Kearifan
Panakawan
Indra Tranggono ; Pemerhati
Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
|
KOMPAS, 03 Desember
2016
Panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong selalu hidup rukun.
Meskipun sering berselisih paham dan saling mengkritik serta mengejek, mereka
tetap solid dan kompak.
Gareng, Petruk, dan Bagong tak pernah bersekongkol untuk makar
dan menggulingkan kepemimpinan Semar agar mereka bisa lebih dekat dan masuk
lingkaran kekuasaan Arjuna, bos mereka. Bagi mereka, menghormati pemimpin secara
kritis merupakan etika yang mesti disunggi tinggi, termasuk menghormati
Semar, sang pemimpin kultural dan spiritual. Semar adalah pengejawatahandewa,
yang diturunkan di bumi untuk menuntun ksatria Pandawa.
Selain itu, Gareng, Petruk dan Bagong sangat meyakini bahwa
keselarasan mampu menciptakan kerukunan. Prinsip mereka: rukun agawe santosa,
crah agawe bubrah (kerukunan menciptakan kekuatan dan permusuhan menimbulkan
kehancuran). Gambaran itu bisa didapatkan dalam lukisan kaca pelukis
tradisional, seperti Citrowaluyo dan Sastrogambar, antara lain bertajuk
”Rukun Agawe Santosa”.
Sastrogambar dan Citrowaluyo jauh dari citraan intelektual.
Mereka tak lebih dari pelukis yang lahir dan tumbuh dari rahim rakyat. Hidup
mereka serba sederhana, jujur, dan polos. Namun, karya mereka mampu
memberikan renungan sederhana dan mendalam tentang pentingnya moralitas dalam
kehidupan.
Hari-hari ini, gagasan dan ajaran moral lukisan ”Rukun Agawe
Santosa” menjadi relevan dihadirkan ketika kerukunan bangsa di negeri ini sedang
bermasalah akibat konflik elite politik-kekuasaan. Persoalan itu meluncur
dari hulu (lingkaran elite politik-kekuasaan) dan mengalir ke hilir
(masyarakat). Ini persis pola konflik dalam lakon ketoprak, di mana konflik
kaum elite selalu merembes ke akar rumput. Padahal, masyarakat akar rumput
tidak otomatis tahu inti persoalan. Mereka hanya anut-grubyuk (mengikuti
tanpa pikiran kritis) ke mana isu bertiup karena dimobilisasi agen atau
makelar politik.
Orang-orang kecil itu persis bala dhupak (figuran yang
dikorbankan) di dalam pementasan lakon ketoprak. Mereka belum tentu ikut
menikmati kejayaan, tetapi kemungkinan luka, bahkan tewas, sangat tinggi.
Adapun para pangeran duduk manis dan minum anggur di tempat mewah sambil
menunggu laporan.
Basis keadilan
Kerukunan dapat dimaknai sebagai realitas sosial dan kultural
yang dilahirkan melalui konsensus, kesepakatan, dan kompromi berkaitan dengan
perbedaan, kepentingan, dan hak mendasar masyarakat. Basis kerukunan adalah
keadilan, kebenaran, dan keindahan (kepantasan).
Bagi orang-orang biasa, kerukunan itu nilai yang make sense,
terjadi secara natural danmenggelinding begitu saja karena mekanismenya telah
luluh dalam pola pikir dan pola perilaku. Batasan yang pantas dan tidak
pantas telah dipahami bersama.
Keselarasan hubungan sosial menjadi kunci penting di dalam
kerukunan. Tenggang rasa, empati, simpati, solidaritas, toleransi, saling
percaya, memberi, dan menerima merupakan nilai- nilai yang dijaga dan
dijalani demi merawat keselarasan.
Jika ada konflik, hal itu diselesaikan dengan cara yang santun,
elegan, dan bermartabat dengan tetap menjunjung kebenaran. Prinsip yang
berlaku, kecekel iwake ora buthek banyune (menyelesaikan persoalan tanpa
membuat keadaan kacau, keruh). Artinya, masyarakat kita sejatinya lebih
mengutamakan harmoni dan tidak menyukai konflik terbuka yang mengancam
kerukunan kolektif, kerukunan alamiah, kerukunan otentik.
Bagi kaum elite politik-kekuasaan, kerukunan adalah kerja sama
dalam konteks tertentu (baca: proyek) dan bernilai guna (fungsional). Prinsip
yang belaku: ”saya berperan apa dan mendapat apa”. Kepentingan dan keuntungan
jadi tujuan utama. Maka, ketika dua hal itu tak didapat, pecah kongsi pun
terjadi. Alasan perpecahan pun bisa dibuat sesuai versi masing-masing.
Kaum elite politik-kekuasaan bukan orang-orang biasa, rakyat
jelata atau para panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang paham
ngelmu (ilmu) sak cukupe lan sak butuhe (pentingnya manusia memiliki batas
atas kepemilikan). Kaum elite politik- kekuasaan cenderung tak mengenal rasa
cukup, baik material maupun non-material, sehingga sangat ambisius dalam
memburu dan mengeksploitasi kekuasaan.
Egoisme dan individualisme yang menebal mendorong mereka tidak
peduli terhadap liyan. Bagi mereka, orang lain adalah neraka (istilah
Jean-Paul Sartre) karena itu harus disingkirkan demi memuja eksistensi dan
kebebasannya. Maka, kerukunan natural/alamiah atau kerukunan yang otentik,
layaknya kerukunan orang biasa, menjadi nilai yang tidak disukai, bahkan
ditolak, karena dianggap mengganggu dan mengurangi perolehan hasil dan
kepemilikannya.
Elite politik dan kekuasaan merupakan kelas menengah/kaum
intelektual yang semestinya menjadi kekuatan etik/ moral, kebenaran bagi
bangsa. Hadirnya kekuatan moral menjadikan kekuasaan ramah pada rakyat dan
memuliakan kemanusiaan. Jika fungsi kekuatan etik/moral itu diingkari, elite
politik dan kekuasaan itu telah melakukan pengkhianatan intelektual (istilah
Julien Benda). Akibat ”kelas menengah yang ingkar dan pengkhianatan kaum
intelektual” adalah pembelokan konstitusi yang meletakkan negara-bangsa tak
lebih dari obyek eksploitasi kelompok elite-kekuasaan, dengan dalih apa pun,
baik ideologi, politik, ekonomi, maupun budaya.
Di level bawah, rakyat hidup sudah payah dihajar sejumlah kesulitan
akibat salah urus negara, baik karena inkompentensi maupun tipisnya
integritas dan komitmen penyelenggara negara. Sekarang, rakyat masih dituntut
hidup waswas terkait terancamnya keutuhan bangsa akibat pertikaian elite
politik-kekuasaan. Akankah dosis penderitaan rakyat terus bertambah?
Rakyat ingin hidup damai, guyup, dan rukun layaknya Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong seperti dalam lukisan Sastrogambar dan Citrowalyo.
Namun, kini kerukunan itu jadi nilai yang mahal karena penajaman perbedaan
yang direkayasa. Lamat-lamat, Semar pun berkata: ”Tuan mau cari apa lagi?
Toh, Tuan sudah sangat kaya raya, penuh kejayaan. Sebaiknya Tuan menciptakan
ketenteraman bagi rakyat.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar