Inokulasi
Komunikasi
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political
Literacy Institute
|
KOMPAS, 18 Januari
2017
Ibarat
drama, panggung kehidupan di tahun baru akan menghadirkan banyak cerita. Harapan
dan tantangan ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Pun demikian dengan
panggung politik pada 2017. Agenda politik nasional kita sangat padat dan
berimpitan satu sama lainnya hingga 2019.
Awal
tahun, atmosfer politik dipanaskan oleh kontestasi elektoral di 101 daerah
yang menggelar pilkada serentak. Selain juga pertarungan politik di DPR
terkait dengan UU Pemilu, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta
tahapan penyelenggaraan pilkada serentak 2018 serta tahapan Pemilu 2019 yang
menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Menyikapi situasi yang
menghadirkan banyak gesekan, rivalitas, paradoks kepentingan, maka akan
sangat penting untuk memosisikan komunikasi sebagai solusi.
Peran substansial
Benarkah
komunikasi hanya memainkan peran instrumental? Jadi sekadar ”pemadam
kebakaran” di saat caci-maki, rumor, gosip, berita palsu, dan ujaran
kebencian berhamburan di kanal-kanal komunikasi warga? Hanya menjadi alat
dalam lobi,negosiasi, safari politik, unjuk rasa, ataupun unjuk kekuatan?
Tentu
saja tidak! Komunikasi memiliki makna substansial yang sedari awal seharusnya
dipahami dan diposisikan sebagai prioritas dalam bekerjanya keseluruhan
fungsi-fungsi politik.
Komunikasi
mengembangkan niat baik, pemahaman bersama yang harus dikelola secara
berkelanjutan. Komunikasi membuka ruang untuk bersepakat (zone of possible
agreement), yang memungkinkan setiap kepentingan dan perbedaan bisa bertemu,
berdialog, berdialektika, bahkan menjadi konsensus bersama. Syaratnya, tata
kelola komunikasi harus diperkuat dan menjadi agenda prioritas bersama.
Berkaca
pada peristiwa di akhir tahun 2016, tenunan kebangsaan dan rumah besar
Indonesia yang berdiri di atas fondasi kebinekaan hampir saja terkoyak besar
karena isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) yang berkelindan dengan
syahwat berburu kekuasaan. Pesatnya perkembangan teknologi digital,
pertarungan opini cepat menyebar, menstimulasi konflik, provokasi, dan
menyalakan api kebencian di kanal-kanal warga yang sifatnya personal seperti
media sosial.
Demokrasi
siber (cyberdemocracy) banyak memindahkan tradisi bercerita dan bertukar
gosip serta rumor dari mulut ke mulut menjadi tautan informasi yang menyesaki
lini masa media sosial. Tak dimungkiri, meminjam istilah Walter Fisher,
sebagaimana dikutip Julia T Wood (Communication Theories in Action, 2004),
manusia adalah Homo narrans alias makhluk pencerita.
Tentu
sebagai pencerita, makna dan peristiwa dipertukarkan di antara sesama warga.
Hak konstitusional ini dilindungi di negara demokrasi sebagai bentuk
kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebanyakan orang sadar akan haknya
tetapi abai bahwa ada kewajiban untuk menghormati dan menghargai kebebasan
orang lain.
Pencerita
yang punya tanggung jawab sosial adalah yang mempraktikkan manajemen privasi
komunikasi. Sandra Petronio dalam karyanya, Boundaries of Privacy: Dialectics
of Disclosure (2002), menyebutkan komunikator harus mengatur mana yang perlu
dan tak perlu disampaikan. Pertimbangan substansialnya: pesan mana yang
membangun keadaban publik berlandaskan pemahaman hukum dan etika dan pesan
mana yang merusak harus dipilah berdasarkan pertimbangan kewarasan nalar.
Fenomena
di dunia maya dan di dunia nyata menunjukkan banyak orang yang ”sakit” dalam
proses berkomunikasinya akibat keterbelahan dukungan politik dan
sektarianisme. Sebuah cara berkomunikasi yang diarahkan oleh mental bigot.
Istilah bigot sendiri merujuk kepada orang yang memiliki dasar pemikiran
bahwa siapa pun yang tak memiliki kepercayaan yang sama dengan dirinya adalah
orang atau kelompok yang salah.
Sektarianisme
adalah bentuk bigotry yang mewujud dalam sentimen kebencian dan
intoleran.Berpikiran negatif terhadap orang ataupun kelompok berbeda,
terutama suku, agama, dan ras.
”Vaksin” argumentasi
Coba
kita tengok beragam kanal media sosial, caci-maki dan provokasi menjadi menu
harian. Kebencian diproduksi, direproduksi, didistribusikan, serta dikonsumsi
secara masif dan eksesif. Di saat seperti inilah imunitas nalar masyarakat
awam kerap melemah dan mudah terjangkit gejala kedengkian dan hasutan yang
mewabah di kanal komunikasi mereka. Oleh karena itu, inokulasi dibutuhkan
setiap saat dalam berkomunikasi.
Istilah
inokulasi komunikasi dikenalkan William J McGuire dalam Inoculation Theory,
sebagaimana dikutip di bukunya Pfau, The Inoculation Model of Resistance to
Influence (1997). Menganalogikan proses ini seperti di dunia medis, orang
harus diberi vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Seseorang
yang memiliki daya tahan tubuh kuat tentu tak akan mudah terserang penyakit.
Pun
demikian dalam proses berkomunikasi. Banyaknya orang yang terpersuasi pada
mental bigot dan menjadi Homo narrans yang gampang terbawa arus penyebaran
virus kebencian adalah orang yang kerap abai dengan keberbedaan argumentasi,
verifikasi sumber informasi, dan jarang mengomparasikan antara satu informasi
dan sumber informasi lainnya.
Dalam
situasi seperti ini, peran tanggung jawab sosial penyuntik ”vaksin” informasi
menjadi signifikan. Pertama, institusi pendidikan, organisasi massa, dan
organisasi keagamaan harus terus memperkuat literasi media dan literasi
politik sehingga senyawa pengetahuan, keterampilan, dan sikap warga yang
lebih berdaya muncul dan memberi daya tahan dalam proses komunikasi warga
yang multikanal. Bukan sebaliknya, institusi-institusi ini justru jadi
”inkubator” mental tak toleran-sektarian.
Kedua,
institusi media massa. Di tengah impitan kepentingan ekonomi politiknya,
media dituntut memberikan kontribusi pada penguatan argumentasi yang sehat di
tengah warga. Data hasil survei Litbang Kompas di DKI, 7-15 Desember 2016
dengan 800 responden, menunjukkan televisi paling banyak digunakan orang
untuk memperoleh informasi tentang Pilkada DKI.
Sebanyak
92,6 persen responden menyatakan televisi masih jadi referensi utamanya. Sebanyak
36,6 persen responden mendapatkan informasi dari media sosial. Sementara
responden yang menjadikan media daring sebagai referensi informasi ada 31,3
persen dan surat kabar 26,3 persen (Kompas, 24/12/2016).
Artinya,
media massa—baik televisi, koran, maupun media daring—bisa berperan dalam
”menyuntikkan” vaksin informasi yang baik dan argumentasi yang memperkuat
nalar kritis warga. Bukan sebaliknya, media massa terjerat dalam ”dosa-dosa
mematikan” bagi peran dan fungsi pers, seperti digambarkan oleh Paul Johnson
dalam artikelnya, The Media and Truth: Is There a Moral Duty? (1997). Seperti
melakukan distorsi informasi, dramatisasi fakta, penyalahgunaan kekuasaan,
dan lain-lain.
Ketiga,
peran para tokoh, baik elite politik, agamawan, para kandidat di pilkada,
maupun kaum intelektual yang kerap menjadi pembuat opini. Cara mereka
bertutur dan bersikap akan sangat berperan penting dalam inokulasi
komunikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar