Pancasila dan Konstelasi Dunia
Budiman Sudjatmiko ;
Anggota Fraksi PDI Perjuangan
DPR
|
KOMPAS, 01 Juni 2016
Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat
manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang
menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa-lampau, sehingga kita
bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan.
(Bung Karno, dalam pidato ”To
Build the World Anew” di muka Sidang Umum PBB, 1960)
Yang membedakan tokoh
besar dengan orang biasa hanyalah mimpi dan usahanya. Bagi Soekarno
membebaskan Indonesia dari penjajahan tidaklah cukup. Dia ingin memerdekakan
dunia. Dia adalah nasionalis dan internasionalis terbesar yang pernah
dimiliki bangsa ini.
Di Sidang Umum PBB, 30
September 1960, Soekarno menuntut diakhirinya imperialisme dan kolonialisme.
Dunia yang baru hanya mungkin dibangun di atas fondasi kemerdekaan bagi semua
bangsa. Sebuah seruan yang sangat berani dari negara yang baru 15 tahun
merdeka. Namun, itulah suara zaman. Puluhan negara baru bermunculan dalam
peta dunia bak jamur di musim hujan. Antara Januari hingga Desember 1960 saja
terdapat 17 negara sub-Sahara Afrika yang berhasil meraih kemerdekaannya.
Dunia memasuki zaman kebangkitan bangsa. Era imperium lama kini telah runtuh.
Pada saat yang sama
dunia memasuki era pertarungan ideologi, yang disertai ancaman bahaya perang
nuklir. Bangsa-bangsa yang baru lahir tersebut terancam menjadi korban
permainan berbahaya negara-negara adikuasa. Atas nama 92 juta rakyat Indonesia
dan ratusan juta penduduk Asia dan Afrika, Soekarno meminta PBB menjadikan
Pancasila sebagai sistem etik. Ia menawarkan dunia di mana Liberalisme dan
Marxisme serta Nasionalisme dan Internasionalisme dapat duduk berdampingan
dalam kerangka sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme.
Dunia merupakan sebuah
kolektivitas global yang terintegrasi dan saling bergantung satu sama lain.
Ia dapat dipahami sebagai organisme biologis. Setiap bagian memiliki fungsi
yang berbeda. Namun, setiap bagian itu memiliki kontribusi bagi kesehatan
organisme secara keseluruhan. Untuk itu, dibutuhkan sebuah kerangka etis
universal yang memungkinkan ”sistem imun” bekerja, mencegah sel-sel yang
normal berubah menjadi sel kanker yang berbahaya. Dalam kerangka inilah Bung
Karno menawarkan Pancasila kepada dunia.
Seruan Soekarno
memiliki pijakan yang sangat kuat, walau mungkin bergerak jauh melampaui
zamannya. Namun, ia tetap relevan dan strategis untuk diserukan kembali.
Kebangkitan kebangsaan baru
Era perang ideologi
sudah selesai. Keruntuhan Uni Soviet pada akhir 1991 telah mengakhiri
eksperimen raksasa ideologi komunis. Demikian pula dengan Partai Komunis
Tiongkok yang sejak program modernisasi oleh Deng Xiaoping pada akhir dekade
1970-an tidak lagi mendasarkan legitimasinya semata-mata pada kekuatan
ideologi. Kredibilitas pemerintahan di kedua negara tersebut sekarang praktis
bergantung kepada kinerja ekonomi dan kebijakan politik yang semakin
berorientasi kebangsaan.
Tren yang sama juga
terbaca melalui data empiris N-gram ideologi, yang bersumber dari 5,2 juta
buku yang ada dalam koleksi Google (Bandung
Fe Institute, 2016).Tren penggunaan kata ”Marxism”, dalam buku-buku
berbahasa Inggris yang terbit dalam 200 tahun terakhir, mencapai puncaknya
pada 1982. Namun, pada dekade pertama abad ke-21, diskursus ideologi ini
menurun. Ia hanya tersisa 50 persen dari popularitas puncaknya. Demikian pula
tren kata ”communism” yang sudah kehilangan popularitas sejak 1963.
Arah peradaban tidak
pernah bergerak linear. Globalisasi yang didorong oleh perkembangan teknologi
informasi sebelumnya diprediksi mengarahkan dunia ke arah homogenisasi
global. Kapitalisme kehilangan lawan tanding pasca berakhirnya perang dingin.
Lalu apakah kapitalisme akan menjadi satu-satunya pusaran peradaban dunia?
Homogenisasi
kebudayaan ternyata tidak pernah terjadi. Konektivitas global justru membuat
diversitas budaya yang terserak di berbagai penjuru bumi mendapat kesempatan
untuk tampil secara global. Setiap orang berlomba-lomba menunjukkan keunikan
identitasnya. Hal ini mungkin di luar perkiraan Eric Hobsbawm dan Ernest Gellner,
intelektual pemuka studi nasionalisme. Semangat kebangsaan ternyata tetap
menjadi ”mesin penggerak sejarah”. Dari data N-gram ideologi Google, tren
penggunaan kata ”nationalism” terus menanjak naik sejak 1985. Ia menjadi
terminologi ideologi yang paling populer saat ini, bersaing dengan kata
”capitalism”.
Progresif vs konservatif
Namun, wajah
kebangsaan baru ini tidaklah homogen. Di Eropa ia muncul dalam dua wajah,
progresif dan konservatif. Gelora wajah kebangsaan yang cenderung konservatif
atau bahkan rasis terwakili oleh Partai Independen di Inggris, yang secara
mengejutkan menjadi salah satu arus utama dalam pemilu 2015 di Inggris, dan
Fron Nasional di Perancis. Pada sisi progresif, Partai Syrizadi di Yunani dan
Partai Podemos (Kita Bisa!) di Spanyol menjadi rujukan fenomena kebangkitan
gerakan patriotis kewargaan (civic
patriotism) yang progresif, tetapi juga punya semangat internasionalisme.
Kegiatan jelang pemilu
2016 di Amerika Serikat juga menyumbangkan tonggak sejarah tersendiri.
Liberalisme hak-hak sipil diserang oleh Donald Trump dari sisi kanan dan
liberalisme ekonomi digugat oleh Bernie Sanders dari sisi kiri.
Kebangsaan kembali
bangkit di tengah lanskap politik global yang sama sekali berbeda. Tidak ada
lagi Amerika Serikat dan Uni Soviet yang menjadi dua pusaran gejolak
sekaligus penjaga stabilitas dunia. Semua negara saat ini sama-sama memegang
tanggung jawab masing-masing, dalam sebuah jejaring saling ketergantungan sosial
ekonomi. Krisis di tingkat lokal dapat memicu kemunculan krisis di level
global.
Meski demikian, ada
satu hal yang tidak berubah sebagai akar persoalan yang dihadapi, yaitu
kemiskinan dan kesenjangan sosial. Paus Fransiskus dalam ”World Meeting of Popular Movements 2015” (Pertemuan
Gerakan-gerakan Rakyat Seluruh Dunia 2015) mengingatkan tiga masalah utama
yang dihadapi dunia saat ini, yaitu ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat
kecil, bangkitnya kolonialisme baru, dan perubahan iklim.
Pada konteks inilah
seruan Bung Karno 56 tahun lalu itu menjadi relevan dan strategis. Kita tak
mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila telah terimplementasi secara baik dan
mulus sepanjang perjalanan republik ini. Namun, sejauh ini kita telah
membuktikan bangsa yang sedemikian besar dan beragam ini masih tetap utuh
dalam payung persatuan nasional.
Pada dua periode
pertama republik (Orde Lama dan Orde Baru) kita telah memperkuat sendi
ketuhanan dan persatuan dari bangunan kebangsaan kita. Di periode reformasi
ini mari kita fokus pada penguatan kemanusiaan, aspek sosial dalam sendi
demokrasi, dan aspek demokrasi dalam sendi keadilan di negara kita. Gelombang
sejarah baru terpapar di depan kita. Janganlah diam dan menoleh ke belakang
hanya karena ketakutan masa lalu. Ayo keluar sekarang dari
prasangka-prasangka masa lampau, karena masa depan tidak akan bisa ditunda! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar