Ruang Kerja
Samuel Mulia ;
Penlis Kolom PARODI Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 05 Mei 2016
Seorang
penerima tamu di sebuah gedung perkantoran terlihat ogah-ogahan menyambut
saya di depan meja penerima tamu. Tetapi, bahasa tubuhnya itu mendadak berubah
menjadi begitu santun dengan senyum tersungging di bibirnya ketika saya
menyebut sebuah lantai.
Lantai
yang saya sebutkan itu adalah lantai di mana salah seorang konglomerat di
negeri ini dan pemilik gedung itu berkantor.
Kulkas
Tanpa
basa-basi, penerima tamu menyilakan saya melalui jalur pribadi, saya tak
perlu menyerahkan KTP seperti biasanya. Para petugas satpam yang mengantar
saya ke pintu lift yang khusus diperuntukkan untuk pemiliknya itu juga
berlaku sungguh santun.
Tetapi,
saya merasakan sebuah itikad baik yang dibuat-dibuat. Keramahan yang diajari,
bukan yang dari dalam hati. Keramahan yang diciptakan dari rasa takut. Dalam
waktu sekian detik, saya tiba di lantai yang tampaknya menakutkan untuk semua
pegawai itu.
Bahkan
saat saya menanyakan di mana lokasi kamar kecil, sikap pegawai di lantai itu
juga tak bedanya dengan penerima tamu dan pak satpam. Saya sampai merasa
bahwa saya juga harus buang air kecil dengan hati-hati dan dengan rasa takut.
Ruang
tunggu itu luas, dengan kemampuan menghitung saya yang gitu deh, ruang tunggu
itu kira-kira lebih luas dari tempat tinggal saya. Suasananya
"dingin" seperti di dalam kulkas, senyap dan terasa sangat
menghakimi. Ruangan itu seperti punya mulut dan bersuara, aku kaya dan kamu
miskin.
Itu
kali pertama saya merasa bahwa tidak hanya lidah manusia saja yang tak
bertulang, tetapi interior sebuah ruangan dan perniknya saja bisa sama
kejamnya dengan lidah tak bertulang itu. Saya tak berdaya melawan megah dan
dinginnya suasana.
Membayangkan
seperti apa manusia yang memiliki dan memilih interior yang menghakimi itu,
yang membuat semua karyawan tampak ketakutan dan melahirkan kesopanan yang
dibuat-buat. Maka, sambil menunggu giliran menghadap, saya mulai bertanya.
Tentu
kepada diri saya sendiri. Takut kalau bertanya sama tembok atau lukisan yang
ada di dinding, nanti keduanya menghinakan saya. Saya ini sudah dihina sama
manusia, ya... masa masih mau dihina sama tembok dan lukisan juga.
Raja KW1
Saya
bertanya karena saya penasaran. Bukan masalah selera yang saya tanyakan,
melainkan lebih pada memilih sebuah rancangan yang hasilnya bukan malah
membuat orang yang datang betah, tetapi berdecak sambil keder setengah mati.
Apakah
interior sebuah rumah atau kantor atau gedung secara langsung mencerminkan pemiliknya
yang sesungguhnya memang pongah? Atau malah mencerminkan kurangnya wibawa dan
kepercayaan diri, dan menggunakan interior semacam itu untuk mendongkrak?
Apakah
pagar yang megah seperti sebuah pagar istana, rumah yang berhektar luasnya,
ruang rapat dengan meja panjang seperti meja makan para raja-raja, lampu
kristal menggantung, tangga raksasa seperti dalam dongeng, merupakan sebuah
cermin bahwa kondisi jiwa pemiliknya haus akan semua itu?
Haus
menunjukkan kekayaan, haus diekspos di berbagai media, haus menjadi raja,
tetapi tak bisa jadi raja. Haus menjadi bangsawan, tetapi darahnya bukan
biru, dan mendadak biru karena usahanya yang melejit sehingga terlihat macam
orang kaya baru.
Atau
sebaliknya, yang dipertontonkan itu sebuah hasil dari kehidupan spiritual
yang mengagumkan? Sehingga kemewahan yang dingin dan menakutkan itu secara
ironis adalah sebuah cermin kehidupan spiritual yang patut dijadikan contoh?
Apakah
ruang mewah itu juga sebagai sebuah alat menunjukkan kepada rekan bisnis,
calon rekan bisnis, bahwa kalau mereka bekerja sama, mereka ada di tangan
yang mapan? Jadi, bangunan dan interior di dalamnya dimanfaatkan sebagai alat
bantu meyakinkan manusia lain. Kalaupun demikian, apakah perlu sampai
menakutkan dan begitu dinginnya?
Apakah
mampu membuat orang keder itu adalah cara meyakinkan yang baru? Sepulang dari
kunjungan penuh kekederan itu, untuk pertama kalinya saya tidak iri. Saya
tidak iri untuk memiliki kantor dengan interior macam istana raja.
Saya
tak iri untuk menunjukkan wibawa atau meningkatkan kepercayaan diri melalui
jalan menjadi raja KW1 atau bangsawan berdarah merah. Saya berniat kalau
suatu hari saya bisa koaya roaya, interior ruang kerja saya bisa jadi terbuat
dari material yang berkualitas, tetapi itu bukan yang terpenting. Yang nomor
satu adalah hasil dari rancangan ruang itu harus mampu membuat siapa pun yang
datang merasa betah.
Sebuah
gedung dengan interiornya yang mampu melahirkan keterikatan emosi yang baik
dan tidak melahirkan kekederan. Seperti saya keder untuk buang air kecil di
lantai yang saya sebutkan di atas.
Saya
harus melalui satu pintu, dan setelah melalui pintu itu, saya masih
dihadapkan dengan tiga pintu yang harus saya tebak, yang manakah yang benar
untuk tempat pembuangan air yang katanya seni itu.
Saya
ingin memiliki karyawan yang tidak pura-pura ramah dan yang tidak menghiasi
hari-hari mereka di kantor saya dengan senyum mereka yang lahir karena
diperintahkan dan lahir dari sebuah rasa takut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar