Dunia
Menanti Arah Kebijakan Trump
Retno Bintarti ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 27 Desember
2016
Suasana
di @america Jakarta, 9 November lalu, seperti antiklimaks. Nonton bareng
hasil pemilihan presiden Amerika Serikat diwarnai suasana canggung ketika
layar menunjukkan hasil Donald Trump unggul atas Hillary Clinton.
Banyak
pengunjung yang tak sampai hati melihat tayangan layar besar, dan sebagian
memilih pulang lebih cepat, termasuk sejumlah staf Kedutaan Besar AS. Dunia
harus menerima kenyataan baru. Donald Trump benar-benar menjadi presiden AS.
Secara
resmi, dewan elektoral sudah memastikan miliarder ini menjadi presiden AS
periode 2017-2021. Meski secara nasional pemilih Hillary lebih banyak 2,8
juta suara, posisi Trump tidak akan tergoyahkan. Menurut hasil suara dewan
elektoral, Trump mendapat 304 suara elektoral. Sementara Hillary, di luar
prediksi, hanya memperoleh 227 suara elektoral.
Trump
mencatat sejarah sebagai presiden dengan suara dewan elektoral yang besar.
Kandidat dari Partai Republik ini juga mencatat sejarah baru sebagai presiden
yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman politik dan birokrasi.
Mengalahkan 16 pesaingnya yang sebagian besar politisi kawakan dalam
pemilihan pendahuluan di Partai Republik merupakan pencapaian luar biasa.
Ditambah lagi kemenangan berikutnya melawan Hillary di babak penentuan pada 8
November 2016. Pantas kemudian kalau majalah Time menobatkannya sebagai
"Tokoh Tahun 2016".
Namun,
dengan sisa ketegangan kampanye yang masih membekas dan janji-janji
kampanyenya yang muluk, Trump punya banyak pekerjaan berat. Di dalam negeri,
dia harus bisa merekatkan kembali publik yang sedemikian terbelah akibat
retorika kampanyenya yang begitu keras.
Trump
harus meyakinkan rakyat bahwa dia adalah presiden untuk semua kalangan,
termasuk kalangan yang selama kampanye menjadi sasaran tembaknya. Terutama
warga minoritas Latin dan Muslim, yang dalam kampanye lalu sering menjadi
bulan-bulanan retorika Trump.
Sulit diraba
Hampir
delapan minggu setelah pemilihan presiden selesai, sepertinya orang masih
terus meraba dan menerka langkah yang akan dilakukan Trump dengan kabinetnya
kelak. Trump terlihat menjauhi pers yang selama ini dia anggap bias, tidak
bisa dipercaya. Kecuali saat bertemu dengan Presiden Barack Obama di Gedung
Putih beberapa hari setelah dia terpilih, Trump belum pernah memberikan
keterangan tatap muka dengan pers. Kalaupun ada pernyataan penting yang
pernah disampaikan, Trump melakukannya dengan cara satu arah di depan kamera.
Yang
justru paling sering dilakukan adalah berkomentar lewat Twitter, yang bisa
dilakukan setiap saat dan menyangkut isu apa pun, dari masalah yang sangat
strategis, misalnya tentang hubungan AS-Tiongkok, nuklir, sampai menanggapi
artis.
Dengan
usianya yang sudah 70 tahun saat dilantik nanti, presiden ke-45 AS ini akan
tetap menjadi seorang Donald Trump sebagaimana yang dikenal selama ini,
dengan kepercayaan dirinya yang luar biasa. Ia tak peduli dengan segala
kritik atas tindakannya yang di luar kebiasaan, seperti menyertakan anak-anaknya
untuk ikut menentukan kabinet atau menemui kepala negara asing.
Namun,
di sisi lain, dia dikenal sebagai orang yang mudah marah terhadap kritik.
Sosok kabinet
Arah
pemerintahan Trump agaknya mulai terlihat, dilihat dari sosok orang-orang yang
nantinya mengisi kabinetnya. Dari nama orang-orang yang sudah diumumkan,
terlihat sosok pebisnis dan pelaku usaha mendominasi.
Kontroversi
tampaknya menjadi bagian yang melekat pada diri Trump sehingga sejumlah
posisi justru diisi orang-orang yang kontroversial. Hanya beberapa hari
setelah terpilih, Trump mengumumkan penunjukan Stephen Bannon sebagai kepala
strategi pemerintahannya. Bannon berjasa membuat media alternatif yang
membela Trump pada musim kampanye. Yang mengganggu, Bannon dikenal dengan sikapnya
yang rasis.
Di
bidang pertahanan, Trump menunjuk James Mattis, mantan militer yang
berpengalaman di perang Irak, yang dikenal dengan pernyataan-pernyataannya
yang keras. Penasihat Keamanan Nasional Michael Flynn tak kalah keras.
Sama
seperti dirinya, banyak menteri tak mempunyai pengalaman politik atau
birokrasi. Dalam proses pemilihan posisi menteri luar negeri, banyak sekali
spekulasi, sampai akhirnya Trump menunjuk Rex W Tillerson, CEO Exxon Mobil
yang diketahui sangat dekat hubungannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Hal ini menimbulkan keyakinan bahwa hubungan kedua negara adidaya ini di era
Trump akan sangat berbeda dengan pemerintahan Presiden Barack Obama.
Namun,
sebaliknya dengan Tiongkok. Setelah perang pernyataan terkait masalah Taiwan,
Trump belakangan mengangkat Peter Navarro menjadi direktur kebijakan
perdagangan dan industri. Apakah Trump akan menjalankan janji-janji
kampanyenya untuk bersikap lebih keras dalam urusan perdagangan dengan
Tiongkok?
Hal
ini masih perlu dilihat nanti. Yang jelas, Navarro merupakan pakar yang
sangat keras mengkritik kebijakan ekonomi AS terhadap Tiongkok.
Masih
ada sejumlah penunjukan yang mengundang kontroversi. Calon kepala Badan
Perlindungan Lingkungan (EPA), misalnya, adalah orang yang tidak pro
lingkungan dan calon menteri perburuhan justru orang yang menentang perbaikan
upah buruh.
Obama
yang segera meninggalkan Gedung Putih menyatakan, rakyat AS harus memberikan
kesempatan kepada pemerintahan baru.
Dunia
masih dilanda ketidakpastian menunggu kebijakan presiden baru AS. Di tangan
Trump, kejutan-kejutan bisa terjadi setiap waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar