Paradoks
Kebijakan Tuna
Hendra Sugandhi ; Sekjen
Asosiasi Tuna Indonesia
|
KOMPAS, 03 Desember
2016
Selama dua tahun ini, tindakan tegas Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti dalam menegakkan kedaulatan atas wilayah
pengelolaan perikanan RI dan pemberantasan IUU fishing lewat aksi pengeboman
kapal-kapal asing ilegal banyak diapresiasi.
IUU fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak sah, tidak
dilaporkan pada institusi pengelola perikanan yang berwenang, dan kegiatan
perikanan yang belum diatur dalam peraturan yang ada.
Dengan diusirnya kapal-kapal ilegal dari Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), terjadi pemulihan stok ikan
selama dua tahun. Bahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim sumber
daya ikan meningkat kelimpahannya dari 7,31 juta ton (2013) menjadi 9,93 juta
ton (2015). Peluang ini tentu seharusnya dimanfaatkan secara optimal.
Absennya
strategi
Sampai saat ini, belum ada pemetaan, strategi, ataupun target
KKP dalam bentuk kuantitatif yang realistis seperti berapa kapasitas produksi
kapal ikan tuna yang akan beroperasi di WPPNRI, Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI), ataupun laut lepas, berapa target hasil tangkapan tiap
kapal. Kalaupun ada, rencana aksi hanya bersifat kualitatif sehingga akan
sulit melaksanakan Inpres Nomor 7 Tahun 2016 yang sudah berumur tiga bulan,
tetapi belum ada aksi nyata untuk meningkatkan produksi perikanan tuna.
Pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI dan laut lepas juga
terabaikan, padahal setiap negara mempunyai hak khusus untuk mengeksplorasi
dan menggunakan sumber daya dalam kawasan ZEEI. Prof Melda Kamil (Kompas,
13/9/2016) menyatakan dengan jelas, setelah berhasil mengusir kapal ikan eks
asing dan kapal ikan asing, KKP berkewajiban mengisi kekosongan di ZEEI dan
laut lepas yang berbatasan, dengan mengizinkan kapal Indonesia
"murni" yang tidak didomplengi oleh pihak asing mana pun.
Jika kita mampu memanfaatkan ZEEI, kita tak memiliki kewajiban
membagikan sumber daya ikannya pada kapal ikan asing sehingga "tidak
harus dan tidak perlu" memberikan hak akses kepada negara lain dan kapal
ikan asing untuk menangkap di ZEEI. Namun jika kita tidak memanfaatkannya,
tentu negara lain akan berusaha memanfaatkan kelemahan kita dengan memasuki
wilayah ZEEI kita.
Paradoks kekosongan pemanfaatan ZEEI dan laut lepas ini justru
secara tak langsung melemahkan kedaulatan maritim kita. Jika nelayan kita
mengisi kekosongan di ZEEI, secara tak langsung ikut membantu menjaga
kedaulatan bangsa, paling tidak nelayan dapat menginformasikan kapal IUU yang
beroperasi di ZEEI. Dasar hukum penangkapan ikan di laut lepas sebetulnya
sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun
2012, sepertinya dikesampingkan, padahal peraturan ini lahir karena Indonesia
sebagai anggota penuh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) wajib untuk
mengharmonisasi regulasinya dengan mengadopsi regulasi Regional Fisheries
Management Organization (RFMO).
Pemetaan kekuatan armada kita di laut lepas bukan hanya dari
berapa banyak jumlah kapal kita yang terdaftar di RFMO, melainkan hanya
berapa banyak kapal yang riil beroperasi di laut lepas. Sebagai gambaran saat
ini, tak ada satu pun kapal sashimi tuna beku yang beroperasi di laut lepas.
Untuk itu, perlu sinkronisasi data kapal aktif Indonesia yang terdaftar di
RFMO secara reguler sehingga kita dapat menyusun strategi nasional dan
mengimplementasikannya untuk memperkuat posisi negara kita ke depan. Di IOTC, tercatat 1.384 kapal ikan
Indonesia terdaftar. Dibandingkan dengan 2014, jumlah ini bertambah 108 kapal
(8,4 persen). Jadi, saat ini jumlah kapal Indonesia di IOTC 22,6 persen dari total jumlah kapal di IOTC 6.109
kapal.
Sementara di Commission for the Conservation of Southern Bluefin
Tuna (CCSBT), jumlah kapal Indonesia yang terdaftar 124 kapal atau 22,06
persen dari keseluruhan kapal sebanyak
419 kapal. Namun, total kuota (allowable catch) yang diperoleh Indonesia
2016-2017 sebanyak 750 ton justru masuk jajaran ketiga terbawah. Ini sangat
disayangkan karena kita negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi
mendapatkan porsi yang tidak adil. Oleh karena itu, semua pihak harus
berjuang untuk meningkatkan kuota kita agar proporsional dengan luas laut.
Di WCPFC posisi kita paling menyedihkan karena jumlah kapal
Indonesia merosot drastis 97,5 persen. Saat ini kita hanya memiliki 11 kapal,
hanya 0,25 persen dari keseluruhan kapal yang terdaftar sebanyak 419 kapal.
Yang juga ironis, komposisi Indonesia terdiri dari tujuh kapal pole and line
dan empat kapal purse seine yang berukuran sangat kecil dibandingkan
negara-negara lain. Ini membuktikan KKP tak punya pemetaan strategi kebijakan
tuna, tecermin dari persentase jumlah kapal Indonesia di WCPC sangat kecil,
hanya 0,23 persen dari keseluruhan kapal penangkap yang terdaftar sebanyak
4.643 kapal. KKP perlu segera menyadari untuk segera memanfaatkan seoptimal
mungkin keanggotaan kita di Western and Central Pacific Fisheries
Commission (WCPFC).
Sungguh menjadi sebuah paradoks klaim KKP yang memperjuangkan
untuk mempertahankan kuota Big Eye Tuna sebanyak 5.889 ton per tahun, tapi
kuota tidak digunakan sama sekali belakangan ini karena tidak mungkin pole
and line dan purse seine menangkap bigeye tuna. Hal ini tentu sangat
memprihatinkan. Tidak aneh bahwa produksi industri perikanan di Bitung
merosot drastis karena kita kehilangan 352 kapal penangkap ikan di kawasan
Samudra Pasifik Barat dan Tengah yang tentu akan berpengaruh negatif terhadap
pasokan ke industri perikanan, khususnya di Bitung.
Isu
keberlanjutan
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB Luky
Adrianto dalam tulisan di harian Kompas, 17 Oktober 2016, mengungkapkan
keberlanjutan perikanan tidak sekadar dalam konteks ekobiologi semata, tetapi
juga keberlanjutan sosial ekonomi yang ditopang oleh tata kelola perikanan
yang baik. Secara eksplisit keberlanjutan-bukan hanya sumber daya ikan
melainkan juga usaha perikanan, baik nelayanya maupun industri
perikanannya-tentu akan sia-sia saja jika kita hanya bisa mengklaim potensi
perikanan yang naik, tapi tidak dimanfaatkan dan dikelola dengan baik.
Total kapal aktif yang diberikan izin penangkapan oleh Ditjen
Perikanan Tangkap KKP per 17 November 2016 sebanyak 3.723 kapal. Angka itu
didominasi kapal jaring dengan perbandingan 74,3 persen kapal jaring dan 25,7
persen kapal pancing. Komposisi seperti ini mencerminkan bahwa visi misi
pilar keberlanjutan bertolak belakang dengan implementasi kebijakannya.
Bagaimana sumber daya ikan bisa terjaga dengan baik apabila komposisi alat
tangkap jaring mendominasi? Perinciannya, purse seine pelagis besar dan
pelagis kecil 46 persen, ditambah jaring bouke ami 16,50 persen, jaring
insang hanyut dasar 4,4 persen, dan jaring insang hanyut oseanik 7,2 persen.
Jika kita bandingkan komposisi alat tangkap tahun 2014 dan
Oktober 2016 juga terlihat paradoks. Ditinjau dari sisi keberlanjutan dan
komposisi alat tangkap, saat ini malah lebih buruk daripada 2014 karena kapal
dengan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan, seperti pancing hook and
lines yang sebelumnya mendominasi, berkurang drastis. Jaring insang berganti
menjadi jaring pukat cincin yang kini
mendominasi alat tangkap.
Pilar kesejahteraan sebagai pilar ketiga dan tugas utama KKP
sepertinya terabaikan. Paradoksnya, banyak nelayan yang terkena dampak sosial
ekonomi karena kebijakan pelarangan beberapa alat tangkap. Seharusnya, yang
dilakukan KKP kebijakan pengendalian, bukan pelarangan. Faktanya terjadi
deindustrialisasi, tak bisa dimungkiri, tecermin dari merosotnya nilai
ekspor produk perikanan dan kelautan dari 4,64 miliar dollar AS tahun
2014 menjadi 3,94 miliar dollar AS tahun 2015. Terjadi penurunan nilai ekspor
produk perikanan dan kelautan 17,69 persen).
Komposisi armada penangkapan seperti saat ini dan dibatasinya kapal
berukuran di atas 150 GT dengan pengenaan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang
tak masuk akal juga paradoks dengan upaya meningkatkan produksi perikanan
tangkap.
Nilai ekspor tuna dari tahun 2014 ke 2015 turun 15,86 persen,
sedangkan jika kita bandingkan Januari-Agustus 2015 dengan periode sama 2016
turun 4,27 persen. Penurunan nilai ekspor tuna ini seharusnya menjadi
peringatan bagi pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan perikanan tuna.
Segera evaluasi peraturan perundangan yang berlaku dan upayakan peningkatan
produksi perikanan tuna sesuai amanat Inpres No 7 Tahun 2016.
Kita sebagai negara berdaulat dan sudah menjadi anggota penuh
RFMO harus segera memanfaatkan laut lepas. Oleh karena itu, izin usaha
penangkapan di laut lepas tak perlu dikaitkan dengan persyaratan terkait
kapal buatan luar negeri (impor) karena kita perlu teknologi ultra low
temperature (minus 60 derajat celsius) untuk menjaga mutu sashimi beku di
mana saat ini galangan kapal dalam negeri belum menguasai produksi ini. Kita juga tak perlu alergi dengan kapal
buatan luar negeri. Yang penting harus ada penegakan hukum yang tegas
terhadap orangnya jika ada penyimpangan, bukan alatnya yang dilarang. Kita
semua berharap agar harapan laut menjadi masa depan bangsa bisa terwujud,
dengan implementasi strategi kebijakan yang konsisten dan realistis bukan
hanya slogan konsep semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar