Kegetiran Sejarah Kesadaran Nasionalisme
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Apa
yang akan terjadi kalau Tiongkok tidak mematuhi temuan pengadilan arbitrase
internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, yang akan diumumkan bulan ini.
Perkembangan klaim tumpang tindih di Laut Selatan berkembang seolah-olah
menjadi persaingan pengaruh antara AS-RRT, perubahan arsitektur keamanan
Asia, serta kemunculan baru bentuk geopolitik dan geostrategi kawasan dalam
dunia multipolar.
Kita
melihat ketegangan dan ”tunjuk hidung” antara Washington dan sekutunya di
satu sisi maupun Beijing di sisi lain sebagai negara besar yang ”kesepian” di
bawah sorotan internasional. Mendadak, anggaran belanja pertahanan Asia
meningkat drastis dari sekitar 435 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 533
miliar dollar AS pada 2020 mendatang.
Bersamaan
dengan rencana pengumuman PCA, beberapa perubahan politik domestik terjadi di
Filipina dengan terpilihnya Rodrigo Duterte. Di Washington tahun ini Presiden
Barack Obama akan mengakhiri masa kepresidenannya dan akan memilih presiden
baru menjelang akhir tahun.
Dalam
skala luas, pertikaian pengaruh dan klaim kedaulatan di Laut Selatan sebagai
alur laut komunikasi bernilai sekitar 5 triliun dollar AS, harus dilihat
sebagai pilihan menjunjung atau menentang nilai dan norma hukum internasional
sebagai acuan penting stabilitas dan perdamaian kawasan. Terminologi ”might make right” menjadi ancaman
berlakunya hukum rimba di Asia.
Pertanyaannya
adalah apakah para penguasa di Beijing tidak percaya pada nilai dan norma
hukum internasional? Selama dua dekade terakhir, keterkaitan ekonomi RRT
secara regional dan global sangat erat keterkaitannya pada hukum
internasional seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) maupun kedalaman
keterlibatan para bankir investasi AS dalam eksplorasi potensi ekonomi dan
keuangan Tiongkok.
Kenyataan
yang berkembang menunjukkan adanya jurang kekuatan politik yang besar antara
Beijing dan negara-negara di luar daratan Tiongkok. Persepsi kuatnya
nasionalisme RRT tecermin dalam berbagai pernyataan seperti ”hak sejarah”
atau ”wilayah tradisional” pada persoalan keseluruhan Laut Selatan.
Ada
beberapa faktor yang menjelaskan ”keras kepalanya” Beijing dalam kemasan
nasionalisme. Pertama, secara jelas dan tegas Beijing menolak tata nilai dan
norma hukum internasional yang selama beberapa abad mengelola dunia. Dalam
pandangan RRT, tata pengelolaan dunia tidak adil dan menjadi cermin masa
”penghinaan” negara Barat yang memecah belah dan menjajah Tiongkok sejak masa
Perang Candu (1839-1842 dan 1856-1860), memaksakan perjanjian internasional
(khususnya Inggris dan Perancis) yang tidak adil dan tidak seimbang.
Kedua,
kesadaran nasionalisme dalam bentuk Chinaisme menjadi konsep kebangsaan
dengan resonansi kebudayaan maupun elemen produktif budaya nasional yang
berkembang selama ribuan tahun. Pepatah wo
xing chang dan (ungkapan tentang kebangkitan) adalah warisan cerita
kesulitan diri, memperkuat diri serta tekad ambisi Kaisar Guo Jian dari
negeri Yue pada periode Musim Semi dan Gugur (770-467 SM).
Kegetiran
sejarah dan kesadaran nasionalisme jadi pendorong kuat penolakan Tiongkok
atas UNCLOS sebagai rumusan aturan global tentang domain kekuasaan dan
kekuatan maritim. Ada tatanan global politik, ekonomi, dan keamanan yang
ingin dibentuk untuk bisa merepresentasikan kekuatan, kekayaan, dan warisan
peradaban dan budaya Tiongkok. Ini yang mendorong terbentuknya Bank Investasi
Infrastruktur Asia (AIIB), misalnya, termasuk penolakan atas keputusan PCA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar