Alternatif
Evaluasi Pendidikan
Doni Koesoema A ; Pemerhati
Pendidikan;
Pengajar di Universitas Mutimedia
Nusantara, Serpong
|
KOMPAS, 06 Desember
2016
Moratorium ujian nasional perlu didukung. Ujian nasional yang
sudah berlangsung lebih dari 10 tahun sebaiknya ditinjau kembali karena
terbukti tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Mencari alternatif
evaluasi pendidikan yang lebih bermakna menjadi sebuah keharusan.
Persoalan utama dalam UN adalah bahwa kebijakan ini tidak
berhasil menumbuhkan semangat pembelajaran otentik. Padahal, pembelajaran
otentik merupakan prasyarat sebuah kualitas pendidikan. Akar persoalannya
adalah pencampuradukan satu alat evaluasi untuk sejumlah tujuan. UN yang
bersifat sumatif dipakai juga untuk proses seleksi, pemetaan, dan evaluasi
pembelajaran.
Ujian nasional itu bersifat sumatif sebab menilai capaian
pembelajaran peserta didik pada kurun waktu tertentu. Tujuannya untuk
mengukur sejauh mana siswa menguasai materi. UN yang bersifat sumatif tidak
dipakai sebagai alat untuk menyeleksi siswa ke perguruan tinggi.
Alat ukur untuk seleksi masuk perguruan tinggi memiliki tujuan
berbeda. Ia tidak mencari sejauh mana siswa memahami materi, tetapi
mendiskriminasi dan menyeleksi individu berdasarkan kemampuan yang
dipersyaratkan. Fungsinya adalah memilih kandidat terbaik untuk program
pendidikan tertentu.
Ketika UN dipakai untuk alat ini, perguruan tinggi enggan
mempergunakan nilai-nilai UN sebagai satu-satunya syarat seleksi. Adanya
indikasi pelaksanaan teknis UN yang tidak sesuai standar, terjadi kecurangan
dan kebocoran, semakin membuat PTN tidak mau mempergunakan UN sebagai syarat
utama seleksi.
Ketidakpercayaan perguruan tinggi pada nilai UN melahirkan
strategi lain dalam seleksi mahasiswa baru, yaitu melalui kebijakan Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) jalur undangan dengan nilai
rapor sebagai kriteria. Namun, kebijakan ini justru kontraproduktif karena
ternyata terjadi manipulasi nilai rapor di sekolah sejak semester pertama.
Kebijakan seleksi masuk PT melalui jalur undangan, yaitu melalui
penilaian rapor, membuat setiap sekolah berusaha membuat profil nilai rapor
siswa baik sejak semester awal. Manipulasi nilai rapor didukung kebijakan
penilaian pendidikan di tingkat sekolah berupa kriteria ketuntasan minimal
(KKM). KKM yang dipahami secara salah kaprah membuat kredibilitas penilaian
oleh sekolah jadi bermasalah.
Salah kaprah konsep KKM telah terjadi praktis di hampir semua
sekolah. Nilai KKM yang seharusnya merupakan capaian tiap kompetensi dasar
sekarang dipahami sebagai nilai minimal peserta didik di dalam rapor. Karena
itu, apabila sekolah ingin profil akademik peserta didiknya baik, KKM dibuat
setinggi mungkin. Akibatnya, guru bisa terengah-engah memaksa peserta didik
agar sesuai KKM melalui berbagai macam bentuk remedial, atau sebaliknya, asal
sudah ada remedial, siswa tersebut memperoleh nilai rapor sesuai KKM. Dampak
lanjutannya adalah siswa malas belajar, mengandalkan remedial untuk
memperoleh nilai KKM. Kebijakan KKM mendemotivasi siswa dalam belajar dan
merendahkan moral guru dalam mengajar.
Sekolah atau guru terpaksa memberikan nilai KKM kepada peserta
didik karena ada kebijakan lain yang mendukungnya, yaitu sistem input data
nilai dalam dapodik yang mewajibkan setiap peserta ujian nasional memiliki
nilai minimal KKM. Kalau ada peserta didik belum mencapai nilai KKM, data
siswa tidak terverifikasi dan siswa tersebut tidak bisa mengikuti ujian
nasional. Alasan inilah yang membuat hampir semua sekolah memberikan nilai
KKM kepada siswa agar dapat mengikuti UN.
Cara-cara mengelola pendidikan seperti ini jauh dari
pengembangan pembelajaran otentik. Kebijakan evaluasi dan penilaian
pendidikan di tingkat unit sekolah sudah terkorupsi sehingga proses belajar
mengajar tidak lagi menawarkan pengalaman belajar yang otentik.
Dua alasan
Ujian nasional terstandardisasi harus ditolak bukan hanya karena
telah melahirkan dampak-dampak negatif ikutan, seperti belajar hanya untuk
tes, terjadinya kecurangan-kecurangan, dan manipulasi nilai, melainkan juga
karena alasan antropologis dan pedagogis sebagai basis proses pendidikan yang
baik.
Ujian terstandar, seperti UN, pertama-tama menganggap manusia
sebagai benda yang bisa distandardisasi. Istilah standar lebih tepat
diterapkan pada produk barang industri daripada manusia. Ujian nasional juga
memiliki asumsi pemikiran behavioristik yang sudah tidak adekuat lagi sebagai
konsep untuk memahami manusia terdidik.
Teori behavioristik ini masih mewarisi gambaran model manusia
ala Pavlov yang bekerja berdasarkan stimulus dari luar. Konsep ini meremehkan
motivasi internal individu dalam belajar. Teori behavioristik sudah
ketinggalan zaman ketika berhadapan dengan temuan baru dalam pedagogi
pembelajaran yang bersifat lebih konstruktivis, baik secara individual maupun
sosial.
Secara pedagogis, UN tidak mampu memotret otentisitas pengalaman
belajar peserta didik. Dari sisi teori penilaian pendidikan, UN yang lebih
banyak menggunakan model pilihan ganda mempersempit cakupan pengetahuan dan
keterampilan peserta didik sehingga tidak mampu memotret keseluruhan profil
akademik peserta didik.
Teori pembelajaran yang mutakhir lebih mengacu pada kebutuhan
siswa sebagai pembelajar yang memiliki kemampuan konstruktif membentuk
dasar-dasar keilmuan berhadapan dengan pengalaman dan bakat-bakatnya. Potensi
inilah yang mengarahkan mereka pada profesi dan pilihan hidup di masa depan.
Proses pembelajaran yang membuat siswa aktif mengonstruksi
pengetahuan berdasarkan tahap perkembangan kognitif, emosi, dan sosialnya,
lebih merepresentasikan gambaran manusia nyata zaman sekarang. Ini sangat
didukung banyak riset (Schapiro, 2007; Hargreaves, 1993; Supovitz, 2009).
Pemerintah perlu mengubah konsep antropologi pendidikan dan
memilih pendekatan pedagogis yang lebih relevan dan aktual. Perubahan ini
memiliki konsekuensi bahwa evaluasi tidak lagi dinilai sebagai proses
penilaian hasil akhir (assessment of learning) dari sebuah aktivitas belajar,
tetapi menjadi proses pembelajaran yang terus-menerus. Evaluasi digunakan
untuk pembelajaran (assessment for learning) dan sarana pembelajaran itu
sendiri (assessment as learning).
Lima solusi
Alternatif evaluasi pendidikan sesudah moratorium yang bisa
dipilih adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah perlu lebih mengutamakan
model evaluasi yang bersifat formatif daripada sumatif. Evaluasi ini
dilakukan guru dan sekolah. Pengutamaan pada penilaian otentik membuat guru
dapat memiliki ruang kreasi dan inovasi dalam penilaian pembelajaran, seperti
evaluasi melalui rubrik, tugas terstruktur, portofolio, tugas proyek, unjuk
kerja, dan penulisan esai.
Kedua, kita tidak perlu bingung mencari alternatif standar
evaluasi nasional dengan memindahkan model evaluasi ke daerah. Kebijakan ini
akan menambah masalah karena kemampuan daerah dari sisi kapasitas personalia
masih kurang. Evaluasi standar nasional bisa mempergunakan tes literasi dan
numerasi yang dilakukan tidak harus serentak, dan hanya pada kelas tertentu,
seperti kelas II, IV, dan VIII. Tes literasi dan numerasi ini sudah mulai
dikembangkan Pusat Penilaian Pendidikan.
Ketiga, agar manipulasi nilai rapor hilang dan pembelajaran
otentik terjadi, kebijakan KKM harus dihapuskan. Kebijakan SBMPTN yang
memakai jalur undangan juga perlu dihapus. Ujian masuk PTN perlu dilakukan
secara obyektif dan fair melalui ujian tertulis sehingga manipulasi nilai
rapor tidak terjadi. Seleksi PTN yang obyektif akan memacu sekolah untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran.
Keempat, seleksi masuk dari SD ke SMP, SMP ke SMA, diserahkan
kepada sekolah masing-masing. Sekolah bisa mempergunakan nilai rapor. Atau
kalau nilai rapor tetap terdistorsi, sekolah diperkenankan membuat tes masuk
sendiri. Kebijakan ini lama-lama memacu sekolah untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran daripada sekadar menampilkan profil akademik baik di rapor.
Kelima, pemerintah perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas
guru dan membekali mereka dengan berbagai macam metode penilaian pembelajaran
otentik sehingga di sekolah-sekolah terjadi suasana pembelajaran yang
kondusif, fokus pada isi kurikulum, tetapi dilaksanakan dalam proses
pembelajaran yang dinamis dan kreatif.
Apabila lima hal ini dilakukan, proses pembelajaran di kelas
akan lebih bervariasi, siswa memperoleh pengalaman belajar yang otentik, dan
menumbuhkan semangat dan gairah belajar yang tinggi. Moratorium UN harus
menjadi awal bangkitnya penilaian dan pembelajaran yang otentik. Di sinilah
esensi pendidikan itu terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar