Punahnya
Sebuah Bangsa
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 01 Desember
2016
Sering kali kita menyatakan semacam identitas atau karakter diri
kita sebagai sebuah bangsa dengan istilah, frasa, atau simbol-simbol yang
abstrak, terkadang malah menggelikan. Hal itu diakibatkan karena ternyata
kita mengalami kesulitan, bahkan ketidakmampuan, menjelaskan makna identitas
itu, termasuk apa dasar historis hingga filosofisnya. Terlebih jika ia
dipertentangkan dengan kenyataan dalam hidup keseharian kita.
Penyebutan "sifat" atau "ciri" semacam
"negeri yang ramah", "masyarakat yang toleran",
"rakyat yang jujur", "hidup yang gotong royong",
"negara yang Bhinneka Tunggal Ika" bisa jadi sekadar klaim
ketimbang sebuah realitas-apalagi keniscayaan-baik alamiah maupun budaya.
Frasa "bhinneka tunggal ika", misalnya, benarkah bermakna sebagai
kesatuan (politis) dari keragaman budaya (agama, ras, suku bangsa, dll) dari
bangsa Indonesia? Dari mana dasar historis pemaknaan itu? Bagaimana landasan
ontologis atau filosofisnya?
Apakah pemaknaan frasa tersebut, katakanlah sejak awal masa
kemerdekaan, tidak lebih dari revaluasi politik yang sesungguhnya berbeda
dengan yang dimaksud oleh buku ataupun penulis aslinya dari masa Majapahit
dulu. Sebagian dari kita mengetahui, Mpu Tantular menuliskan anak kalimat di
atas dalam satu bait yang mengaitkannya pada persoalan (dua) agama yang
tampak berbeda, tapi satu (dalam kebenarannya). Revaluasi terjadi sejak masa
perjuangan kemerdekaan hingga hari ini, tidak lain adalah semacam pelintiran
politis demi keuntungan politik tertentu. "Bhinneka tunggal ika"
pada mulanya bukanlah sebuah aforisma tentang kenyataan atau natur politik
dan budaya, apalagi soal keberagaman sosial (demografis ataupun geografis)
kita.
Lalu apakah kemudian kenyataan sosio-kultural kita sesungguhnya?
Mengapa kita begitu yakin pada identitas ke-"bhinneka tunggal
ika"-an itu, sama seperti kita yakin bahwa kita adalah manusia yang pada
dasarnya santun, multikultural, toleran, dan sebagainya? Benarkah kenyataan
sosiokultural kita hari ini menggambarkan dan mewakili itu? Jika tidak,
apakah kita telah berbohong atau mendustai diri sendiri, atau jangan-jangan
kita telah terdustai selama ini? Oleh siapa? Mengapa? Untuk apa?
Asing yang
organik
Rentetan pertanyaan di atas mungkin terlalu jauh dan membuka
banyak spekulasi walau mungkin saja ia bisa jadi semacam desakan untuk segera
dijawab. Namun, sekurangnya ada sebuah penjelasan sederhana yang berangkat
dari satu fakta dalam kenyataan aktual kita, di mana hidup begitu banyaknya
tradisi, adat hingga budaya lokal di dalam keseharian bangsa ini.
Keanekaragaman etnokultural adalah sebuah "fakta" sosial. Betul
kebinekaannya, tapi benarkah tunggal ika? Cerita bisa berbeda.
Cerita itu bisa dimulai dari fakta lain yang tersimpan di balik
"fakta sosial" di atas: tidak ada kesatuan etnik apa pun di negeri
ini yang dapat membuat klaim bahwa dirinya adalah yang paling asli, orisinal,
genuine atau primor(dial), jika dibanding pihak lain. Sejarah, seperti
dibuktikan banyak catatan akademis, hampir seluruh kesatuan adat negeri ini
membentuk dan mengembangkan diri-termasuk identitas hingga tradisi-nya dengan
cara mengosmosa dan menghibridasi adat dan budaya pihak-pihak lain, baik
tetangga dekat maupun asing.
Bukan hanya suku bangsa Betawi yang realitas historis hingga
arkeologisnya terbukti identitasnya melulu merupakan adukan atau campuran
elemen-elemen kultural yang berasal dari luar dirinya (Sunda, Banten, Jawa,
Madura, Banjar, Melayu, Bali, hingga Tiongkok, Arab, India, hingga Portugis).
Hal yang sama berlaku juga bagi etnik dan subetnik lainnya di seluruh negeri
ini, besar dan kecil. Bahkan etnik Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, Melayu, hingga
Manado adalah hasil mestizan atau percampuran dari pelbagai budaya yang
pernah singgah dan menetap di wilayahnya.
Semua kenyataan keadaban itulah yang jadi fakta bahkan
keniscayaan masyarakat bahari. Keadaban yang dibentuk oleh satu jenis sikap
budaya, yang melahirkan nilai juga watak dalam turunannya, yakni:
keterbukaan; pikiran yang terbuka; jiwa yang terbuka; hingga masyarakat
terbuka. Satu sikap budaya yang adaptif dan adoptif dalam relasinya dengan
budaya luar/asing. Satu fakta yang membuktikan bahwa kita bukanlah bangsa
xenophobic, anti asing, malah sebaliknya kita adalah bangsa yang sangat
menerima (akseptan) akan kehadiran siapa pun dan apa pun.
Dari semua latar itulah, kita menemukan kenyataan sosial dan
budaya kita yang multikultural, sebagai konsekuensi alamiah dari ratusan
bandar yang berkembang di sekujur pantai negeri ini. Begitupun pergaulan,
dinamika, hingga proses pembentukan diri yang inter-kultural pun menjadi
kenyataan alamiah yang tak terelakkan.
Bangsa yang
komedis
Arti dari itu semua, pergaulan (suku-suku) bangsa kita yang
basisnya interkultural sama sekali bukanlah ruang yang mempermisikan muncul
dan tumbuhnya sentimen, egoisme sektoral, prasangka, apalagi sikap-sikap yang
diskriminatif terhadap (suku) bangsa lain yang berbeda. Jika terjadi
ekspresi-ekspresi negatif itu, bukan hanya ia mengkhianati sejarah adabnya
sendiri, nenek moyang dan warisan yang mereka titipkan pada kita, melainkan
juga melakukan destruksi tak terampunkan bagi kesatuan, ke-ika-an, dan
kekuatan interdependensial organik dari bangsanya sendiri.
Satu hal yang lebih penting, utama, bahkan konstitutif adalah
filosofi peneguhan eksistensi manusia (individu) bahari. Dengan karakter atau
sifat-sifat dasar di atas, manusia di negeri ini diteguhkan melalui sebuah
sikap "penerimaan" yang kuat, bahwa "aku" di tingkat
personal (pun) dibentuk oleh "aku", "aku" yang lain, oleh
"kau" juga kalian. Sikap menerima atau "akseptan" ini
jauh lebih lapang, dalam, dan tinggi tingkat spiritualnya ketimbang sikap
toleran.
Toleransi, bagaimanapun, memiliki acuan atau batasnya. Sampai di
tingkat tertentu, seseorang mungkin kita tolerir perilaku, sikap, atau
kata-katanya, hingga saat dia melampaui acuan-yang kita tetapkan
sendiri-toleransi itu berakhir, berganti dengan penolakan, pertentangan,
hingga pemusnahan. Sikap itu yang melandasi konflik hingga kompetisi di dunia
kontinental. Sementara dalam adab bahari, penerimaan adalah semacam
pemosisian kenyataan dari orang lain, tak hanya kebaikan, tetapi juga
ketakbaikannya.
Lewat mekanisme itulah kita membentuk (integritas) diri kita:
kamu dan kau, kita dan kalian. Aku dibentuk kamu, begitu sebaliknya. Ada kamu
dalam aku, ada aku dalam kamu. Inilah sejarah sosiologis yang membuat semua
puak dan etnik di Nusantara bersatu, tidak mengabadikan konflik hingga beribu
tahun seperti di banyak wilayah kontinental. Inilah etos yang pada akhirnya
membuat kita semua bersatu, antara lain untuk mengusir penjajah, memerdekakan
diri, atau menyatakan diri sebagai bangsa.
Karena itu, istilah the
otherness dalam literatur Eropa sebenarnya memiliki makna dan akar
etimologis yang sangat berbeda liyan atau "orang lain". Siapa pun
orang itu, selama dalam proses pemosisian dirinya menjadi bagian organik dari
(tradisi bahari) kita adalah saudara, lebih dalam lagi, (bagian dari) diri
kita sendiri. Bila pun pihak atau "orang lain" yang bahkan asing
itu ternyata memanipulasi atau mengeksploitasi pola hubungan dan pembentukan
identitas bahari ini, selama sekian waktu panjangnya kita tidak pernah
khawatir. Setiap adat, tradisi dalam budaya-budaya lokal kita memiliki
ketangguhan luar biasa dalam cara menghadapi dan mengatasi bias kultural
semacam itu.
Di dalam hidup yang dinamik dan penuh kreasi dan inovasi itulah,
kita menyaksikan bagaimana cara kita bergaul dengan saudara-saudara (organik)
kita yang berbeda (dalam hal apa pun) berlangsung dengan rileks, wajar, dan
penuh keceriaan. Bahkan ketika kita saling mengolok, kadang seolah menghina
atau menista, saudara kita yang berasal dari puak atau suku bangsa lain.
Olokan adalah satu modus pendekatan interkultural yang komedis dalam diri
bangsa ini.
Tak mengherankan, jika teguran, yang notabene adalah
ungkapan-ungkapan (bahkan sangat) kasar, terasa biasa dalam pergaulan di
antara etnik kita. Dalam dunia lawak, cara seperti itu jadi kelaziman dalam
aksi panggung mereka, seperti diperlihatkan oleh Basiyo, BKAK, Srimulat,
hingga Bagio Cs pada masa lalu, atau Warkop DKI, Bagito, sampai Patrio di
belakang hari. Kemampuan mengolok dan menertawakan diri sendiri adalah
pendewasaan alamiah dalam diri kita, membuat bangsa Indonesia itu humoris,
"sejak lahirrr...." kata Tarzan.
Apabila belakangan ada sekelompok orang yang begitu mudah
bereaksi keras, bahkan sangat keras, hanya karena tersinggung unsur SARA yang
dianggap identitas orisinalnya, saya kira jika tidak ia kehilangan daya
humornya yang bahari, tentu ada hal lain, yang pasti bukan kultural,
mengiringi atau sembunyi di balik respons keras itu.
Keindahan adab
bahari
Soal anggapan pihak lain menghina agama, misalnya, pertama, hal
itu sesungguhnya bukan bagian dari tradisi atau watak bahari kita. Kedua,
apabila itu pun dianggap benar, biasanya kita tersenyum (bagian dari sifat
humoris kita) dan menganggap itu sebagai bagian dari kekurangan manusia yang
(memang) mudah lupa, tergelincir, termasuk slip of tongue. Ketiga, kesadaran adab kita akan menciptakan
sikap untuk memaklumi lalu memaafkan sambil (bila bisa) mengingatkan.
Dalam persoalan hubungan antar-agama, misalnya, sejarah juga
memberi landasan kuat bagi argumentasi di atas. Sejarah agama Islam, antara
lain, menunjukkan pada kita penghinaan dan penistaan terjadi hampir tiada
henti. Bahkan sejarah Muhammad SAW adalah sejarah penghinaan, bahkan yang
paling kotor dan biadab terhadap Islam. Kita sama tahu bagaimana Nabi
merespons dan menyikapinya. Begitupun sejak abad pertengahan hingga masa
kini, penghinaan terhadap agama Islam hampir rutin terjadi di banyak tempat.
Namun, sejarah juga menunjukkan, betapapun hebat penghinaan itu,
bangsa ini mengikuti tuntunan Nabi junjungannya, tidak pernah merespons
dengan cara membabi-buta, terlebih mengancam, menyerang, atau (istigfar)
"menghabisi". Sejak jauh hari dulu, mulai dari kasus Haji Abdul
Mutamakin dari Tuban pada awal abad ke-19, yang dianggap para ulama menghina
Islam, tapi akhirnya lerai setelah Pakubuwana II memaafkan asal tidak berbuat
lagi. Atau kasus tulisan Siti Sumandari di Majalah Bangun terbitan Parindra,
kasus cerita pendek "Langit Makin Mendung" yang melibatkan HB
Jassin, kontroversi pemelesetan syahadat-nya Harmoko, hingga kasus Ahmad
Fauzi lulusan Aqidah UIN Semarang yang dianggap menghina agama karena
menganggap hubungan Adam dan Hawa itu incest bahkan menyebut nabi pertama
tersebut sebagai "kriminal". Tidak ada konfrontasi hebat, apalagi
dengan kekuatan massa, atau retorika yang memekakkan telinga.
Semua kasus itu dapat diselesaikan dengan baik berdasar adab dan
budaya bahari kita. Tidak pernah jadi gejolak besar dan masif yang
menggelisahkan masyarakat, apalagi mengganggu stabilitas negara/pemerintah,
hanya karena beberapa penumpang gelap yang menitip agendanya sendiri secara
licik. Penyelesaian masalah seperti ini sesungguhnya simpel, sederhana, jika
didekati dengan landasan dan pemahaman kebudayaan. Bukan dengan pendekatan
konfliktual, tendensi menghancurkan, pamer kuasa dan kekuatan, apalagi dengan
melakukan political pressure berupa
pengerahan massa, yang sama sekali tidak ada akar kultural ataupun
spiritualnya, khususnya dari adab bahari.
Riwayat hubungan beragama di negeri ini adalah riwayat
kecantikan dan kedamaian dari adab dan budaya bahari kita. Jangan sampai ia
dikoyak oleh syahwat kuasa, ambisi material dan duniawi, hingga bukan hanya
damai dan kecantikan budaya kita itu hancur, melainkan juga dasar-dasar adab
yang membentuk bangsa kita tergerus karenanya. Hingga hilanglah kedirian kita
dan punahlah kita sebagai bangsa.
Tak siapa pun, jika di hatinya masih bergema nama
"Indonesia", akan terlibat di dalam kehinaan adab seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar