Ke
Mana Setelah Moratorium UN
S Hamid Hasan ; Guru
Besar Emeritus Universitas Pendidikan Indonesia
|
KOMPAS, 06 Desember
2016
Ujian nasional kembali jadi pembicaraan hangat dunia pendidikan.
Dapat dikatakan, tiap tahun UN selalu jadi berita hangat pendidikan dalam
aspek yang berbeda-beda.
Persoalan ujian nasional (UN) yang umum adalah bocornya soal,
distribusi soal ke sejumlah daerah, UN berbasis komputer (UNBK) yang
mengalami banyak hambatan, indeks kejujuran, dan sekarang moratorium UN. Arah
kebijakan moratorium dipahami sebagai penghapusan UN. Menghadapi kemungkinan
dihapuskannya UN, Provinsi Jawa Barat akan mengembangkan standar kelulusan
untuk provinsi ini.
Banyak guru, kepala sekolah, pejabat pendidikan-bahkan ahli
pendidikan-terusik dengan kemungkinan penghapusan UN. Menghapus UN adalah
sesuatu yang tidak terpikirkan dan tidak masuk akal. Tradisi yang sudah
menahun dan UN sudah dianggap sebagai mutiara dalam dunia pendidikan akan
hilang, sungguh menyakitkan.
Pertanyaan pun bertaburan, mempersoalkan di mana kualitas
pendidikan apabila UN dihapus. Bagaimana dunia pendidikan dapat menentukan
mana mereka yang berkualitas dan mana pula yang tidak berkualitas. Bagaimana
pula masyarakat dapat mengetahui berapa warga negara yang berkualitas dan
yang tak berkualitas apabila UN tidak ada. Pendapat lain mengatakan, UN
adalah perwujudan dari pendidikan berdasarkan standar. Jika UN dihapus,
pendidikan kehilangan standar kualitas.
Sebenarnya UN ada jauh sebelum Indonesia menerapkan pendidikan
berdasarkan standar. Lagi pula, pendidikan berdasarkan standar tidak
menghendaki UN sebagai alat seleksi kualitas. Pendidikan berdasarkan standar
menghendaki setiap siswa mencapai standar sebagai kualitas minimal. Untuk
itu, pendidikan berdasarkan standar lebih menghendaki evaluasi terhadap
kualitas satuan pendidikan.
Hasil evaluasi harus dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
sekolah yang buruk, memperbaiki hasil belajar siswa yang tidak memenuhi
standar. Pendidikan berdasarkan standar menghendaki warga negara yang paling
tidak memiliki kualitas minimal. Perbedaan terjadi bukan di bawah dan di atas
standar. Siswa adalah kelompok generasi calon warga negara produktif yang
harus dikembangkan potensinya melalui pendidikan, bukan menyaring mereka.
Ruang ketidakadilan
Keberatan terhadap adanya UN telah lama disuarakan ahli
pendidikan. Tokoh pendidikan Oejeng Soewargana telah menyuarakan keberatan
terhadap UN versi masa itu, tahun 1960-an. Ketidakadilan pendidikan dan
penyimpangan dari prinsip penilaian merupakan dua alasan dari sejumlah keberatan almarhum mengenai UN.
Ketidakadilan terjadi ketika siswa yang tak mendapatkan kualitas
pelayanan pendidikan yang seharusnya diberi ujian sama dengan mereka yang
menerima pelayanan pendidikan yang baik. Ketidakadilan terjadi ketika ujian
diberikan kepada siswa yang belum belajar tentang apa yang diuji.
Diskriminasi dalam dunia pendidikan pun terjadi.
Adanya UN adalah berdasarkan pandangan bahwa pendidikan harus
mampu menyaring hasil pendidikan bermutu dari yang tidak bermutu. Untuk itu,
tes berupa UN adalah instrumen untuk menyaring kualitas tersebut. Melalui
hasil UN, pendidikan memberikan kepada bangsa ini warga negara yang
berkualitas dan yang tidak berkualitas, yaitu mereka yang tidak lulus UN.
Warga negara berkualitas diharapkan menjadi warga negara
produktif yang mampu berkontribusi terhadap kesejahteraan kehidupan bangsa.
Warga negara yang tak berkualitas
tidak mampu memberikan kontribusi tersebut karena memang mereka tidak
memiliki kemampuan itu. Mereka akan menjadi beban masyarakat dan bangsa.
Bagaimana dengan hak mereka untuk menjadi manusia berkualitas
dan warga negara yang produktif hanya karena mereka tidak menerima haknya
mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas? Ini adalah masalah pendidikan yang
mendasar karena segala upaya dan pemikiran pendidikan difokuskan agar
pendidikan mampu menghasilkan setiap siswa sebagai manusia yang berkualitas.
Kurikulum, guru, fasilitas, manajemen, dana, model pembelajaran dan metode,
bahkan rekonseptualisasi penilaian hasil belajar terus dikembangkan dan
diperbaiki agar pendidikan mampu mengembangkan potensi siswa menjadi manusia
berkualitas.
Beda ujian dan
evaluasi
Ujian berbeda dengan evaluasi karena ujian selalu menentukan
yang lulus dan tidak lulus, sedangkan evaluasi selalu berupaya untuk
melakukan perbaikan. Ujian terhadap peserta didik yang belum mendapatkan
haknya dalam proses pendidikan berkualitas merupakan suatu pelanggaran
terhadap penilaian hasil belajar. Jika bahan ujian tersebut adalah bahan yang
sudah dipelajari peserta didik pada waktu UN, kenyataan siswa ternyata belum
mempelajari karena bukan kesalahan siswa, dan adalah suatu kewajaran jika
mereka tidak dapat menjawab, mengapa mereka yang dikenai akibatnya,
dinyatakan tidak lulus? Bukankah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kemudian
diperkuat Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa
pemerintah baru diperkenankan melaksanakan UN apabila standar nasional
pendidikan (SNP) telah terpenuhi? Pada saat sekarang banyak satuan pendidikan
yang masih belum memenuhi SNP, kurang dari 50 persen. Sayangnya, UN tetap
dilaksanakan terhadap sekolah yang belum memenuhi SNP.
Evaluasi diamanatkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Pasal 57, 58, dan 59. Jadi bukan ujian. Sesuai amanat
pasal-pasal itu, evaluasi nasional pendidikan diperlukan untuk menjaga
kualitas pendidikan.
Melalui evaluasi, dapat diidentifikasi kelemahan suatu satuan
pendidikan dan upaya perbaikan yang dapat dilakukan. Perbaikan kualitas
pelayanan pendidikan memberikan kepada siswa hak mereka mendapatkan
pendidikan berkualitas dan menjadikan mereka berkualitas. Proses pembelajaran
berkualitas memberikan pelayanan yang selalu terbuka bagi siswa untuk
mengembangkan potensi mereka menjadi kualitas yang dipersyaratkan.
Evaluasi nasional tidak diberikan pada tahun terakhir karena
sekolah akan kehilangan kesempatan memperbaiki kualitas peserta didik yang
bermasalah. Evaluasi nasional diberikan satu tahun atau paling lambat satu
semester sebelum siswa menyelesaikan studinya di suatu satuan pendidikan.
Dengan waktu yang tersedia, satuan pendidikan punya kesempatan memperbaiki
hasil belajar peserta didiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar