Reformasi Pendidikan Vokasi
Amich Alhumami ;
PhD Bidang Antropologi Lulusan
University of Sussex, Inggris; Bekerja di Direktorat Pendidikan Kementerian
PPN/Bappenas
|
KOMPAS, 15 Juni
2016
Debat mengenai
signifikansi pendidikan vokasi dalam upaya meningkatkan keterampilan dan
keahlian bagi penduduk usia muda produktif sudah berlangsung bilangan dekade.
Pendidikan vokasi menjadi isu penting dalam wacana publik di berbagai belahan
dunia.
Merujuk banyak
literatur ekonomi pendidikan, pokok perdebatan berpangkal pada pemikiran
pragmatis dalam pembangunan ekonomi. Banyak kalangan meyakini, untuk
meningkatkan produktivitas bangsa diperlukan pasokan tenaga kerja terampil
dan ahli, yang bekerja di sektor- sektor utama penggerak perekonomian
nasional. Karena itu, pendidikan vokasi menjadi pilihan praktis guna
membekali penduduk usia muda produktif mengenai pengetahuan know-how, suatu kemahiran teknis yang
diperlukan di dunia kerja.
Pertanyaan pokok
Paling kurang ada tiga
pertanyaan pokok yang relevan diajukan. Pertama, apakah pendidikan vokasi
merupakan instrumen efektif untuk meningkatkan kompetensi profesional dan
keterampilan teknikal tenaga kerja? Kedua, bagaimana desain ideal pendidikan
vokasi agar dapat menjadi alternatif bagi siapa saja yang lebih memilih
langsung bekerja dan tidak ingin menempuh pendidikan akademik di perguruan
tinggi? Ketiga, apakah pendidikan vokasi berperan signifikan dalam upaya
mengatasi pengangguran?
Di Indonesia,
pendidikan vokasi mengambil tiga bentuk kelembagaan formal dan satu
nonformal: (i) sekolah menengah kejuruan (SMK); (ii) politeknik; (iii) akademi komunitas; dan
(iv) balai latihan kerja (BLK).
Mengingat keterbatasan ruang, artikel ini hanya mengulas pendidikan
vokasi di SMK saja.
Pendidikan vokasi
dalam bentuk SMK, yang mulai digalakkan dalam beberapa tahun terakhir, perlu
dicermati saksama dan ditimbang kelayakannya berdasarkan analisis dan argumen
ilmiah. Analisis akademik perlu dibuat agar kita terhindar dari kekeliruan
dalam mengambil keputusan, terutama ketika muncul pemikiran untuk mengubah
proporsi SMK dan SMA masing-masing sebanyak 70 persen dan 30 persen. Dalam
konteks pembangunan pendidikan, kebijakan ini perlu dikaji serius dengan
pertimbangan matang karena akan berdampak luas. Bukan saja dalam hal investasi
untuk pendidikan kejuruan, tetapi juga masa depan lulusan-lulusan SMK yang
dikaitkan dengan tingkat kebekerjaan mereka.
Kita dapat memaklumi
motivasi para pemangku kepentingan untuk meningkatkan pengetahuan know-how, keahlian, dan keterampilan
angkatan kerja melalui pendidikan vokasi. Namun, upaya mengubah proporsi SMK
70 persen dan SMA 30 persen adalah pilihan kebijakan yang kurang tepat.
Kebijakan ini juga tak menjawab problem mendasar tenaga kerja, yang dianggap
kurang terampil dan tidak punya keahlian.
Berikut sejumlah
masalah pokok SMK yang sudah berkarat-menahun, tetapi luput dari perhatian
masyarakat dan tidak menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan publik.
Pertama, kemampuan
akademik anak-anak SMK tidak sebaik mereka yang menempuh pendidikan di SMA.
Ini ditandai hasil ujian nasional siswa SMK, dengan rata-rata nilai lebih
rendah dibandingkan SMA. Data 2014/2015 menunjukkan, perbedaan nilai ujian
untuk tiga mata pelajaran pokok sangat mencolok, yaitu: (i) Matematika 48,24
(SMK), 59,72 (SMA-IPA), 56,06 (SMA-IPS); (ii) Bahasa Indonesia 65,45 (SMK),
75,57 (SMA-IPA), 67,48 (SMA-IPS); dan (iii) Bahasa Inggris 55,30 (SMK), 66,34
(SMA-IPA), 59,09 (SMA-IPS).
Fakta ini pula yang
menjelaskan mengapa persentase lulusan SMK lebih sedikit diterima di
perguruan tinggi, yang mensyaratkan kemampuan akademik tinggi. Pada 1990
capaian akademik siswa SMK tertinggal 2,6 poin dari murid SMA, dan jarak
ketertinggalan mereka kian menjauh jadi 6,9 poin pada 2000. Sampai saat ini,
kondisi SMK tetap sama, mengingat tak ada ikhtiar peningkatan mutu dan upaya
perbaikan tata kelola yang cukup berarti.
Sebenarnya ini bukan
gejala khas Indonesia, tetapi sudah jadi fenomena umum di banyak negara di
dunia, sebagaimana dikonfirmasi melalui studi-studi yang dilakukan oleh
banyak ahli ekonomi pendidikan (George
Psacharopoulos 1997; Shyamal Majumdar 2009 & 2011; Jorgen Billetoft 2011).
Kedua, pendidikan
vokasi di SMK juga lemah karena kurang didukung sarana-prasarana dan
fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga berdampak pada kualitas lulusan.
Tak heran, lulusan SMK juga dipersepsi kurang baik oleh para pemberi kerja,
yang diukur melalui kinerja di tempat kerja. Hasil studi Bank Dunia, Skills for the Labor Market in Indonesia
(2012), menunjukkan, tingkat kepuasan pemberi kerja terhadap lulusan SMK
tergolong rendah. Beberapa aspek penting yang dianggap menjadi kelemahan
mendasar SMK, yang menyebabkan kualitas lulusannya tidak sebaik mutu lulusan
SMA, adalah: (i) ketersediaan fasilitas pendidikan (29 persen); (ii) kualitas
pengajaran dan proses pembelajaran (23 persen); (iii) keterampilan khusus (13
persen); (iv) kurikulum (9 persen); dan (v) relevansi (8 persen).
Ketiga, aspek
keterampilan dan keahlian seharusnya menjadi keunggulan pendidikan vokasi di
SMK. Namun, rancangan kurikulum dan program studi yang mencerminkan kekuatan
kedua hal tersebut justru dinilai tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan
industri dan pasar kerja. Karena itu, tidak heran bila tingkat pengangguran
di kalangan lulusan SMK justru lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA,
masing-masing 9,1 persen dan 8,2 persen (Sakernas-BPS 2015). Selain itu,
industri juga lebih menyukai lulusan SMA karena dianggap lebih mumpuni dalam
hal cognitive skills, meskipun mereka pada mulanya belum memiliki
keterampilan khusus dan keahlian teknis. Dengan cognitive skills lebih tinggi, lulusan SMA justru lebih mampu
beradaptasi dengan dunia kerja; dan perusahaan-juga industri-lebih mudah
memberi pelatihan sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi profesional
dan kemahiran yang diperlukan.
Keempat, pendidikan
vokasi di SMK kekurangan guru produktif-dalam istilah standar disebut professional and technical teacher-menurut
bidang ilmu dan program studi yang dikembangkan. Tak pelak, banyak guru SMK
yang mengajar tak sesuai bidang keahlian yang dimiliki sehingga proses
pembelajaran tidak efektif (baca: tidak bermutu). Bahkan lembaga pendidikan
tenaga kependidikan pun tidak mampu memenuhi permintaan SMK untuk mendidik
guru-guru produktif yang berkualitas. Namun, kekurangan guru produktif ini
sebenarnya dapat diatasi melalui kerja sama dengan industri, yang punya
banyak sumber daya (instruktur, pelatih) untuk mengajar di SMK apabila
kemitraan antara keduanya terjalin baik.
Reformasi menyeluruh
Dengan melihat peta
masalah di atas, bagi pemerintah tidak ada pilihan lain kecuali melakukan
reformasi pendidikan vokasi secara menyeluruh. Reformasi dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan vokasi, yang dapat ditempuh melalui
penyediaan guru-guru berkompeten serta pembangunan sarana-prasarana
pendidikan yang memadai. Selain itu, pembaruan kurikulum juga harus dilakukan
agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan sesuai kebutuhan industri.
Pembaruan kurikulum
harus memuat tiga hal esensial yang terkait langsung dengan proses
pembelajaran, yaitu: (i) penguatan mata pelajaran pokok (Matematika, sains,
bahasa); (ii) peningkatan kecerdasan kognitif (berpikir kritis, daya
analisis); dan (iii) peningkatan kecakapan sosial (komunikasi, kepemimpinan
dan organisasi, penyelesaian masalah, kerja kelompok).
Pendidikan vokasi
punya signifikansi tinggi bila lulusannya terserap di pasar kerja dan
diterima di industri. Untuk itu, harus dibangun kemitraan strategis dan kerja
sama kelembagaan antara SMK dan industri, terutama melalui program magang.
Pendidikan vokasi di SMK tak akan pernah berhasil bila tak ada dukungan
dari-dan kerja sama dengan-industri sebagai penyedia pekerjaan bagi lulusan
SMK. Selama ini, penyelenggaraan pendidikan vokasi di SMK lebih menekankan
dimensi supply side (pasokan lulusan) dan kurang menimbang dimensi demand
side (kebutuhan industri).
Penyelenggaraan
pendidikan vokasi di belahan dunia mana pun harus terintegrasi dengan
industri, terutama dalam konteks pengembangan kurikulum, penyediaan tenaga
pengajar, dan penawaran internship programs. Reformasi pendidikan vokasi
dengan cakupan dan substansi demikian jauh lebih bermakna dibandingkan
sekadar mengubah proporsi SMK-SMA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar