Bencana
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior TEMPO
|
TEMPO.CO, 09 Desember
2016
Bencana tak putus-putusnya menghampiri
negeri kita. Ada yang datang secara tiba-tiba, tanpa tanda apa pun
sebelumnya. Ada yang seharusnya bisa diantisipasi, tapi kita selalu lengah
atau mungkin mengira itu urusan kecil. Syukur jika ada bencana yang tidak
jadi datang karena kita siap mencegahnya.
Tentu saja ini rupa-rupa bencana, bukan
yang sejenis atau yang bisa diperbandingkan. Bencana tanpa permisi itu, contohnya,
gempa yang menggoyang Pidie Jaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Betapapun ilmu gempa sudah dikuasai pakar kita, namun tak ada seorang pun
yang tahu kapan gempa itu datang. Tampaknya ini rahasia alam yang harus tetap
jadi misteri.
Ilmu tentang gempa semakin banyak
diketahui. Para pakar sudah bisa memetakan daerah yang potensial mengalami
gempa. Jalur patahan lempeng bumi sudah bisa digambar. Di Sumatera, misalnya,
setidaknya ada tiga sesar (patahan di darat), yakni Sesar Sumatera, Sesar Seulimeum,
dan Sesar Samalanga-Sipopok. Sedangkan di laut, ada Lempeng
Australia-Eurasia. Kabupaten Pidie Jaya, yang Rabu subuh lalu kebagian gempa,
termasuk berada di jalur Sesar Samalanga-Sipopok itu. Pada 1967 gempa juga
terjadi persis di kawasan ini.
Tapi kenapa korban masih juga berjatuhan
dalam jumlah besar? Karena kita mengabaikan pesan para pakar, juga pesan para
leluhur untuk membangun rumah tahan gempa di atas patahan bumi itu. Para
leluhur kita di masa lalu sudah menemukan arsitektur tahan gempa dengan
bangunan kayu, dan terbukti aman dari goyangan gempa. Sayang hal ini banyak
ditinggalkan dengan alasan rumah kayu lebih mahal dibanding rumah beton.
Lalu, pengawasan dari pemerintah pun alpa. Korban gempa di Pidie sebagian
besar tertimbun bangunan yang roboh karena konstruksi ruko—rumah toko—yang
bertingkat itu tak memenuhi standar. Ini bukan persoalan di Pidie saja, tapi
juga di banyak tempat rawan gempa. Seharusnya ini bisa jadi pelajaran ke
depan bagaimana membangun di atas patahan bumi itu.
Bencana yang tak ada hubungan dengan gempa,
contohnya masih saja dipamerkan sikap intoleransi dalam melaksanakan
keyakinan beragama. Perayaan Natal di Gedung Sabuga Bandung dihentikan oleh
ormas yang bernapaskan agama lain yang tidak merayakan Natal. Apa pun kasusnya,
mungkin termasuk urusan izin yang tak sempurna, penghentian paksa itu adalah
bencana, karena seharusnya bukan ormas keagamaan yang bertindak. Aparat
hukumlah yang melarang atau tetap mengizinkan. Kalau "urusan kecil"
seperti ini terus dipelihara, berbuih-buihlah bicara soal aksi super damai,
orang akan tetap waswas akan terpeliharanya kebinekaan di negeri ini.
Dua bencana yang disebut itu, sekali lagi,
tak saling berkaitan. Yang satu fenomena alam yang sulit ditebak, yang lain
bencana yang gejalanya bisa dibaca. Ada perilaku kurang baik dari ormas
keagamaan yang suka merecoki urusan umat beragama lain. Hanya orang yang
punya hobi membodohi masyarakat yang menyebutkan gempa di Aceh adalah
"balasan" dari intoleransi di Bandung. Ini karangan pemabuk khas di
media sosial.
Lalu, bencana mana yang batal datang?
Tergolong embrio bencana atau tidak, urusan makar yang dituduhkan kepada
beberapa aktivis cukup mengagetkan masyarakat. Mereka yang ditangkap polisi
adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah sepuh, yang sepertinya tak punya
kekuatan untuk melakukan makar. Tapi proses hukum sedang berlanjut, mari kita
ikuti. Harapan kita ini bukan masalah besar, meskipun penangkapan itu
ternyata penting juga agar aksi super damai yang disebut 212 di Monas tidak
ternoda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar