Pergulatan Politik Pancasila
Asvi Warman Adam ;
Sejarawan LIPI
|
KOMPAS, 01 Juni 2016
Tulisan Anhar
Gonggong, ”Genealogi Pancasila”
(Kompas, 23/5/2016), mengungkapkan bahwa Soekarno berperan utama dalam proses
kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, sampai pengesahannya pada 18 Agustus 1945.
Yang belum dikemukakan dalam artikel tersebut adalah perkembangan Pancasila
sejak awal sampai sekarang.
Sejak pertama kali
digagas tahun 1945, sejarah Pancasila dapat dibagi atas empat fase melewati
beberapa pemerintahan. Periode pertama adalah saat penciptaan, fase kedua
merupakan masa perdebatan, pada gelombang ketiga dilakukan rekayasa,
sedangkan dalam periode keempat terjadi penemuan kembali. Tanggal 1 Juni 1945
Soekarno berpidato di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menjawab pertanyaan ketua sidang Radjiman
Wedyodiningrat tentang dasar negara. Pidato Soekarno disambut hangat dengan
tepukan sangat meriah.
Pada rapat 22 Juni
1945, Tim Sembilan yang diketuai Soekarno mencantumkan tujuh kata ”dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan
Pembukaan UUD 1945. Namun, menjelang proklamasi kemerdekaan, Hatta menerima
pesan dari masyarakat Indonesia bagian timur yang menolak masuk Indonesia
apabila pernyataan itu dipertahankan. Hatta kemudian merundingkannya,
terutama dengan tokoh Islam.
Akhirnya, dalam UUD
1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, persoalan syariat itu tidak
dimasukkan, sedangkan sila pertama dilengkapi menjadi Ketuhanan Yang Maha
Esa. Oleh bapak-bapak pendiri negara, Pancasila yang menjadi bagian dari
pembukaan tidak dituliskan sesuai dengan urutan dan rumusan tertanggal 1 Juni
1945, tetapi mengalami penyesuaian seperti yang kita kenal sekarang.
Masa perdebatan terjadi pada Konstituante yang terbentuk
setelah Pemilihan Umum 1955 yang bertujuan merancang UUD. Ketika itu
diperdebatkan apakah Pancasila sebagai dasar negara atau ideologi lain? Para
tokoh Islam, seperti M Natsir dan Buya Hamka, dengan tegas mengajukan Islam
sebagai pilihan.
Para tokoh itu berdebat dengan sengit walaupun
disampaikan secara tertib. Partai-partai Islam mendukung Islam sebagai dasar negara.
Sementara partai-partai nasionalis dan komunis mempertahankan Pancasila.
Murba mendukung ideologi ”sosial-ekonomi”. Tak
ada pihak yang mencapai dua-pertiga (2/3) jumlah suara sehingga keputusan
tidak dapat diambil. Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Berarti yang
diakui adalah Pancasila sebagai tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang
disahkan pada 18 Agustus 1945.
Dari rekayasa sampai penemuan kembali
Pada masa pemerintahan
Soeharto, Pancasila dijadikan asas tunggal untuk partai dan organisasi
masyarakat. Awalnya ditentang berbagai organisasi, tetapi pada akhirnya
mereka tidak mempunyai pilihan lain. Sejak 1 Juni 1970, peringatan hari lahir
Pancasila dilarang Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban alias Kopkamtib.
Jasa Soekarno yang
pertama kali menggagas Pancasila direduksi dengan menciptakan narasi sejarah
baru: bahwa ada orang lain yang berpidato sebelum Bung Karno di sidang
BPUPKI, dan yang otentik memang pengesahan Pancasila pada 18 Agustus 1945.
Disebutkan bahwa M
Yamin telah berpidato sebelum Soekarno (29 Mei 1945). Di dalam buku tipis
Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila
yang Otentik (terbit tahun 1971), dikemukakan rumusan Yamin, yakni: (1)
Peri-Kebangsaan; (2) Peri-Kemanusiaan; (3) Peri-Ketuhanan; (4)
Peri-Kerakyatan; dan (5) Kesejahteraan Rakyat.
Belum puas dengan
mendahulukan Yamin dari Soekarno, tahun 1981 (Nugroho Notosusanto, Proses
Perumusan Pancasila Dasar Negara, 1981) dibuat lagi rekayasa tambahan dengan
menampilkan rumusan Pancasila ala Supomo, yang terdiri atas: (1) Persatuan;
(2) Kekeluargaan; (3) Keseimbangan Lahir dan Batin; (4) Musyawarah; dan (5)
Keadilan Rakyat. Pidato Supomo pada 31 Mei 1945 itu sebetulnya membahas
syarat-syarat berdirinya sebuah negara, yakni adanya wilayah, rakyat, dan
pemerintahan, bukan tentang dasar negara.
Pada buku-buku sejarah
yang digunakan di sekolah diajarkan bahwa Pancasila merupakan karya seluruh
bangsa Indonesia sejak dari zaman purbakala sampai sekarang. Upaya Nugroho
Notosusanto itu ditolak oleh Panitia Lima (Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, AA
Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo), tetapi penolakan tersebut tidak
digubris pemerintah Orde Baru. Pada 13 April 1968 dikeluarkan keputusan
presiden tentang rumusan resmi Pancasila.
TAP MPR tentang
Penataran Pancasila dikeluarkan tahun 1978. Ideologi ini dikampanyekan secara
nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang
dari level direktur jenderal departemen sampai tingkat RT dengan memakai
anggaran negara. Dalam tempo 10 tahun telah ditatar sebanyak 72 juta warga
negara. Hasilnya tidak jelas.
Istilah Pancasila
melebar sampai ada kesaktian Pancasila, sepak bola Pancasila, dan es campur
Pancasila. Namun, Pancasila yang diajarkan sudah direduksi jadi sekian butir
sifat yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi
kelompok yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur atau dibeli murah
dicap ”tidak Pancasilais”.
Pada awal Reformasi,
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP7) dibubarkan, sedangkan penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dihapuskan.
Walaupun pada mulanya
ada rasa bosan dan jenuh terhadap penataran/ slogan Pancasila yang selalu
dikumandangkan rezim Orde Baru, kemudian muncul kerinduan kembali pada
ideologi ini. Suasana kesulitan ekonomi yang dibayangi ancaman perpecahan
mengakibatkan masyarakat menengok kembali pada sesuatu yang bisa menjadi
perekat bangsa. Yang tepat untuk itu adalah Pancasila sebagaimana terbukti
dalam sejarah.
Dari empat gelombang
tersebut, terlihat konflik dan konsensus masyarakat mengenai Pancasila. Kalau
kita sudah bersepakat Pancasila dapat dijadikan alat pemersatu, mengapa masih
mencari yang lain?
Hal itu hanya akan
menimbulkan konflik baru. Lebih baik perdebatan diarahkan bagaimana
mengimplementasikan tiap sila dalam menghadapi masalah internal dan eksternal
kita sebagai bangsa dan negara sesuai perkembangan zaman. Sementara itu,
pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi agar dilaksanakan dengan
metode dan substansi lebih menyegarkan dan diajarkan secara dialogis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar