Kita
dan Pasca ”Kasunyatan”
Bre Redana ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 18 Desember
2016
Oh, delusi… dunia virtual produk kemajuan
teknologi digital telah membawa manusia pada tingkat evolusi seperti kita
alami sekarang: kita hidup di alam delusi. Spesies ini menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang berubah. Tadinya, untuk suatu informasi, kita perlu
hadir guna menangkap dengan mata, telinga, pendeknya keserentakan raga,
pikir, dan sukma. Kini, tanpa perlu melihat, mendengar, dan merasakan, otak
kita dibanjiri informasi tentang kenyataan, baik kenyataan yang punya
asal-usul, terlepas dari asal-usul, maupun tanpa asal-usul sama sekali.
Eloknya tubuh, ia menyesuaikan diri. Kita
langsung bersimpati atau membenci tanpa perlu tahu apa yang benar-benar
terjadi. Tak perlu pula pengertian sebab pengertian membutuhkan prasyarat
kehadiran, mendengar, meneliti, menyimak dengan saksama. Lebih mudah—begitu
saraf-saraf kita biasakan dengan teknologi yang memanjakan kita—untuk
langsung menerima apa saja, langsung percaya, langsung cinta, langsung benci.
Pengertian, understanding, bakal menjadi kosakata masa lalu.
Kebenaran—sebuah sistem kepercayaan
tertentu memercayainya sebagai kenyataan di alam—telah menjadi pengertian
alam kabur. Dilihat dari perspektif visual culture, dunia ini berubah menjadi
sebegitu surealis. Tentang media, banyak orang hafal rumusan McLuhan, the
medium is the message. Dengan ungkapan lain, Barthes menyebut a message
without a code. Maksudnya lebih kurang sama saja: tak bisa dipisahkan antara
obyek dan representasi. Dalam kata-kata Althusser, apa-apa yang jelas
(obvious) dianggap benar (true).
Kebangkitan
massa
Dengan rumusan ideologi ala Althusser itu,
berkibarlah panji- panji massa. Apa yang jelas, apa yang didukung massa sebanyak-banyaknya
dianggap benar. Ini berlaku di semua bidang, politik, religi, hukum,
kesenian, dan lain-lain.
Perayaan kebangkitan massa menggejala di
semua ranah. Tak perlu disebut ranah politik dan agama, yang karena sifatnya
memang cenderung melumpuhkan nalar, tetapi juga wilayah-wilayah kreatif dan
pemikiran. Produk bacaan yang dianggap utama, misalnya, adalah yang beredar
di dunia maya dan menghasilkan crowd besar. Tolok ukur dunia maya pada budaya
virtual di mana kita hidup sekarang adalah crowd. Orang harus pandai
mengiklankan diri agar mendatangkan pengikut, menghasilkan crowd. Kasunyatan
(truth) menjadi komoditas pasar. Hasilnya antara lain ilusi penggandaan uang
dan bom bunuh diri.
Buku, produk yang selama berabad-abad
sebelumnya menjadi fondasi pembangunan sivilisasi, kini, sekadar komoditas
pop. Yang dipajang pada rak-rak terdepan toko-toko buku adalah produk yang
serupa pop corn—enak dikunyah tanpa gizi. Buku-buku ”serius”, hasil
penelitian, seperti nasib manusia-manusia serius di zaman ini, terdepak ke
belakang.
Film, karya yang biasa dinikmati dalam
suasana individuasi di ruang gelap sinema, dianggap sukses kalau ditonton ala
menonton pertandingan sepak bola. Ada istilah nobar alias nonton bareng.
Ramai. Apalagi kalau nonton bareng bersama pejabat. Para pejabat ini yang
nantinya dianggap sangat brilian pendapatnya untuk menilai karya estetik
tersebut.
Kritikus film? Senasib kritik di bidang
lain, kini mereka tak dibutuhkan. Sedikit catatan, untunglah di bidang sinema
ada beberapa sineas yang menghasilkan film-film bermutu meski barangkali
kurang dibanjiri penonton. Festival Film Indonesia juga terlihat kembali
menunjukkan kredibilitasnya sejak dipegang wajah-wajah baru perfilman,
seperti Olga Lidya dan Lukman Sardi.
Bidang musik tidak semuanya seperti
tontonan televisi yang bikin sepat mata. Jazz merambah kota-kota kecil dan
desa-desa, membangkitkan suasana komunitas dan kekeluargaan baru. Belum lagi
eksperimen-eksperimen yang dilakukan dengan berbagai instrumen dan formasi
pendukung melibatkan seniman-seniman desa.
Biarlah hanya yang berkiblat pada industri
yang menggerus orang menuju kedangkalan. Musik, film, tari, dunia literer,
dan krida budaya lain diam-diam tetap banyak yang berlangsung di pelosok kota
kecil dan desa-desa. Mereka tak terendus media massa. Sebab, media massa,
apalagi yang besar, juga telah terseret arus industri, pelakunya menjadi
pekerja rutin dan pas banderol, mengurusi apa-apa yang obvious saja sembari
mengira apa yang obvious adalah benar. Jadi headline. Sayang sekali….
Pasca
”kasunyatan”
Seiring gelombang fundamentalisme massa,
perlahan-lahan pudarlah individu beserta proses individuasi. Ruang individu
bocor, dibocorkan sendiri oleh individu masing-masing. Dulu ada sejumlah hal
yang orang ingin menyimpannya sendiri di ruang privat, seperti di buku
harian. Taruhlah hal-hal yang ingin disimpan di ruang privat itu perasaan
cinta, kegundahan hati, pengalaman spiritual yang mencerahkan, dan lain-lain.
Semua, kini, sengaja dibocorkan dan diumbar
di ruang publik. Publik, massa, harus tahu dengan siapa kita berteman,
hebatnya iman kita, kita pergi ke mana, pakai pakaian apa, mood sedang
seperti apa, makan apa, kalau perlu bau kentut dan warna kotoran kita.
Lenyapnya proses individuasi berarti
lenyapnya ruang dan waktu—sesuatu yang sejatinya melekat pada manusia. Ruang
untuk berbagi, sesuai hakikat manusia sebagai makhluk sosial, waktu untuk
diri sendiri, sebagaimana manusia hadir dan akan pulang sendirian, sekarang
semua tergadai bagi kepentingan citra diri. Praktik banalnya: selfie.
Kehilangan hal esensial ruang dan waktu
artinya manusia terjauhkan dari diri sendiri. Secara individu manusia
teralienasi dari kesejatian, secara sosial menjadi bingung dan kehilangan
pegangan pada era pasca kasunyatan, post-truth.
Realitas gadungan menyubversi apa pun,
termasuk empirisme tubuh. Relasi sosial berlangsung tanpa kehadiran. Orang
cukup ongkang-ongkang sambil berpraduga dan bercuriga sana- sini. Kebenaran,
sebagaimana realitas, bisa diibaratkan sumber mata air yang kini lenyap bersama
proses kemerosotan kualitas alam. Benci, simpati, dan prasangka adalah sungai
yang mengalir dari suatu sumber yang tak jelas asal-usulnya. Jangan-jangan
berasal dari prasangka dan benci itu sendiri….
Kita hidup dalam alam delusi. Yang kita
kira kenyataan sebenarnya hanya ilusi. Maka, terkaget-kagetlah orang ketika
Trump memenangi pemilihan presiden di Amerika. Terbawa oleh ilusi sendiri,
tadinya banyak orang mengira dunia masih sebegitu indahnya bahwa rasisme
pasti kalah, tak mungkin orang yang kita anggap gila menang. Nyatanya….
Hati-hatilah, apa yang kita kira tak bisa
terjadi, pada era pasca kasunyatan ini bisa sewaktu- waktu terjadi, secara
tiba-tiba, seperti ledakan bom! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar