Yang
Otentik dan Superfisial
tentang
Gerakan Penista Agama
Teuku Kemal Fasya ; Dewan
Pakar Nahdlatul Ulama Aceh
|
SATU HARAPAN, 28
November 2016
Jumat
terakhir sebelum 2 Desember 2016, saya mendapat sebuah khutbah yang menarik
di mesjid Agung Al Munawarah Kota Jantho, Aceh Besar, yang menjadi inspirasi
dan pemantik tulisan ini.
Sang
khatib dengan suara tenang dan jelas mengulas kondisi umat saat ini yang
mabuk aksi massa, menuntut dipenjarakannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
sebagai penista agama Islam. Menurut sang khatib, aksi-aksi massa berskala
besar hanya untuk seorang Ahok berbaur negatif menjadi semangat menghina
agama-agama lain di Indonesia yang kebetulan minoritas. “Padahal Islam adalah
agama tinggi, sangat melarang menghina keyakinan dan agama lain. Kita
seharusnya menghargai agama-agama yang hidup di Indonesia. Biarlah kasus
penistaan agama itu diselesaikan pihak keamanan secara profesional tanpa
harus dirongrong oleh aksi massa”, ujarnya.
Islam
Otentik
Momen
khutbah itu di luar perkiraan. Hal itu sekaligus membuka mata dan telinga
bahwa kegaduhan dunia maya dan media sosial tidak semuanya berdampak di dunia
nyata. Di dunia nyata, masih banyak alim-ulama yang tak terpengaruh dengan
kegaduhan di media massa atau daring dan memperkeruh melalui wacana
permusuhan yang berdampak negatif pada kerukunan umat beragama.
Sketsa
itu juga menjadi sinyal bahwa Islam otentik masih bernyala di Nusantara.
Masih ada semangat mencari akar-akar keaslian Islam, yaitu nilai-nilai
perdamaian, keadilan, toleransi, kasih-sayang, dan kemanusiaan, yang saat ini
terancam oleh “Islam marah” yang disebar secara anonim di media sosial
seperti Whatsapp atau Facebook. Padahal banyak pesan itu menyalin kedangkalan
atau superfisialitas yang tidak bernadi di sejarah dan prinsip utama Islam.
Salah
satu superfisialitas itu adalah seruan Salat Jumat pada 2 Desember 2016 di
jalan protokol Jakarta seperti disampaikan tokoh-tokoh Gerakan Nasional
Pengawal Fatwa (GNPF). GNPF kali ini tidak lagi membawa embel-embel Majelis
Ulama Indonesia (MUI) karena pimpinan organisasi agamawan muslim bentukan
negara itu tidak ingin diikutsertakan pada aksi kali ini.
Seruan
itu langsung ditegah oleh ulama senior Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri
melalui twitter-nya, bahwa “ibadah” seperti itu akan menjadi preseden bid’ah
terbesar sejak zaman Rasulullah. Menurutnya tidak ada satu tetes sejarah dan
teks agama Islam yang membenarkan seruan Salat Jumat di jalan atau ruang
terbuka.
Sontak
seruan Gus Mus itu melahirkan reaksi dan respons. Reaksi timbul karena
pandangan Gus Mus dianggap bisa melemahkan semangat orang mengikuti “aksi
massa 212”. Adapun respons lahir dari pemikir hukum Islam (faqih) atas
keabsahan ijtihad “nyeleneh” itu, yang dimunculkan kelompok skripturalis-ortodoks
pengusung aksi massa. NU yang terkenal kelompok konservatif-kultural-moderat
saja sulit menerima “ijtihad” seperti itu.
Di sisi
lain, pemaksaan “aksi 212” semakin agresif dan keluar dari koridor
“menegakkan agama Islam”. Argumentasi agama tak tegak lagi mengalasi aksi
ini. Jika terkait isu dugaan penistaan agama, proses kepolisian telah
berjalan dan meningkat ke level penyidikan dengan tersangka Ahok.
Panglima
TNI, Gatot Nurmantyo, menganggap aksi 2 Desember 2016 berpotensi
memecah-belah persatuan Indonesia. Ia akhirnya menggagas aksi “Nusantara
Bersatu” pada 30 November 2016 untuk meredam “aksi 212” (Kompas.com, 24/11).
Kapolri Tito Karnavian menyebutkan “aksi 212” telah mulai dibonceng ide makar
sehingga harus dikawal secara tegas.
Toleran
atau Fundamentalis?
Sebenarnya
kasus ini menjadi ujian penting bagi bangsa ini, apakah umat Islam Indonesia
tetap elegan dengan simbol Islam toleran ataukah telah mulai bergeser menjadi
kaum fundamentalis yang reaktif.
Akar-akar
toleransi dalam Islam bukanlah semata tafsiran periferal, tapi fakta empiris.
Bahkan sejak era Nabi Muhammad SAW hal itu telah dipraktikkan. Salah satu
yang paling terkenal adalah perjanjian kaum muslim baik dari Muhajirin
(penduduk Mekkah) dan Anshar (penduduk Madinah) dengan kelompok Yahudi, yang
terkenal dengan Perjanjian Madinah (al-Mu’ahadah al-Madinah).
Perjanjian
itu menunjukkan toleransi muslim terhadap non-muslim untuk hidup berdampingan
di “Negara Madinah”. Bahkan kaum Yahudi dari Bani Auf, yang lebih agresif dibandingkan
umat Nasrani, diakui sebagai bagian penduduk Madinah yang mayoritas Islam.
Mereka tidak pernah dipaksa pindah agama. Dipersilakan membangun kerjasama
sosial-ekonomi dengan umat Yahudi, termasuk melindungi mereka dari kejahatan
dan penistaan (Muhammad Syed Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, 1977).
Sejak
itu muncul istilah konstitusional : status non-muslim yang memiliki hak sama
sebagai warga(‘Aqd al-Dzimmah). Istilah al-Dzimmah juga menjadi teks Syar’i,
seperti dalam hadist Nabi berbunyi: “Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi,
maka saya adalah musuhnya. Dan barangsiapa yang memusuhi saya, saya akan
memusuhinya di hari kiamat”. Dalam hadist lain disebutkan, “Barangsiapa
membunuh seorang ahl al-dzimmah, maka diharamkan baginya wangi surga” (Budhy
Munawar Rachman, 2010 : 147-8).
Salah
satu dimensi penting peradaban toleransi Islam terdapat di era Khilafah
ar-Rasyidah, terutama pada masa Omar bin Khattab. Omar menjadi sosok penting
sejarah Islam. Nabi Muhammad pernah menganalogikannya sebagai “jubah dalam
Islam”, sebuah metafora untuk menggambarkan keluasan ilmu dan
kebijaksanaannya.
Di Era
Ibn Khattab lah Islam mengalami perluasan teritorial hingga ke wilayah
non-Jazirah Arab seperti Iskandariyah, Palestina, Irak, Mosul, Suriah, Mesir,
dan Persia. Di wilayah-wilayah penaklukan itu, agama-agama yang telah lebih
dahulu hadir masih tetap lestari. Suriah berbahasa Suryani masih banyak yang
beragama Nasrani, Palestina yang berbahasa Ibrani beragama Yahudi, Kaum
Yazidi berbahasa Asyiria tinggal di perbatasan Irak dan Suriah beragama
Zoroaster dan Mithraisme, dan Mesir berbangsa Qitbi beragama Mesir kuno dan
Kristen Koptik (Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 2007 :
24).
Kepada
mereka Omar ibn Khattab memberlakukan hukum konstitusional sekuler yang
membolehkan agama tetap terpelihara dan melarang perusakan situs-situs agama
lama. Kini peradaban tua yang dilindungi sejak era Khilafah ar-Rasyidah itu
sedang mengalami pemusnahan dan genosida oleh Negara Islam Irak dan Suriah
(NIIS); sebuah gerakan yang tak ada akar Islam otentiknya.
Dengan
sejarah panjang, Islam pun masuk Nusantara melalui peran jaringan ulama yang
kemudian hari di awal abad duapuluh membentuk organisasi Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah; dua ormas terbesar Islam yang menjadi pengawal lahirnya negara
Indonesia dengan dasar Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kasus
Ahok seperti membutakan sejarah panjang bangsa ini. Rasa toleransi yang
tumbuh dalam semangat persaudaraan dan keberagaman, tiba-tiba hangus.
Diam-diam sedang ada dorongan agar negara ini bercita rasa tunggal yang
diklaim representasi Islam. Padahal gerakan itu profan semata, dengan bumbu
penyedap masalah penistaan agama. Jangan main api, bahaya sektarianisme telah
membuat negara-negara Timur-Tengah menjadi negara gagal bisa saja mengempas
ombak ke negeri kita.
Tentu
bangsa ini jauh lebih besar dari hanya isu penistaan agama Ahok. Ahok menjadi
terpidana atau terpilih menjadi gubernur Jakarta tidak membuat umat Islam
Indonesia semakin berkualitas atau buruk rupa. Sebaliknya, kegiatan merusak
keberagaman dan nasionalisme (ukhuwah wathaniyah) tidak merepresentasikan
nilai demokrasi dan otentik Islam, harus ditanggapi serius agar tidak memecah
bangsa sehingga menyulut konflik massif-nasional.
Umat
pun tidak perlu terkotak-kotak ke dalam wacana superfisial, seolah-olah
ketika tidak mendukung demonstrasi tangkap Ahok bukan umat beriman; dengan
pengetahuan atas semua desain aksi-aksi yang melibatkan modal dan kuasa
politik yang hebat. Beberapa di antaranya beririsan dengan klik politik
Pilkada Jakarta.
Keimanan
dan keislaman bukan ditentukan dengan pro atau anti Ahok. Ingatlah pesan
otentik Islam, melalui hadist Nabi Muhammad SAW, bahwa tugas profetiknya tak
lain memperbaharui moral dan etika umat agar semakin paripurna, berjiwa
besar, tawakkal, dan rendah hati (Innama bu'itstu liutammima makarimal
(shalihal) akhlaq). Jadilah umat yang merangkul sesama dan semesta (Islam
rahmatan lil alamin), bukan menyulut ego chauvinisme-tribalistik sehingga
terjerumus menjadi penghina dan agitator.
Allahuakbar!
Hanya Tuhan lah yang paling besar, dan bisa membungkam ego-ego kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar