Amarah
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 12 Desember
2016
Negeri ini didirikan dengan impian yang
ramah. Tapi itu tiga perempat abad yang lalu.
Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945,
ketika kemerdekaan didengungkan sebagai sesuatu yang aktual
("sekarang!" seru Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada keyakinan:
"Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!" seperti
kata Bung Karno. Ada harapan rakyat Indonesia punya potensi penuh untuk jadi
manusia yang tak terbelenggu, karena kemerdekaan politik adalah
"jembatan emas"—gilang-gemilang, kukuh, dan aman untuk mencapai
yang dituju.
Tapi semenjak tiga perempat abad lalu,
"jembatan emas" itu ternyata impian yang terlalu manis atau
retorika yang khilaf: Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga sebuah negeri
yang penuh kekerasan, ketidakadilan, konflik, kecurangan.
Tampak pula bahwa sebagian besar
"rakyat" bukan pribadi-pribadi yang menentukan pilihan sendiri.
Mereka yang miskin dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka yang bersuara
disumpal dogma. Mereka yang bersikap ternyata tak berani melepaskan diri dari
panutan kolektif.
Impian yang ramah juga terasa ketika dalam
pidato 1 Juni itu Bung Karno menegaskan: negara Indonesia yang akan berdiri
"bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu
golongan", melainkan negara "satu buat semua, semua buat
satu". Bung Karno meyakini, dalam proses perpaduan antara
"satu" dan "semua" itu akan efektif
"musyawarah", lewat suatu proses politik dengan perwakilan rakyat.
Tiga perempat abad kemudian inilah yang
sering dialami: "musyawarah" bisa berarti pengekangan yang tersamar
terhadap pendirian yang berbeda; "perwakilan rakyat" jadi parlemen
yang diangkat seorang diktator atau diseleksi para pendukung oligarki. Tak
jarang dari sana berkuasa suara yang digerakkan hasutan, uang suap, atau
kepicikan.
Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun
terguncang bersama sejarah dunia yang terguncang. Tiga kali, setidaknya.
Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk
mendirikan masyarakat yang tumbuh dalam kesetaraan. Sosialisme bukan lagi
janji masa depan yang pasti; sosialisme kini jadi petilasan masa
silam—mungkin terasa indah atau sebaliknya grotesk, tapi tak bergerak.
Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan
"globalisasi". Pernah ada janji, menyebarnya modal dan perdagangan
bebas ke segala penjuru akan membuahkan rasa kenyang dan perdamaian.
"Tak ada dua negeri yang sama-sama punya McDonald's pernah bertempur
satu sama lain, sebab masing-masing punya McDonald's-nya sendiri," kata
suara yang paling optimistis tentang globalisasi, diwakili Thomas L.
Friedman.
Tapi ternyata McDonald's bukan lambang dan
jalan damai, melainkan, sebagai modal, penyebab kegendutan dan keretakan.
Hanya sedikit yang bisa menikmati akumulasi modal global—dan bagi yang tak
kebagian, McDonald's (atau mobil Ferrari, atau koper Louis Vuitton) menandai
sesuatu yang mudah dicurigai: benda dari kebudayaan dan keserakahan asing. Globalisasi
pun ditentang—juga di Amerika Serikat dan Eropa, dua wilayah ekonomi yang
paling kuat berperan dalam penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu.
Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan
kekerasan yang merundung orang-orang beragama. Yang paling nyaring, kita
tahu, terdengar dari "dunia Islam".
Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit
di The Guardian, yang merekam dengan peka dan menilik dengan dalam
hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut masa ini sebagai "Zaman
Kemarahan".
Ia tak membatasi "kemarahan"
kolektif itu di dunia Islam tempat terorisme tumbuh. Amarah yang seperti api
dalam sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai kaum di pelbagai
negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini menyaksikan yang lebih khusus—sesuatu
yang tak dikenal tiga perempat abad yang lalu, dalam mimpi ramah para pendiri
Republik: kebencian yang diteriakkan, permusuhan yang menghalalkan fitnah dan
dusta, demagogi ala Rizieq.
Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu
pengertian yang dulu antara lain dikemukakan Nietzsche ketika mengamati
gejala psikologi kaum yang beragama: ressentiment. Dalam kata ini terkandung
"paduan yang intens rasa iri, rasa terhina, dan tak
berdaya"—seperti dahulu, ketika para ulama Yahudi dikungkung hegemoni
Romawi.
Kini di kalangan ulama Islam ressentiment
itu juga menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah frustrasi. Mereka sadar tapi
tak mau mengakui bahwa apa yang disebut "Barat", yang sebenarnya
campuran yang hidup dari pelbagai anasir, tak henti-hentinya berada dalam hegemoni,
sementara dunia Islam tak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang berarti bagi
peradaban. Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring tapi tak
beroleh jalan ke luar, kecuali penghancuran.
Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas,
Indonesia bisa terbangun dari impian ramah 1945—atau cuma ketakutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar