Makar
di Era Reformasi
Bambang Soesatyo ; Ketua
Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN SINDO, 05 Desember
2016
POLRI telah mempertaruhkan reputasi dan kredibilitasnya ketika
menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka perencana makar. Benar-tidak
langkah Polri itu akan dikonfirmasi oleh pengadilan. Tetapi, langkah hukum
oleh Polri itu mengingatkan semua komponen masyarakat akan pentingnya menjaga
dan mengamankan kontinuitas dan skenario proses reformasi yang sudah berjalan
sejauh ini.
Demokratisasi pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara yang telah berproses hingga sekarang adalah produk reformasi. Kendati
rakyat merasakan betapa bangsa ini harus menempuh jalan berliku untuk
mencapai atau mewujudkan tujuan besar dari reformasi, proses atau skenario
yang sudah berjalan sejauh ini tidak boleh dipertaruhkan dengan apa pun,
termasuk rencana atau tindakan makar. Jangan berjudi dengan keberlangsungan
proses reformasi Indonesia.
Dalam konteks menjaga kontinuitas proses reformasi, rencana atau
tindakan makar adalah sebuah perjudian dengan taruhan yang amat besar dan
sulit dikalkulasikan. Menggulingkan pemerintahan yang sah dengan aksi makar
dan kemudian menghadirkan pemerintahan baru yang bukan pilihan rakyat tidak
hanya tampak sebagai sebuah perjudian, tetapi juga sebuah gagasan yang sangat
spekulatif.
Apakah pemerintahan baru yang lahir dari rahim aksi makar itu
proreformasi atau antireformasi? Siapa atau kelompok apa yang akan dihadirkan
untuk menjalankan roda pemerintahan negara, plus semua agenda reformasi
bangsa? Apakah rezim pemerintahan itu kredibel dan kompeten? Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan inilah yang patut direnungkan semua komponen
bangsa.
Siapa yang bisa menilai dengan benar dan pasti tentang tabiat
sebuah rezim pemerintahan yang dihadirkan dengan mekanisme yang tidak
demokratis? Karena tidak ada yang bisa menilai dengan benar dan pasti, makar
adalah sebuah perjudian atau tindakan spekulatif yang segala akibatnya akan
dibebankan di pundak rakyat. Demi
kesejahteraan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, jangan
melibatkan rakyat dalam perjudian memperebutkan kekuasaan.
Maka itu, langkah Polri mendeteksi dan mencegah makar harus
dilihat dan dipahami dalam konteks itu. Konteks yang jauh lebih luas dan
strategis. Dengan mencegah makar, Polri dan TNI setidaknya ingin membangun
kepastian tentang kontinuitas proses reformasi bangsa dan negara.
Hampir dua dekade setelah rakyat melakoni semua proses dan
tahapan reformasi, dunia sudah telanjur melihat dan meyakini Indonesia
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga. Bukti paling monumental demokrasi
Indonesia dewasa ini terpancar dari kilau Aksi Damai dan Doa Bersama 212 yang
mendunia.
Dengan begitu, makar atau menggulingkan pemerintahan RI yang sah
sudah barang tentu akan dilihat sebagai langkah mundur atau kegagalan
Indonesia dalam merampungkan proses demokratisasi pada berbagai aspek
kehidupan berbangsa, bernegara, dan kehidupan setiap individu putra-putri
bangsa. Bisa dipastikan bahwa generasi muda Indonesia yang lahir pada
dasawarsa 80 dan 90-an akan sulit menerima jika proses demokratisasi harus
ditarik mundur karena tampilnya rezim pemerintahan baru produk makar.
Orang-orang muda itu bertumbuh-kembang dalam alam demokratis dan
menikmati penghargaan atas hak-hak asasi mereka sejak dari dalam keluarga
hingga di tengah komunitasnya masing-masing. Lebih dari itu, jika kegiatan makar
memancing perlawanan dari elemen-elemen masyarakat yang prokonstitusi, sudah
barang tentu harga yang harus dibayar bangsa ini menjadi sangat mahal.
Skala kerusakan bangsa ini akan sulit terbayangkan. Bukan tidak
mungkin, NKRI tidak utuh lagi sebab sejarah membuktikan bahwa untuk mencapai
atau mewujudkan tujuan akhirnya rezim penguasa yang lahir dari makar tidak
pernah bisa melangkah dengan mulus. Akan selalu ada perlawanan berkelanjutan
dari lawan-lawan politik penguasa yang inkonstitusional itu.
Momentum Pemulihan
Dari waktu ke waktu, rakyat Indonesia memang mendambakan
kehidupan yang lebih baik. Sandang, pangan, dan papan yang cukup serta
terjangkau. Kedudukan setiap individu yang sama dan sederajat di muka hukum.
Birokrasi negara dan daerah yang mau melayani serta bersih dari
perilaku korup dan pungutan liar. Dan, saling hormat antara mayoritas dan
minoritas. Sayangnya, mewujudkan suasana dan kondisi yang ideal seperti itu
tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Bangsa ini masih harus bekerja ekstrakeras. Menyelesaikan beban
masa lalu seperti utang luar negeri serta memperbaiki kerusakan di sana-sini
akibat birokrasi yang korup.
Penegakan hukum juga belum bisa memuaskan semua pihak karena
banyak oknum penegak hukum justru berlaku curang. Negara juga masih bekerja
membersihkan sel-sel terorisme dan sel-sel sindikat narkotika. Konsistensi
dan perjalanan waktulah yang akan menjawab kapan kerja keras ini akan
membuahkan hasil.
Memang, semua pihak pasti ingin agar kerja keras sekarang ini
segera membuahkan hasil . Namun, makar bukan opsi yang dipilih oleh rakyat
kebanyakan. Makar bahkan tak pernah terpikirkan karena masyarakat sibuk
dengan pergulatan hidup.
Apalagi, makar bukanlah jaminan untuk bisa mewujudkan kehidupan
yang lebih baik dalam skala berbangsa dan bernegara. Bagi rakyat kebanyakan,
terwujudnya kondusivitas saja sudah sangat berarti karena tidak ada rasa
takut, cemas, dan keragu-raguan.
Aksi Damai dan Doa Bersama 212 telah terselenggara dengan baik,
bahkan meninggalkan kesan mendalam. Sementara itu, Polri telah menindak
pihak-pihak yang diduga menunggangi Aksi 4.11, dilanjutkan dengan menangkap,
memanggil, dan memeriksa sejumlah orang yang diduga merencanakan makar.
Sedangkan Kejaksaan Agung RI sudah menerima pelimpahan berkas kasus dugaan
penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI (nonaktif) Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok.
Mengacu pada tiga faktor itu, sudah tiba momentum bagi
pemerintah, penegak hukum, dan semua elemen masyarakat untuk memulihkan
kondusivitas atau kenyamanan bersama. Sudah terlalu banyak energi bersama
yang terbuang untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang sebenarnya tidak
rumit-rumit amat.
Aksi pengerahan massa yang direspons dengan aksi serupa tentu
menguras energi dan waktu. Aksi 4.11 direspons dengan kegiatan Apel Nusantara
Bersatu. Aksi 212 direspons dengan Aksi 412. Mau sampai kapan aksi berbalas
aksi yang tidak produktif ini akan berakhir?
Momentum untuk memulihkan kondusivitas sudah terpenuhi karena
Polri telah mengidentifikasi dan mengamankan sejumlah orang yang diduga
melakukan makar. Artinya, kalaupun benar ancaman makar itu ada, potensinya
telah dilumpuhkan. Dengan begitu, saling curiga seharusnya dihilangkan.
Apakah sangkaan Polri terhadap sejumlah orang yang merencanakan
makar itu benar adanya? Biarlah pengadilan yang mengonfirmasikannya. Polri
telah mempertaruhkan reputasi dan kredibilitasnya.
Tentu saja Polri tidak asal melangkah atau bertindak. Seperti
sudah dikemukakan bahwa Polri memeriksa sejumlah orang itu karena sudah
memiliki bukti permulaan yang cukup. Maka, masyarakat kini hanya perlu
menunggu proses pembuktian yang dilakukan Polri.
Namun, ada satu faktor yang patut dikaji oleh berbagai pihak. Di
antara mereka yang dipanggil dan diperiksa terkait dugaan rencana makar itu
ada nama Rachmawati Soekarnoputri. Langkah Polri sampai menangkap, menahan,
dan memeriksa Rachmawati ini tentu saja menggambarkan kesungguhan Polri dalam
memaknai ancaman makar itu.
Semua orang tahu bahwa Rachmawati adalah adik kandung Megawati
Soekarnoputri, ketua umum PDIP dan presiden kelima Indonesia. Sebagai ketua
umum PDIP, kedekatan Megawati dan Presiden Joko Widodo tak terbantahkan.
Namun, kalau sampai Rachmawati Soekarnoputri harus diperiksa di
Mako Brimob Kelapa Dua, itu berarti tidak ada kekuatan apa pun yang coba
menghalang-halangi Polri atau mengintervensi Polri. Berarti, masalahnya
memang cukup serius sehingga Presiden sekali pun tidak mencegah Polri
memeriksa adik kandung Megawati itu. Polri melaksanakan tugas dan
kewajibannya guna memastikan kontinuitas proses reformasi tidak dihentikan
oleh aksi makar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar