Religiositas ”Bung Besar”
Asep Salahudin ;
Dekan Fakultas Syariah IAILM
Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Dosen LB di Fakultas Seni dan Sastra
Universitas Pasundan Bandung
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Juni
adalah bulan kelahiran Pancasila. Di tangan Bung Karno sebagai penggalinya, Pancasila
mendapatkan rohnya yang paripurna.
Tentang
hal ini tentu telah mendapatkan telaah memadai. Satu hal yang sering
dilupakan adalah kenyataan bahwa Bung Karno merupakanpribadi yang sangat
religius dengan pemikiran keagamaan unik yang menarik dijadikan bahan
renungan bersama justru di tengah pemikiran dan tindakan keagamaan
akhir-akhiryangbanyak bertentangan dengan akal sehat.
Dua
hal menjadi lokus nalar keagamaan Bung Besar itu. Pertama,kewajiban
menjadikan akal sebagai daulat utama; kedua, keniscayaan memosisikan agama
sebagai kekuatan untuk membangun kesadaran anti kolonial.
Imperatif
yang pertama, segala bentuk kepatuhan tak beralasan (taklid) tidak saja harus
disingkirkan, tetapi juga dipandang sebagai akar kemunduran. Pemuliaan
terhadapakal harus menjadi bagiankeinsafan kolektif umat Islam seperti
zamanAl-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang sering disebut abad keemasan.
”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu
satu takhayul.”
Teologi
Bung Karno berporos pada perayaan kebebasan berpikir, memandang wahyu sekadar
medan konfirmasi kebenaran pikir. Semacam mutazilah. Mendayagunakan akal
secara optimal sebagai lambang keluhurankemanusiaan sekaligus ekspresi
mensyukuri anugerah Tuhan. Akal penanda kebudayaan, jangkar peradaban. Atau
dalam sila kelima usulannya, ”Ketuhanan yang berkebudayaan”.
Bagi
Bung Karno, akal itu pandu kemajuan dan jiwa Islam adalah agama kemajuan.
Sebagaimana dibilang dalam ”Surat-surat Islam dari Endeh”, ”Islam is
progress”. Dalam semangat rasionalisme seperti ini, ”api” Islam diletakkan.
Di luar itu dipandang sekadar ”abu”.
Justru
abu ini dalam pandangannya yang mendominasi alam pikir dan tindakan umat,
mereka lebih senang mengedepankan sesuatu yang artifisial ketimbang
substansial, bergerak mendahulukan ”ujaran masa silam” ketimbang
mengedepankan gagasan untuk menata kehidupan masa yang akan datang yang
menjulang. Abu sebagaialasan Islamkemudian menjadi sontoloyo, menjadi residu
kehidupan.
Tiga
susulan sebagairembesan dari abu keagamaan itu biasanya diwujudkan dalam
bentuk: (1)merebaknya puritanisme dan eksklusivisme sehinggamudah menebarkan
stigma ”kafir” kepada liyan. Yang berbeda keyakinan dianggap keliru, dan yang
tidak sama hujjah keagamaannya dipandang menyesatkan. Kebenaran menjadi
berwajah homogen dan pendakuan tak lagi terhindarkan.
Kemudian,
(2) kekeliruan dalam membaca inti sejarah. Mempelajari sejarah bukan
dijadikan rute melakukan pembebasan, tetapi sekadar nostalgia dan gerak
mengenang masa lalu untuk kemudian ditahbiskannya sebagai contoh ideal yang
semestinya diartikulasikan dalam kehidupan sekarang dan ke depan.
Persoalan
hari ini dicarikan jawabannya pada pesona gerak arkaik masa silam. Maka, Bung
Karno dengan nyinyir menyebut fantasi politik kilafah tak lebih hanya
sebagaiwujud kebuntuan berpikir umat Islam .
Selanjutnya,
(3) terkerangkeng dalam dominasi berpikir fikih oriented. Tersekap fikih Abad
Pertengahan yang serba hitam putih, skolastik dan hanya bertendensi
menyelesaikan persoalan lewat ilusi metafisik. Fikih yang semestinya bersifat
temporal dan lokal malah ”disakralkan” sehingga daya kuasanya menjadi
melampaui ruang dan waktu. ”Fikih itu, walaupun sudah kita saring
semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi
syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid,
akhlak, kebaktian rohani, kepada Allah.”
Bahkan
disebutnya fikih sebagai biang kerok yang menjadi hijab tertutupnya
pesan-pesan keluhuran Al Quran. ”Dunia Islam sekarang ini setengah mati,
tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam dalam kitab
fikihnya saja, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya
Levend Geloof, yakni udara-udaranya agama yang hidup.”
Di
persimpangan ini, dengan telak pula dikritiknya Bukhari-Muslim, dua kolektor
hadis berwibawa, sebagai bagian yang harus bertanggung jawab atas kemunduran
itu karena seringnya menghimpun hadis-hadis yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan elan vital kemajuan. ”Saya perlu kepada Bukhari atau
Muslim itu karena di situlah dihimpun hadis-hadis sahih.”
Meski
dari keterangan salah seorang pengamat Islam bangsa Inggris, di Bukhari pun
masih terselip hadis-hadis yang lemah. Dia pun menerangkan bahwa kemunduran
Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam banyaklah
karena hadis-hadis lemah itu yang sering lebih laku daripada ayat-ayat Al
Quran. Saya kira anggapan ini adalah benar.”
Modernisme
yang salah satunya dicirikan rasionalisme bagi Bung Karno juga harus diterapkan
dalam pemaknaan keagamaan. Pengalaman Barat yanglama lesap dalam kegelapan,
mereka menemukan kunci kemajuannya dalam manhaj berpikir rasional dan jejak
seperti ini mesti ditiru masyarakat yang berada dalam kemunduran.
Anti kolonial
Di
sisi lain, karena bangsa yang ditempatinya masih terpuruk dan menjadi bagian
dari bumi jajahan Hindia Belanda, agama yang dipikirkan Bung Karno pada saat
yang sama harusmampu memompa semangat umatnya untuk melakukan perlawanan
terhadap kolonial.
Di
titik ini, Bung Karno dan Tan Malaka merasa tidak ada persoalan dengan
gagasan pan islamisme-nya Jamaludin al-Afgani yang sama-sama mengusung tema
besar meniru Barat sekaligus melucuti sikap kolonialnya.
Tentu
saja bagi Bung Karno danmanusia pergerakan lainnya untuk melakukan perubahan
sosial, agama saja tidak cukup, harus ada sikap lapang menerima ideologi lain
yang telah terbukti bisa diandalkan mempercepat terusirnya kaum kolonial.
Di
titik ini sejak awal Soekarno menyerukan perkawinannasionalisme, Islam dan
Marxisme(1926). Sumpah Pemuda (1928) pada titik tertentu melambangkan imaji
kebangsaan yang melampaui fanatisme etnik dan keagamaan. Tubuh keindonesiaan
yang diikat dalam kesatuan bangsa, bahasa, dan tanah air.
Kalau
kita perhatikan, tema ”nasionalisme, Islam dan Marxisme” yang pertamakali
disosialisasikannya dalam Klub Studi Umum Bandung sesungguhnya yang menjadi
obsesi politik Bung Karno sepanjang masanya. Secara politis disampaikannya di
ruang publik, pamflet, garis besar perjuangan partai (PNI dan Pertindo), dan juga
di panggung pengadilan seperti terbaca dalam ”Indonesia Menggugat”(1930).
Maka,
tak heran pada Juni 1945 saatsidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai dasar
negara. Napas seperti ini sejatinya yang menjadi latar Bung Karno dalam
Konferensi Asia Afrika (1955) menyerukan tata dunia nondiskriminatif,
melampaui sentimentalisme sempit, mengeluarkan Dekrit Presiden (1959)
sekaligus memperkenalkan GBHN yang meliputi: UUD 1945, sosialisme Indonesia,
demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia (USDEK).
Sikap
politiknya yang ”revolusioner”, melompat-lompat, zigzag ini juga, dan semakin
terkonsentrasi dalam genggaman satu orang, demokrasi terpimpin (1957), pada
akhirnya dalam sebuah era ketika ekonomi tak kian membaik, konspirasi negara
luar yang kental, intrik elite dan pergesekan antarpartai yang semakin
memanas, pada akhirnya berujung pada penolakan MPRS dan DPRGR (1967) sebagai
pertanggungjawaban presiden.
Nawaksara
ditampik dan Supersemar lekas menyalip. Soeharto dengan cerdik (dan licik)
memanfaatkan situasi sengkarut politik itu untuk kepentingannya. Akhirnya, di
zaman Orde Baru selama tiga puluh tahun hidup dalam kondisi darurat.
Politik
kehilangan akal sehat, agama dihilangkan elan sosialnya dan ekonomi direduksi
sebatas grafik angka. Nomenklatur ”warga negara” kehilangan otentisitas
rujukan kultural dan ideologisnya. Negara hilang dan warga terantuk jejaknya
dalam lorong gelap kebangsaan dan tak henti sampai hari ini bersengketa
tentang ”kebenaran” peristiwa 1965 yang sudah lama digelapkan pemerintahan
yang gelap mata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar