banyak kota di dunia, pun telah memetakan empat aspek yang menggaransi
peningkatan daya saing dan keberhasilan daerah. Pertama, penguatan
kelembagaan. Kedua, kebijakan yang baik dan inovatif. Ketiga, hard
connectivity. Keempat, soft connectivity. Aspek pertama dan kedua saling
berkaitan karena bertautan dengan penguatan birokrasi serta inovasi di
dalamnya.
Aspek
penguatan kelembagaan menaruhperhatianpadabagaimana birokrasi sebagai
organisasi publik diperkuat: mampu dan cepat berkolaborasi, mempunyai visi
kepemimpinan yang jelas, dan sigap merespons dinamika zaman. Intinya ada pada
kapasitas organisasi. Penguatan kelembagaan itu penting untuk menyemai dan
menjaga keberlanjutan benih-benih inovasi.
Aspek
kebijakan mengandaikan adanya injeksi inovasi dalam setiap policy yang
ditelurkan. Kerangka kerja kebijakan publik mesti melahirkan program inovatif
yang relevan dengan permasalahan publik, bisa dioperasikan, dan memiliki
perangkat evaluasi yang terukur. Dalam konteks itu, inovasi bisa menjadi kebijakan
dan program yang mampu menjawab problem publik di tengah minimnya sumber
daya.
Membudayakan
Inovasi Satu lagi isu krusial adalah membudayakan dan melembagakan inovasi.
Birokrasi harus menjadi ruang sejuk bagi lahirnya inovasi. Innovative process
itu tak gampang diciptakan karena masih adanya ego sektoral dan
ketergantungan tinggi terhadap pemimpin (pendekatan hierarkis yang masih
kental). Birokrasi harus tumbuh sebagai organisasi yang tak lagi bertumpu
pada otoritas pemimpin ( top-down) yang bisa membuat organisasi tersebut
lambat dan kaku.
Tanpa
pembudayaan dan pelembagaan inovasi, kinerja birokrasi tak akan optimal dan
kita akan dehidrasi di tengah jalan. Sebab, pekerjaan menggerakkan roda
pembangunan daerah bukan seperti lari sprint (adu cepat), melainkan lari
maraton (adu ketahanan). Sehingga butuh kerja sama banyak pihak dan inovasi
terlembagakan, bukan sekadar aksi pimpinan seorang diri.
Dengan
dukungan banyak elemen, pembudayaan inovasi mulai disemai di birokrasi
Banyuwangi, tentu dengan berbagai kekurangan yang ada –dan akan selalu ada.
Cara-cara sederhana dilakukan. Pemahaman bahwa birokrasi tidak butuh
superman, melainkan superteam, mampu membuka semua elemen di lingkungan
birokrasi untuk bergandengan tangan.
Rapat
koordinasi selalu melibatkan seluruh jajaran. Bukan hanya kepala dinas;
kepala bidang, kepala seksi, bahkan staf dilibatkan. Semua dirangkul. Staf
ikut presentasi program. Pelibatan semua jajaran itu dilakukan untuk
membudayakan inovasi. Sehingga inovasi tidak bergantung siapa pimpinannya.
Dengan
memberi ruang hingga level staf, reformasi birokrasi bisa berkelanjutan. Tak
hanya sesaat berdasar siapa yang jadi pimpinan. Dan ini terbukti efektif.
Kompetisi inovasi birokrasi seakan tumbuh di Banyuwangi. Memang belum ideal,
tapi berada di rel yang benar –mengingat mengubah langgam birokrasi bukan
perkara gampang dan cepat.
Antar
puskesmas berlomba berinovasi, mulai program gizi anak, sanitasi, sampai
menekan angka kematian ibu/bayi. Antardesa berlomba, mulai percepatan layanan
berbasis TI hingga jam layanan sampai malam hari. Antardinas berkompetisi,
mulai program kilat akta kelahiran sampai pertanian organik. Antar kecamatan
bersaing, dari layanan jemput bola sampai menyinergikan zakat dengan
pengentasan kemiskinan. Tiga inovasi Banyuwangi pun dipilih Kementerian
PAN-RB untuk diikutkan di ajang internasional United Nations Public Service
Awards 2017 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Fondasi
pembudayaan inovasi itu dibangun secara bertahap. Satu paradigma yang perlu
ditanamkan, skema kerja yang merangkul banyak pihak hingga level terbawah dan
kepemimpinan bersama ( shared leadership) lebih penting ketimbang sekadar
menyelesaikan masalah publik secara parsial: value people, not just
productivity. Sebab, dari situlah keberlanjutan program terjaga. Tapi, tentu
itu tak mudah: butuh energi, waktu, dan ikhtiar yang tak pernah putus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar