Langkah
dan Isyarat Jokowi
Azyumardi Azra ; Profesor
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 06 Desember
2016
Dua peristiwa besar pekan lalu di Tanah Air yang terjadi pada
hari yang sama, Jumat (2/12), mengandung banyak makna tak kurang pentingnya
bagi Presiden Joko Widodo. Kedua peristiwa itu memberikan pesan penting
kepada sejumlah pihak yang belakangan ini menjadi sumber peningkatan suhu
politik, sekaligus menjadi tantangan dan ujian serius bagi kepemimpinan
Presiden Jokowi.
Kedua peristiwa itu menjadi berita besar tak hanya di media
domestik, tetapi juga di media internasional. Peristiwa pertama menjadi fokus
perhatian terkait anggapan tentang peningkatan tekanan kalangan Muslim garis
keras terhadap Presiden Jokowi. Peristiwa kedua merupakan kejutan
menghebohkan media, khususnya internasional.
Peristiwa pertama adalah Aksi Super Damai 212 sangat masif yang
bisa dipastikan memecahkan rekor jumlah massa yang memadati kawasan Monas,
Medan Merdeka, Kebon Sirih, Thamrin, dan sekitarnya. Secara retrospektif,
bayangkan apa yang dapat terjadi apabila di antara massa menyemut itu ada
provokator.
Aksi Super Damai 212 menghadirkan massa yang lebih tafakur
mengumandangkan zikir, doa, dan tausiah (wasiat atau nasihat keagamaan)
daripada pernyataan dan provokasi membakar. Massa juga bersikap damai kepada
rerumputan, taman, pepohonan, dan lingkungan. Sampah pun langsung dibersihkan
sendiri oleh kelompok massa yang tampaknya juga bertugas khusus memungut
sampah.
Tak kurang pentingnya kehadiran Presiden Jokowi, Wakil Presiden
Jusuf Kalla, serta sejumlah menteri dan pejabat tinggi dalam aksi itu.
Presiden tidak hanya ikut shalat Jumat, tetapi juga memberikan sambutan,
berterima kasih, dan mengapresiasi unjuk rasa damai disertai seruan takbir
(Allahu Akbar) tiga kali dalam dua kesempatan.
Peristiwa kedua adalah penangkapan 10 orang-termasuk sejumlah
nama penting aktivis dan purnawirawan TNI-pada dini hari menjelang Aksi Super
Damai 212. Menurut Polri, mereka merencanakan makar terhadap pemerintahan
Presiden Jokowi.
Kehebohan media internasional terutama terkait penangkapan
Rachmawati Soekarnoputri. Secara tersirat media internasional membayangkan,
Presiden Jokowi tidak memiliki "nyali" menangkap Rachmawati,
aktivis politik, putri Soekarno, proklamator dan presiden pertama RI.
Tak kurang pentingnya, Rachmawati adalah adik Megawati
Soekarnoputri, presiden kelima RI, sekaligus Ketua Umum PDI-P, partai utama
pengusung Jokowi dalam Pilpres 2014. Orang tidak tahu pasti apakah Presiden
Jokowi sebelumnya menginformasikan atau berkonsultasi dengan Megawati tentang
penangkapan sang adik.
Meski kemudian segera dibebaskan, mereka tetap dijadikan Polri
sebagai tersangka perencana makar. Mereka umumnya adalah figur kritis
terhadap pemerintah sejak masa Presiden Soeharto, mulai dari Sri Bintang
Pamungkas sampai "aktor figuran" yang belum banyak dikenal publik.
Dalam kedua peristiwa besar itu, Presiden Jokowi membuat jelas
dan tegas: dia memiliki nyali besar (has
the gut) mengambil keputusan dan tindakan. Dengan nyali besarnya,
Presiden Jokowi menyelesaikan sejumlah masalah yang menjadi sumber rumor dan
isu peningkatan tensi politik dalam masyarakat belakangan ini.
Banyak kalangan, baik pemimpin maupun peserta Aksi Super Damai
212, tidak membayangkan Presiden Jokowi "berani" menyambangi
mereka. Apalagi, pada pagi harinya di tengah kedatangan massa ke kawasan
Monas, Presiden Jokowi pergi blusukan ke proyek persiapan Asian Games di
Senayan. Sama dengan kegiatan Presiden yang blusukan ke proyek pembangunan di
kawasan Bandara Cengkareng saat terjadi "aksi 411".
Menentang arus terbuka atau tersembunyi di bawah permukaan yang
menganggap Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian- yang agaknya dengan
persetujuan Presiden Jokowi-"terlalu mengalah" ketika bersedia
mengakomodasi tuntutan para pemimpin Aksi Super Damai 212 untuk tetap
berunjuk rasa. Penulis mendapat banyak pertanyaan bernada gugatan dari media
internasional tentang Polri yang "menyerah" (give in) kepada orang-orang yang mereka sebut garis keras yang
ujung-ujungnya ingin mengubah Indonesia menjadi "negara Islam"
(daulah Islamiyah) atau khilafah.
Sebaliknya, pihak terakhir ini juga bersedia melakukan aksi yang
dipusatkan di dalam lingkungan Monas. Mereka juga bersedia mengubah substansi
yang semula merupakan aksi protes menjadi doa, zikir, tausiah, dan shalat
Jumat bersama.
Terlepas dari sikap mereka yang menganggap Polri dan Presiden
Jokowi "memberi angin" kepada para pemimpin Aksi Super Damai 212,
sikap sejumlah pihak terkait menunjukkan budaya khas Indonesia-baik politik
maupun keagamaan-yang memberi ruang memadai untuk akomodasi dan kompromi. Ini
bisa disebut win-win-solution.
Bayangkan apabila para pemangku kepentingan tidak ada yang
bersedia bersikap akomodatif dan kompromistis. Yang terjadi adalah zero-sum-game yang dapat berujung pada
kekerasan seperti terjadi di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim lain,
semacam Mesir, Suriah, Irak, Arab Saudi, Afganistan, atau Pakistan.
Meskipun menampilkan sikap akomodatif menghadapi Aksi Super
Damai 212, Presiden Jokowi juga menyampaikan pesan lain yang jelas dan tegas;
tidak ada kompromi terhadap mereka yang terindikasi makar.
Dengan kedua bentuk sikap berbeda, Presiden Jokowi menegaskan,
dia sepenuhnya memegang kendali (full
grip of situation). Presiden yang menguasai keadaan-tanpa harus bersikap
otoriter, apalagi diktatorial-jelas sangat urgen demi menjaga keutuhan dan
persatuan negara-bangsa Indonesia serta melanjutkan pembangunan guna
peningkatan kesejahteraan warga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar