Salah Kaprah Utang
Effnu Subiyanto ; Advisor CikalAFA-umbrella, direktur Koridor;
Kandidat
Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair Surabaya
|
JAWA POS, 01 Juni
2016
EKSTENSIFIKASI utang,
tampaknya, tetap dipertahankan sebagai kebijakan pada masa pemerintahan
Presiden Jokowi. Dampaknya, posisi utang terus-menerus meroket bagai deret
ukur, sedangkan kekuatan ekonomi nasional untuk membayar cicilan bunga
merangkak bagai deret hitung.
Pada 2010 total utang
mencapai Rp 1.681 triliun. Jumlah itu kemudian naik menjadi Rp 1.909 triliun
(2011), Rp 1.978 triliun (2012), Rp 2.375 triliun (2013), Rp 2.609 triliun
(2014), Rp 3.075 triliun (2015), dan akhirnya menembus Rp 3.279,28 triliun
(April 2016). Kenaikan utang akhir-akhir ini malah luar biasa karena mencapai
Rp 42,76 triliun dalam sebulan (Jawa Pos, 31 Mei 2016). Jika dibandingkan
dengan pendapatan ekspor rata-rata USD 11,16 miliar per bulan, utang
menggerogoti sampai 28,38 persen.
Surat utang pemerintah
dalam bentuk prefunding jumbo USD 3,5 miliar yang terbit awal Desember tahun
lalu ternyata tidak berakhir. Tahun ini sudah diluncurkan bentuk utang lain
dalam bentuk saving bond ritel (SBR) dan global sukuk yang semakin
memberatkan postur utang pemerintah.
Meski prefunding sudah direncanakan
dalam program global medium term notes (GMTN) RI senilai USD 40 miliar,
betapapun SUN seri RI0126 dan RI0146 masing-masing senilai USD 1,25 miliar
dan USD 2,25 miliar dengan tingkat imbal hasil 4,8 persen dan 6 persen sangat
ironis jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga The Fed yang baru saja
dinaikkan menjadi 0,5 persen.
Span yang terlalu lebar,
padahal kurs nilai tukar rupiah mengalami depresiasi total 9,38 persen
sepanjang tahun ini, menjadi beban generasi yang entah bagaimana cara
melunasinya. Kini setiap kepala penduduk Indonesia memiliki beban utang
minimal Rp 12,55 juta.
Mendiskusikan tingkat aman
berutang dengan menonjolkan rasio debt to GDP sebesar 27 persen sebetulnya
tidak relevan karena hal itu akan mendorong nafsu berutang. Rasio debt to GDP
Jepang memang 200 persen. Namun, harus diingat, perbandingan GDP Jepang
dengan GDP Indonesia adalah 5,18:1 karena Jepang tidak menjual barang hasil
alam mentah. Begitu pula tidak dapat dibandingkan dengan AS dengan rasio
utang 100 persen terhadap GDP hanya karena semata-mata untuk menjustifikasi
nafsu berutang.
Jika mau fair, pemerintah
seharusnya tidak menggunakan justifikasi debt to GDP melainkan harus
menggunakan indikator debt service ratio. Kini angka rasio pembayaran utang
dibanding pendapatan ekspor atau debt service ratio (DSR) itu sudah mencapai
50,33 persen, padahal target level DSR yang aman maksimal 30 persen.
Angka DSR Amerika Serikat,
misalnya, masih aman dengan 35 persen. Jepang masih 24,3 persen pada 2014.
Artinya, negara-negara pembanding tersebut masih memiliki power untuk
membayar cicilan utang dari sisa selisih ekspor jika dibandingkan impor. Hal
itu bisa menjadi solusi jangka pendek untuk membayar cicilan bunga utang.
Teknik mengendalikan utang
dengan cara hedging bukan solusi. Sebab, hedging itu tidak gratis. Biaya
hedging rata-rata 3 persen dan keuntungan tersebut tidak masuk ke kas negara.
Peraturan BI Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian
dalam Pengelolaan Utang LN Korporasi Nonbank hanya menguntungkan korporasi
bank. Dinaikkannya rasio lindung nilai menjadi 25 persen untuk aset valas
yang akan jatuh tempo 3-6 bulan ke depan dan rasio likuiditas menjadi 70
persen merupakan praktik yang tidak mendidik dalam rangka mengerem laju
utang. Kebijakan tersebut hanya solusi jangka pendek dan sama sekali tidak
menyelesaikan problem membelitnya utang secara substansial.
Mental
Kolonial
Masih bernafsunya berutang
pada era pemerintahan Presiden Jokowi menunjukkan bahwa semangat revolusi
mental belum bisa dikalahkan oleh mental kolonial yang membayangi birokrasi
Indonesia. Bisa saja berutang, namun serapannya harus dilaksanakan dengan
serius dan konsekuen. Serius jika dialokasikan untuk proyek infrastruktur,
benar-benar diwujudkan.
Sementara itu, jumlah
proyek yang terbengkalai dan salah urus juga belum diselesaikan. Saat ini
masih ada 37 proyek mangkrak senilai USD 11,3 miliar (Rp 147,3 triliun)
karena berbagai masalah, mulai pembebasan tanah sampai kesulitan keuangan dan
mangkrak sejak groundbreaking.
Hanya, ongkos commitment fee 2013
mencapai Rp 378 miliar, kemudian pada 2014 meningkat menjadi Rp 388,4 miliar,
lalu Januari-Mei 2015 sebesar Rp 160,9 miliar. Jadi, sejak 2013, besarnya
uang yang hangus mencapai Rp 927 miliar karena proyek-proyek mangkrak
tersebut.
Jika melihat sumber
masalah yang belum tegas diselesaikan, sebaiknya pemerintah meninjau ulang
hasrat berutang. Rencana utang 2016 sebesar Rp 75,091 triliun yang terdiri
atas Rp 36,83 triliun pinjaman program dan Rp 38,26 triliun pinjaman proyek
harus dijadwalkan ulang dan dipikir mendalam.
Dealing
center harus disiapkan, rencana proyek dimatangkan, pekerjaan
awal dirampungkan, dan seluruh negative list harus benar. Setelah itu,
barulah merealisasikan rencana utang dan pasti akan lebih baik karena utang
segera dimanfaatkan. Selama ini sudah kontrak utang dan bunga berjalan, namun
tidak membawa manfaat sama sekali karena proyeknya belum dapat dieksekusi.
Sebaiknya, jika belum siap dan sekadar digunakan untuk trial error, kebijakan
utang harus dimoratorium. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar