Bersiap
Hadapi Eropa "Kanan"
Myrna Ratna ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 27 Desember
2016
Bagi
Eropa, tahun 2017 menjadi tahun krusial. Pemilihan umum di Jerman, Perancis,
dan Belanda akan menjadi penentu apakah para kandidat dari partai arus utama
masih dipercaya rakyatnya, atau justru kandidat partai sayap kanan naik ke
panggung kekuasaan. Jika itu yang terjadi, arah politik Eropa akan berubah,
juga nasib Uni Eropa.
Beragam
krisis mengguncang Eropa selama beberapa tahun terakhir dan telah menggerus
kepercayaan rakyat terhadap elite pemerintahan. Serangan teroris dan banjir
jutaan migran yang terjadi di saat dunia dilanda krisis ekonomi telah memberi
amunisi bagi partai-partai sayap kanan untuk memanipulasi kecemasan rakyat.
Mereka berhasil melecut gelombang populisme ke seluruh Eropa, dalam bentuk
penolakan pada imigran, Muslim, Uni Eropa, globalisasi, dan pluralisme.
Cukup
beragam definisi tentang populisme, tetapi yang pasti memiliki kesamaan dalam
hal kebencian terhadap kaum elite yang berkuasa, partai-partai arus utama,
dan menolak pluralisme. Gerakan ini meluas dengan cepat berkat teknologi dan
strategi disinformasi. Brexit-keluarnya Inggris dari Uni Eropa- dan
terpilihnya Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat menjadi contohnya.
Pada
saat referendum di Inggris, mayoritas pemilih Brexit meyakini bahwa meskipun
Inggris keluar dari Uni Eropa, Inggris tetap bisa memiliki privilese berupa
akses ke pasar tunggal Eropa tanpa harus tunduk pada persyaratannya. Kubu pro
Brexit berhasil melakukan disinformasi walaupun mereka tahu itu salah.
Hal
yang sama terjadi pada pemilu AS. Kubu Trump sangat masif melakukan
disinformasi. Ketika media pontang-panting berupaya membuktikan bahwa ucapan
Trump tidak akurat, Trump justru menyerukan agar tidak memercayai media. Dan
ia berhasil.
Kebangkitan
Di
Eropa, hampir semua negara mengalami kebangkitan partai sayap kanan. Kaum
populis kini menguasai porsi terbesar parlemen di enam negara, yaitu, Yunani,
Hongaria, Italia, Polandia, Swiss, dan Slowakia. Bahkan di Hongaria, partai
yang berkuasa maupun partai oposisi sama-sama populis. Adapun di Finlandia,
Norwegia, dan Lituania, partai-partai populis kini tergabung dalam koalisi
pemerintahan (Cas Mudde, Foreign Affairs, November/Desember 2016).
Di
Jerman, Perancis, dan Belanda yang akan melaksanakan pemilu 2017, persaingan
itu makin ketat. Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang dipimpin Frauke
Petry berhasil menggeser dominasi partai-partai arus utama dalam pemilu
negara bagian. Untuk pertama kalinya partai sayap kanan memiliki perwakilan
di 10 parlemen negara bagian.
Sepuluh
tahun lalu, partai sejenis AfD yang memiliki ideologi xenofobia selalu
diprotes warga Jerman jika berkampanye. Kini mereka menjadi partai harapan.
Serangan
teroris dengan menggunakan truk di bazar Natal Berlin, pekan lalu, semakin
menekan posisi Kanselir Angela Merkel. Ia dikecam tidak hanya oleh kubu
oposisi, tetapi juga oleh partai sekandung, Uni Sosial Kristen (CSU), yang
sejak awal menentang kebijakan Merkel yang membuka pintu kepada imigran.
Setelah
serangkaian aksi teror yang terjadi musim panas lalu di Wuerzburg, Ansbach,
Reutlingen, dan Muenchen, yang semuanya dilakukan oleh keturunan imigran dan
pengungsi, insiden truk di Berlin yang dilakukan warga Tunisia semakin membuat
Merkel sulit berkelit. Bagi AfD dan para pendukungnya, Merkel dianggap sudah
tamat.
Demikian
juga Front Nasional Perancis yang dipimpin Marine Le Pen, putri pendiri FN
Jean-Marie Le Pen. Dulu, rakyat Perancis dari kubu berbeda sepakat menggalang
gerakan untuk mencegah Jean-Marie Le Pen memenangi pemilu 2002, dengan
memilih Jacques Chirac.
Namun,
aksi terorisme yang menyerang majalah Charlie Hebdo (Januari 2015), serangan
di ibu kota Paris (November 2015), dan serangan truk di Nice (Juli 2016)
membuat Marine menjadi "pahlawan baru" dengan pesan nasionalistis:
rebut kembali identitas dan kedaulatan Perancis.
Globalisasi
dianggap sebagai "kambing hitam" bangkitnya populisme, menyusul
merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang tinggal di
wilayah perdesaan. Pabrik-pabrik ditutup dan pindah ke negara-negara yang
memiliki buruh murah, produk pertanian harus bersaing dengan produk negara
asing yang lebih murah, tenaga fisik tergantikan oleh mesin. Bahkan, bidang
jasa kini tergantikan oleh aplikasi internet. Fenomena seperti Uber,
misalnya, telah menenggelamkan jasa transportasi seperti taksi ataupun
layanan antaran.
Bagi
partai-partai populis di Eropa, lapisan selanjutnya yang ingin didobrak
adalah dominasi dan birokrasi Uni Eropa yang dianggap telah melemahkan
kedaulatan nasional. Keberhasilan Brexit menjadi pelecut semangat mereka
bahwa impian keluar dari UE tidaklah mustahil.
Efek balik
Meski
demikian, setelah kemenangan Trump yang kontroversial, sebagian warga Eropa
mulai berpikir ulang tentang "bahaya" ekstremisme. Fakta bahwa
risiko yang dihadapi Inggris pasca Brexit nyatanya lebih pelik dari janji
kampanye, juga membuka mata mereka.
Setidaknya,
hal itu terlihat pada pemilu ulang di Austria antara Nobert Hofer dari partai
kanan dan Van der Bellen dari Partai Hijau. Jika pada pemilu Mei lalu Hofer
hanya kalah 0,6 persen, dalam pemilu ulang ia kalah telak, 6 persen. Intinya,
rakyat Austria menolak pemimpin yang populis.
Fenomena
ini juga mendorong sejumlah perkembangan di ranah politik Perancis. Calon
kuat Partai Republik, Nicolas Sarkozy, yang mengampanyekan kebijakan ekstrem,
kalah pada pemilihan awal oleh kandidat sesama Republik, Francois Fillon,
yang keras tapi cenderung "ke tengah".
Blunder
yang diciptakan Trump ada kemungkinan malah "mempersatukan" Eropa,
terlebih ketika terkait dengan hubungan trans-Atlantik. Langkah Trump yang
ingin mengubah pendulum kebijakan luar negerinya dengan mempererat hubungan
dengan Rusia, antara lain dengan memilih menteri luar negeri yang merupakan teman
baik Vladimir Putin, menjadi sinyal mengkhawatirkan bagi Eropa.
Uni
Eropa kini menghadapi kenyataan tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan soal
keamanan kepada AS. Bahkan, masa depan NATO pun menjadi "tidak
jelas" di tangan Trump.
Isyarat
itu antara lain ditunjukkan melalui pembentukan pasukan gerak cepat Eropa
yang akan berlanjut ke tahap pembentukan pasukan militer Eropa. Langkah
lainnya adalah normalisasi hubungan UE dengan Kuba, yang sampai saat ini
masih dikenai sanksi oleh AS.
Rusia
Hal
lain yang juga diwaspadai Eropa adalah faktor Rusia. Munculnya laporan CIA
tentang peretasan yang dilakukan Rusia untuk memenangkan Trump membuat
negara-negara yang akan melaksanakan pemilu di tahun depan mulai waspada.
Sudah bukan rahasia, Moskwa menginginkan pemimpin yang terpilih di Eropa
adalah yang bersimpati terhadap Rusia dan anti UE. Sosok itu ada pada semua
kandidat dari partai kanan.
Dalam
catatan The New York Times (19/12), Marine Le Pen memperoleh dana pinjaman
dari Rusia sebesar 11,7 juta dollar AS untuk kampanyenya. Bahkan, Fillon dari
Partai Republik pun merupakan teman Putin dan selama ini menentang sanksi
yang dijatuhkan UE kepada Rusia pasca pendudukan Semenanjung Crimea.
Akan
tetapi, "target utama" Rusia kemungkinan adalah Merkel. Badan intelijen
Jerman menyimpulkan, Rusia sangat mungkin menjadi dalang peretasan jaringan
komputer Parlemen Jerman pada 2015, dan juga dicurigai bulan lalu melakukan
pemutusan jaringan telepon dan listrik sekitar 900.000 warga Jerman.
Apa
pun dinamika yang terjadi, Eropa harus bersiap menghadapi lanskap politik
baru karena populisme bukan fenomena sesaat. Gelombang ini hanya bisa
dilunakkan oleh pemerintah yang mampu menciptakan rasa aman pada rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar