400
Tahun untuk Ahok
Ahmad Syafii Maarif ; Pendiri
Maarif Institute
|
TEMPO.CO, 02 Desember
2016
Jika dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur
pidana dalam tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September
2016 itu, saya usulkan agar dia dihukum selama 400 tahun atas tuduhan
menghina Al-Quran, kitab suci umat Islam, sehingga pihak-pihak yang menuduh
terpuaskan tanpa batas. Biarlah generasi yang akan datang yang menilai berapa
bobot kebenaran tuduhan itu. Sebuah generasi yang diharapkan lebih stabil dan
lebih arif dalam membaca politik Indonesia yang sarat dengan dendam kesumat
ini.
Saya tidak tahu apakah di KUHP kita terdapat pasal tentang
rentang hukuman sekian ratus tahun itu. Jika tidak ada, ciptakan pasal itu
dan Ahok saya harapkan menyiapkan mental untuk menghadapi sistem pengadilan
Indonesia yang patuh pada tekanan massif pihak tertentu.
Di media sosial, dalam minggu-minggu terakhir yang panas ini
beredar kicauan bahwa, melalui Ahok, konglomerat "Sembilan Naga" akan
lebih leluasa menguasai ekonomi Indonesia yang memang sebagian besar sudah
berada dalam genggaman mereka. Benarkah demikian? Jawabannya: tidak salah,
tapi tidak perlu melalui Ahok yang mulutnya dinilai liar dan jalang itu,
karena prosesnya sudah berjalan puluhan tahun, jauh tersimpan dalam rahim
paruh kedua abad ke-20 setelah kekuasaan Bung Karno terempas karena salah
langkah dalam mengurus bangsa dan negara.
Tapi pihak manakah yang memberi fasilitas kepada para naga yang
jumlahnya bisa puluhan itu—bukan sebatas sembilan? Tidak sulit mencari
jawaban atas pertanyaan ini: fasilitatornya adalah penguasa dan pihak
perbankan Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Sekali lagi, sebagian
besar beragama Islam. Pihak-pihak inilah yang memberi surga kepada para naga
itu untuk menguasai dunia bisnis di negeri ini. Saya memasukkan para pihak
ini ke kategori bermental anak jajahan, sekalipun sering berteriak sebagai
patriot sejati.
Atau, mungkin juga, berbisnis dengan kalangan sendiri belum
tentu selalu taat janji, karena tidak jarang yang punya mental menerabas.
Serba sulit, memang. Tapi harus ada terobosan dari negara untuk mendidik
warganya ke arah pemberdayaan anak bangsa secara keseluruhan agar punya
mental manusia merdeka yang terampil berbisnis, bukan manusia hamba yang
lebih senang tetap menjadi wong cilik.
Karena itu, kita harus jujur kepada diri sendiri: mengapa mereka
yang mengaku sebagai warga negara tulen tidak punya mental kuat dengan
disiplin tinggi agar uang menjadi jinak di tangan mereka? Lihatlah pihak
sana, sekali memasuki dunia bisnis, perhatiannya 100 persen tercurah untuk
keperluan itu. Nilai inilah yang seharusnya kita ambil dari mereka. Jika
terpaksa jadi jongos dalam perusahaan teman kita ini, sifatnya mestilah
sementara, untuk kemudian semua kemahiran dagang mereka kita ambil alih.
Jangan tetap setia jadi jongos sampai ke liang kubur.
Semestinya pembenci Ahok tidak hanya mahir bermain secara
hiruk-pikuk di hilir lantaran buta peta, karena masalah utamanya berada di
hulu—setidak-tidaknya bisa ditelusuri sejak rezim Orde Baru. Selama masalah
besar dan utama ini dibiarkan berlanjut, jangan bermimpi kesenjangan sosial
yang masih menganga dapat dipertautkan. Dan, prahara sosial bisa muncul
setiap saat untuk meluluhlantakkan apa yang telah dibangun selama ini. Sikap
benci dan marah tanpa bersedia mengoreksi diri secara jujur dan berani,
sorak-sorai demo, akan berujung pada kesia-siaan. Apalagi, kabarnya,
kekerasan juga telah menjadi ladang usaha bagi sebagian orang yang punya
mentalitas duafa, sekalipun menikmati mobil super-mewah.
Tapi, Tuan dan Puan, jangan salah tafsir. Yang bermental
patriotik dan nasionalis dari kelompok etnis ini juga tidak kurang jumlahnya.
Saya punya teman dekat dari kalangan ini, sekalipun mereka belum tentu masuk
dalam barisan naga itu. Dan, naga itu pun tidak semuanya masuk dalam
lingkaran konglomerat hitam. Cinta teman dekat saya ini kepada tanah leluhur
sudah lama mereka tinggalkan dan tanggalkan. Tanah air mereka tunggal:
Indonesia! Mereka lahir dan berkubur di sini, sikap mereka tidak pernah
mendua.
Adalah sebuah angan-angan kosong sekiranya Ahok dijatuhi hukuman
selama 400 tahun, sementara mentalitas terjajah atau jongos tetap diidap
sebagian kita. Ujungnya hanya satu: kalah. Dan, kekalahan mendorong orang
menuju sikap kalap yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Maka, amatlah nista bila nama Tuhan disebut-sebut untuk membenarkan
mentalitas kalah dan kalap ini. Tanpa perbaikan mendasar dalam struktur
kejiwaan kita, maka ungkapan Bung Karno tentang bangsa kuli di antara
bangsa-bangsa bukan mustahil menjadi kenyataan. Ke depan, diperlukan otak
dingin dan kecerdasan spiritual tingkat tinggi untuk membenahi Indonesia.
Masalah bangsa ini sangat kompleks, tapi pasti ada solusinya, dengan syarat
kita semua masih punya akal sehat dan hati nurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar