Perang
Siber dan Aksi Massa
Iswandi Syahputra ; Dosen
Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 06 Desember
2016
AKSI Bela Islam III pada 2 Desember 2106 dapat disebut aksi
paling besar dan paling damai dalam sejarah Indonesia, bahkan dunia. Tidak
mudah dan tidak murah menggelar aksi yang dihadiri jutaan manusia dengan
damai, tertib, aman, dan bersih.
Setidaknya terdapat tiga kesulitan besar untuk menghadirkan aksi
massa tersebut. Pertama, mengemas isu yang dapat menarik perhatian dan
mendorong khalayak luas untuk hadir dalam aksi massa. Kedua, biaya yang
dibutuhkan untuk menggelar aksi tersebut. Ketiga, secara teknis terkait
pengawasan keamanan, ketertiban, dan kebersihan saat aksi digelar.
Nyatanya, aksi tersebut terselenggara dengan aman, tertib,
bersih, dan superdamai. Khalayak dari segala penjuru Indonesia berduyun-duyun
mendatangi Monumen Nasional (Monas) di Jakarta sebagai pusat lokasi aksi
massa.
Kendati dengan berbagai cara dihalangi untuk hadir dalam aksi,
mereka tidak peduli hingga memilih berjalan kaki. Mereka datang dengan biaya
sendiri atau donasi dari pihak yang baik budi.
Mereka mengorganisasi sendiri keamanan, ketertiban, dan
kebersihan saat menggelar aksi. Hal ini menarik untuk diteliti. Apa penyebab
aksi massa umat Islam tersebut berlangsung superaman, supertertib,
superbersih, dan superdamai? Tulisan ini merupakan sneak peak dari riset yang
sedang dilakukan.
Gelombang
Perang Siber
Saat ini ruang dan waktu semakin menyempit berkat kemajuan
teknologi dan komunikasi berbasis internet. Namun, ruang dan waktu tersebut
bukan saja menyempit, tapi juga padat dengan berbagai informasi yang datang
silih berganti secara bertubi-tubi.
Kepadatan informasi dalam ruang dan waktu yang sempit tersebut
menjelma menjadi dunia baru, dunia hiper-realitas. Dalam dunia hiper-realitas
tersebut sesuatu yang tidak penting bisa dibuat menjadi sangat penting,
kebutuhan bisa diciptakan, waktu luang bisa disempitkan, kepalsuan bisa
dibuat seolah asli, yang jauh terasa dekat, yang dekat terasa rapat, dan
kebohongan yang disampaikan terus-menerus bisa menjadi kebenaran. Semua
diciptakan melalui berbagai teknik manipulasi realitas, kita mengenalnya
dengan sebutan hoax.
Hoax menjadi produk industri kreatif dalam budaya politik
kontemporer yang bertemu dengan kemajuan teknologi komunikasi yang pesat.
Hoax menjadi mudah menyebar, diterima sebagai kebenaran, menjadi hiburan saat
diketahui sebagai kesalahan pada kultur masyarakat yang tidak memiliki
tradisi pengelolaan informasi yang sehat.
Informasi menjadi kotor karena digunakan sebagai alat untuk
meraih kekuasaan. Ini pangkal mula hal yang dapat memicu terbukanya perang
siber, hingga mampu mengantarkan khalayak hadir berduyun-duyun dalam Aksi
Bela Islam.
Jejak perang tersebut dapat ditelusuri pada 2012, menyusul
kemudian pada 2014. Pada 2012 secara singkat dapat digambarkan sebagai
situasi masa awal perang siber dimulai. Saat itu perang siber digunakan
sebagai strategi memenangkan pertarungan politik.
Melalui organisasi yang rapi dan profesional, kekuatan siber
tersebut mampu mengendalikan opini publik lewat media sosial, terutama
Twitter dan Facebook. Pengendalian opini di media sosial tersebut diyakini
mampu memengaruhi pilihan politik khalayak.
Dengan intensitas berbeda, hal serupa kurang lebih sama terjadi
pada 2014. Gelombang perang siber pada 2012 dapat digambarkan berlangsung
dengan sangat tidak seimbang. Satu kelompok menyiapkannya dengan sangat
matang, sementara kelompok lain belum siap, bahkan dapat disebut baru
mengenal media sosial.
Namun, pada gelombang perang siber 2014 mulai sedikit ada
perlawanan. Namun, tetap saja perang siber tersebut tidak berimbang karena
faktor pengalaman, pengorganisasian, pelibatan, dan pengerahan pasukan robot
melalui akun anonim dalam jumlah besar.
Veteran yang kalah perang siber pada era 2012 dan 2014 tersebut
saat ini pada 2016 bangkit mengorganisasi diri dengan lebih baik. Muncul
kesadaran baru pentingnya pengendalian informasi dan opini melalui media sosial.
Dengan begitu, perang siber pada 2016 memang terlihat jauh lebih
seru karena berjalan cukup seimbang. Masing-masing pihak saling melempar
wacana yang diviralkan seolah menjadi agenda publik. Masing-masing pihak
mencari kesalahan dan kekeliruan untuk disebarkan sebagai modus tekanan.
Sebaliknya, masing-masing pihak juga berusaha mencari kekuatan
baru saat mendapat tekanan. Dengan demikian, tidak heran soal sepetak taman
yang rusak saat aksi menjadi viral, jaket bomber yang dipakai Presiden
menjadi viral, atau kotoran sampah seusai aksi massa juga menjadi bahan untuk
mengendalikan opini.
Gelombang Aksi
Fisikawan Albert Einstein pernah meramalkan bahwa perang masa
depan akhirnya akan kembali menggunakan cara konvensional. Dalam makna dan
konteks yang berbeda, demikian pula yang terjadi saat ini.
Berbagai perang opini melalui media sosial yang semula bersifat
virtual pada 2012 dan 2014 pada akhirnya mendorong terjadi perang aksi massa
yang bersifat real. Satu kelompok menggelar aksi damai, tidak lama kemudian
kelompok lain menggelar aksi serupa. Berbagai aksi real tersebut kemudian
menjadi materi untuk bahan perang virtual di media sosial.
Dua dunia, antara real dan virtual tersebut, seperti pasangan
yang saling merangsang. Keduanya saling menstimulasi gairah untuk lebih aktif
dalam mengorganisasi isu, opini, dan aksi massa.
Dalam konteks pelibatan massa aksi ini, satu kelompok tampak
sangat jauh lebih unggul, lebih damai, lebih aman, lebih bersih, dan lebih
besar jumlahnya. Hal ini terjadi karena kelompok ini memiliki keunggulan
kompetitif yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya.
Keunggulan tersebut adalah nilai yang menjadi keyakinan kuat dan
tertanam dalam dasar hati dengan cukup kokoh. Nilai tersebut pula yang
mendorong sekelompok santri asal Ciamis bersedia sukarela jalan kaki menuju
Jakarta, memicu orang tua dan anak-anak bergabung, dan pedagang kecil memberi
gratis makanan dan dagangannya pada peserta aksi lainnya.
Aksi damai yang semakin meluas tersebut menuai banyak simpati
dan memiliki kemampuan menyerap empati publik. Hal ini menunjukkan–
setidaknya dapat dibaca sebagai–kemenangan dunia real atas dominasi dunia
virtual.
Berbagai keramaian dan kebisingan di dunia media sosial belum
tentu merepresentasikan jumlah orang yang terlibat. Sebab, dalam media sosial
satu orang dapat mengendalikan puluhan, ratusan, bahkan ribuan akun palsu.
Dengan demikian, aksi damai dalam jumlah besar yang berlangsung
aman, tertib, dan bersih tersebut seakan menawarkan rute jalan untuk kembali
ke akal sehat, kembali ke dunia nyata, dunia real. Ini merupakan kritik bagi
berbagai dominasi virtual di ruang media sosial pada era perang siber 2012
dan 2014 yang seolah ramai, padahal cuma buatan.
Hal ini juga dapat menjadi pintu masuk bagi terbangunnya
kesadaran baru bahwa dunia virtual adalah dunia yang penuh dengan kepalsuan
dan tipu daya. Dibutuhkan literasi untuk memahami perang opini pada era media
sosial saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar