Kesenjangan
Berbuah Intoleransi
Geger Riyanto ; Esais, Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat Sosial dan
Konstruktivisme di Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 18 Januari
2017
Intoleransi
dan kesenjangan acap disinyalir saling menyuburkan satu sama lain. Apakah
pemerataan, yang ditandaskan Joko Widodo menjadi fokus pemerintahannya sejak
awal tahun ini, pada hakikatnya mempunyai dampak yang berarti menggerus
kebencian antarkelompok, radikalisme, dan kerentanan sosial lainnya?
Sebelum
kita lebih jauh mengkajinya, ada baiknya kita mempertanyakan terlebih dahulu
dari manakah asumsi tersebut. Asumsi tersebut sudah ada setidaknya sejak awal
kemunculan ilmu sosial. Namun, ia belakangan banyak digaungkan dan alasannya
sangat wajar.
Kesenjangan,
yang bertumbuh secara mencolok beberapa waktu terakhir, secara ganjil
dibarengi musim semi ekstremisme. Di satu sisi, di panggung global
pemimpin-pemimpin yang mengobarkan kebencian terhadap yang lain tengah naik
daun, dan ia dibarengi dengan tren penurunan jatah pendapatan kelas pekerja
dibandingkan jatah pendapatan kelas teratas.
Sementara
di sisi lain, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) membawa radikalisme
religius ke tingkatan baru. Dan, Thomas Piketty—di antara banyak pakar
lainnya—dengan tegas mengatakan, kemunculan organisasi ini tak bisa
dilepaskan dari ketimpangan. Orang-orang miskin, yang tak berdaya di hadapan
monarki Timur Tengah serta rezim privatisasi di Eropa, menemukan harapan
untuk memberdayakan dirinya melalui radikalisme.
Kendati
populer, asumsi ini menuai kritik-kritik nyaringnya. Banyak di antara
pengkritiknya menganggap: adalah hal yang naif untuk mengatakan ketimpangan
dengan sendirinya akan menyebabkan intoleransi. Apakah kita akan mengabaikan
ajaran serta jaringan kelompok radikal? Bukankah, dengan demikian, kita tidak
hanya akan membebaskan para pelakunya dari tanggung jawab, tetapi juga
mengesankan usaha pengentasannya sia-sia?
Saya
kira, pembelajaran dari beberapa konteks di Indonesia sendiri menyediakan
perbandingan yang berharga untuk menguji pikiran-pikiran ini. Baik perspektif
yang melekatkan intoleransi dengan kesenjangan maupun yang mengatribusikannya
dengan jaringan ekstremis tertentu serta doktrin radikalnya. Keduanya punya
keterbatasan untuk mengurai bagaimana intoleransi langgeng dan mengental di
Indonesia.
Intoleransi dan ketakutan
ekonomi
Kita
bisa memulai dengan melihat bahwa di banyak tempat perekonomian sehari-hari
para warganya bertumpu pada jaringan primordialnya. Studi-studi yang ada,
khususnya yang dilansir Gerry van Klinken dan para kolega, memperlihatkan,
akses untuk memperoleh jabatan maupun proyek dari pemerintahan masih sangat
ditentukan oleh jaringan berbasis etnis. Reformasi ataupun dorongan
akuntabilitas, pada faktanya, belum banyak menyentuh praktik tersebut.
Demikian juga yang terjadi di luar pemerintahan. Di kampung-kampung, satu
dari sedikit jalan kelompok tak berpunya untuk memperbaiki hajat hidupnya
adalah dengan mendekati orang kuat setempat dari komunitas etnisnya.
Identitas
yang lebih giat diaktifkan dalam keseharian banyak orang, artinya, adalah
identitas primordial. Hal ini mungkin tak menimbulkan permasalahan pada
dirinya sendiri. Persoalannya, segregasi ini riskan menjadi lahan meruyaknya
kebencian yang diada-adakan terhadap yang lain. Kelompok lain, dengan
penghidupan yang sama-sama diwadahi jaringan etnisnya, rentan dilekatkan
sebagai sekerumunan orang asing yang dapat merogohkan tangannya ke hak-hak
hidup mereka apabila sewaktu-waktu mereka tidak siaga. Dan, seandainya
sentimen ini menyeruak, ia tak akan semakin membaik dengan tidak adanya
ruang-ruang untuk relasi yang berarti di antara kelompok-kelompok identitas
primordial ini.
Kita
tahu, konflik-konflik etnoreligius Indonesia antara 1999 dan 2004 tak pernah
absen dari apa yang pada saat itu akrab disebut ”kecemburuan kepada
pendatang”. Namun, di dua tempat di mana persengketaan ini menunjukkan wajah
termorengnya, Ambon serta Maluku Utara, pada awal kedatangannya para migran
tak langsung disambut dengan dingin. Salah satu persepsi yang muncul waktu
itu adalah kedatangan mereka akan membantu membangun Maluku. Citra baik ini
berangsur-angsur tergerus, khususnya setelah mereka mulai lekat dengan
ancaman terhadap penghidupan orang setempat. Ia menggapai titik nadirnya
setelah transisi politik mendorong adanya pemekaran dan penggantian pejabat
yang membuat orang-orang setempat merasa benteng penghidupan terakhir mereka
dibobol.
Dan,
apabila kita periksa, kapankah konflik etnoreligius maupun retorika-retorika
intoleran pernah benar-benar lepas dari ketakutan orang-orang yang ruang
hidupnya akan diserobot? Terlepas penyelenggaranya mungkin tak memaksudkannya
demikian, teknik-teknik memobilisasi massa dalam unjuk rasa akbar bela agama
tempo hari sarat dimuati dengan retorika adanya penjajahan ekonomi oleh etnis
tertentu. Terakhir, isu tenaga kerja Tiongkok merebak dan pemerintah harus
membuang-buang energi untuk menanganinya. Dari sisi manakah isu ini tak bisa
dikatakan beririsan mendalam dengan urusan hajat hidup?
Namun,
kita pun tak bisa mengatakan intoleransi merebak semata karena orang hidup
dalam ruang-ruang yang tersekat satu sama lain. Di sinilah kita perlu melihat
bahwa ketakutan terhadap yang lain ini berkembang bukan semata lantaran
situasi materialistis penghidupan kita masih didikte jaringan-jaringan
primordial. Kita juga berada pada konteks sosial-politik di mana ketakutan
terhadap yang lain menjadi imajinasi yang terus-menerus direproduksi lantaran
berfaedah dan berimplikasi pada berjangkitnya persepsi kelompok lain sebagai
momok menakutkan di ruang-ruang yang lebih luas.
Reproduksi
ini terjadi dalam perpolitikan dan, sebagaimana yang kita tahu, ia terjadi
seiring politisi atau kanal-kanal kampanyenya mendeklarasikan permusuhannya
terhadap momok lain ini untuk mendulang suara cepat. Reproduksi ini terjadi
di ruang-ruang khotbah. Pasalnya, tak banyak ide yang lebih ampuh untuk
merenggut perhatian pendengar di samping imajinasi umat berada dalam bahaya
dan peperangan. Dan, reproduksi ini terjadi di media sosial untuk menuai hal
yang sama, perhatian, ditambah dengan acungan jempol serta jumlah pengikut.
Menganyam ruang bersama
Jadi,
apakah kesenjangan menyulut kebencian terhadap perbedaan? Ia punya andil,
kita bisa pastikan demikian, walau ia tak memengaruhi secara langsung. Apa
yang terjadi di berbagai konteks Indonesia adalah situasi berliput
ketidakpastian dan tergerusnya sumber-sumber penghidupan lama mengharuskan
orang-orang mengandalkan ikatan primordial sebagai jaring pengaman sosialnya.
Meleburnya
aktivitas ekonomi dengan identitas primordial, permasalahannya, tak selalu
berujung baik. Ia membiasakan orang-orang untuk melihat kelompok primordial
lain sebagai ancaman, momok, liyan, dan di sinilah kepelikan ekonomi serta
upaya mengatasinya melalui jaringan primordial membuka potensi kebencian
terhadap yang lain.
Kita,
memang, tak bisa menampik bahwa mobilisasi primordial untuk
kepentingan-kepentingan pragmatis pun memperkeruh keadaan; bahwa ketakutan
terhadap yang lain mengalami magnifikasinya berkat terus ditanamkan dan
diulang keras-keras di sekeliling kita. Namun, saya kira, pemerataan yang
disinggung Presiden akan mempunyai dampak yang bisa diharapkan apabila ia
dapat memastikan intoleransi tak mempunyai pijakan nyaman di kenyataan
sosial. Dengan apa? Dengan memastikan pembangunan ekonomi berfaedah bagi
setiap pihak secara adil. Dengan memastikan, favoritisme primordial digerus
dalam prosesnya.
Dengan
akutnya perkronian di birokrasi serta jaringan primordial yang mengurat akar
dalam menentukan hajat penting di kehidupan banyak orang, kita mesti mengakui
kita tak bisa melakukannya dalam semalam. Namun, kita perlu melakukannya.
Saya tak melihat gagasan Indonesia mempunyai tempat yang pasti di masa depan
kalau kita tidak mulai menganyam republik menjadi ruang bersama yang adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar