Mengapa
Harus Sarkastik
Jean Couteau ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 18 Desember
2016
Mencari tema untuk menulis Udar Rasa akhir-akhir
ini menjadi kian sulit. Mengapa? Saya merasa terlalu sering serius dan
normatif: lama-kelamaan saya bosan terus mengasihani nasib orang miskin atau
menganjurkan orang Indonesia untuk terus toleran-sikap yang konon inheren
dalam jiwa bangsa Indonesia, yang diilhami Pancasila dan diberkati Bhinneka
Tunggal Ika ini.
Ya, bosan. Hingga kebosanan itu berdampak
pada muka saya yang cemberut. Saya sebenarnya ingin menyindir apa pun dengan
penuh sarkastik, termasuk diri- sendiri, dan tanpa harus berhati-hati setiap
kali mau berujar. Saya memang bosan melihat bahwa yang paling aman saya
sindir adalah orang bule, meski paling diminati oleh pembaca, dan saya bisa
memaklumi alasannya. Akan tetapi, cukup adalah cukup: saya sendiri bule dan,
kalau terus begitu, saya nanti akan dituduh mendukung rasisme di negeri ini.
Seolah-olah pemerintah tak cukup repot dengan rasisme orang China terhadap
orang pribumi, ada juga loh? Pendeknya bosan. Saya merasa bahwa hasrat saya
untuk menyindir kian dibatasi mood sebagian bangsa ini. Meskipun menyindir
adalah sangat sehat.
Yang salah di dalam semuanya ini dan orang
yang paling saya "benci" karena itu adalah Gubernur DKI Jakarta
yang non-aktif. Gara-gara dia, saya dalam Udar Rasa ini terpaksa bermulut
kecil. Terlalu banyak hal yang kini saya tidak berani bicarakan. Misalnya
perihal jubah. Saya diberikan sebuah jubah oleh menantu saya ketika saya
mampir di Qatar baru-baru ini. Saya ingin berbicara panjang lebar tentang
jubah itu; betapa enaknya dipakai karena memungkinkan angin masuk dari bawah
dan hal-hal sejenis. Namun, entah kenapa, saya merasa pantang melakukan hal
itu.
Jangan salah mengerti, dong.... Apabila
pantang, bukan karena porno akibat enaknya dielus-elus angin yang masuk dari
bawah itu, melainkan karena jubah adalah atribut identitas, benar, kan?
Sementara identitas itu bukan identitas saya, si orang bule ini. Coba
bayangkan bagaimana reaksi orang kalau saya memakai jubah di Jakarta. Kecuali
tentu saja kalau saya juga berjenggot. Ya, begitu, deh! Kalau saya ngotot,
pasti dianggap menghina. Atau rasis. Maka, saya terpaksa mengalah. Dan, kini
jubah saya dari Qatar itu hanya saya pakai sebagai baju tidur. Masih
untunglah istri saya cukup suka apabila saya memakainya meskipun saya tidak
berjenggot. Absurd, kan?
Yang sebenarnya membuat saya takut memakai
jubah itu adalah keputusan aneh dari Pemda Bandung baru-baru ini. Saya
memakai istilah aneh oleh karena keputusannya, meskipun menyedihkan dan
bahkan menakutkan, kini pasti "diketawain" bukan hanya di Indonesia
saja, melainkan di seluruh dunia. Coba bayangkan betapa konyolnya: pemda
menerbitkan surat edaran agar pengusaha tidak lagi meminta karyawan Muslimnya
memakai topi Sinterklas, yang katanya merupakan atribut Natal, dan karena itu
bisa jadi bakal digerebek kaum radikal. Ha-ha-ha-ha.... Saya bukan tidak
mengetahui bahwa tutup kepala kerap menjadi tanda identitas, misalnya hijab pada
wanita-paling sedikit sejak 20 tahun, tetapi baru kali ini saya mendengar
bahwa topi Sinterklas adalah tanda identitas nasrani.
Kasihan sebenarnya si Santa Klaus ini, yang
tiada lain adalah Dewa Musim Dingin yang disusupkan ke dalam budaya Eropa
Utara, lalu diimpor oleh penjajah ke Indonesia. Jadi, ngapain dia di
Indonesia? Menjadi alat Kristenisasi. Ha-ha-ha. Konyol benar. Sama konyolnya
seperti menganggap Firaun sebagai sarana Islamisasi!
Kenapa saya tertawa, oleh karena mulai dari
Pemerintah Perancis yang melarang baju mandi burkini atau burka, lalu
pemerintah daerah di Indonesia yang mewajibkan pegawainya memakai jilbab,
kelompok garis keras yang memaksakan universitas Kristen menurunkan baliho
yang berisi foto wanita berhijab, dan kini dengan kekonyolan topi Sinterklas
itu, kita kini bahkan tidak ada pilihan selain nyengir dengan penuh sarkasme.
Ataupun terbahak-bahak sarkastik agar kita tidak terbawa demam identiter gila
yang, dibantu oleh media sosial, kian mengancam hubungan damai antara sesama bangsa
dan sesama manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar