Kemubaziran Dana Cadangan Bank
Haryo Kuncoro ; Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Jakarta; Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPS UGM Jogjakarta
|
JAWA POS, 08 Juni
2016
HINGGA April 2016, pertumbuhan kredit
perbankan di tanah air tercatat sebesar 7,9 persen secara tahunan atau lebih
rendah jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 8,5 persen.
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan kredit pada tahun ini hanya
berkisar 11 persen atau berada di batas bawah target 13-14 persen.
Perlambatan ekonomi diduga sebagai penyebab
turunnya penyaluran kredit perbankan. Selama triwulan I 2016, pertumbuhan
ekonomi hanya 4,92 persen yang juga lebih rendah daripada perkiraan. Artinya,
tidak ada indikasi pertumbuhan kredit berlebihan yang potensial menimbulkan
risiko sistemik yang berefek domino ke sektor-sektor lain.
Secara konseptual, fenomena di atas
menjustifikasi tesis bahwa permintaan kredit adalah akibat dari dinamika
pertumbuhan ekonomi. Saat kinerja perekonomian membaik, permintaan kredit
cenderung naik. Sebaliknya, saat ekonomi mengalami kontraksi, tensi
permintaan kredit akan melemah.
Dengan alur logika tersebut, ekspansi kredit
perbankan memerlukan fondasi ekonomi yang kukuh. Pengalaman selama lima tahun
terakhir agaknya mendukung logika itu. Dengan demikian, perbaikan kinerja
perekonomian nasional niscaya menjamin kesinambungan fungsi intermediasi
bank.
Fungsi intermediasi bank adalah menjembatani
pemilik dana dengan pihak yang butuh dana. Pemilik dana berlebih sejatinya
dapat langsung menyalurkan dananya ke pihak kedua tanpa perantara. Sayangnya,
kebutuhan dana pihak kedua jauh lebih besar daripada dana yang dimiliki pihak
pertama.
Hasrat ekspansif dalam menyalurkan kredit
didukung pula oleh informasi yang tidak simetris (asymmetric information)
antara pemilik dana dan bank. Nasabah sangat minim informasi sehingga tidak
bisa mengontrol ke mana alokasi penyaluran kredit atas dananya yang disimpan
di bank.
Problem informasi asimetris juga eksis antara
bank dan debitor. Debitor lebih paham akan kondisi perusahaannya. Pengetahuan
bank atas calon debitornya terbatas hanya dari dokumen proposal kredit.
Provisi ke lapangan untuk memvalidasi data pun sering tidak optimal.
Informasi asimetris semacam itu potensial
memunculkan perilaku moral hazard. Perilaku moral hazard bank memicu nasabah
menarik semua dananya dalam waktu berbarengan. Pengalaman rush pada krisis
1997/1998 adalah bukti konkretnya.
Dalam hubungannya dengan debitor, moral hazard
diindikasikan dengan keberanian bank menanggung risiko guna mengejar profit
yang tinggi pula. Akibatnya, terjadilah kredit macet (non-performing
loan/NPL). Data menunjukkan, rasio NPL tercatat 2,8 persen pada kuartal I
tahun ini dibanding 2,4 persen pada kuartal I 2015.
Itu berarti NPL sejatinya dapat muncul tidak
hanya pada saat perekonomian sedang boom, tetapi juga ketika perekonomian
sedang re¬sesi. Menghadapi risiko ini, perbankan sudah menyiapkan dana
cadangannya. Alokasi pencadangan risiko pada kuartal I 2016 mencapai Rp
126,62 triliun, naik 32,96 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sejalan dengan itu, bank memilih memarkir
dananya di BI sebagai cadangan untuk menghadapi permintaan kredit di semester
II 2016. Alhasil, tumpukan kredit yang belum ditarik kian menggunung. Kredit menganggur
meningkat 3,59 persen menjadi Rp 1.236,14 triliun per Maret 2016 dari posisi
Rp 1.193,30 triliun di periode sama 2015.
Jika diperbandingkan, ada kesamaan pola antara
pembentukan dana cadangan risiko NPL dan cadangan kredit. Keduanya berbanding
terbalik dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya, dua dana cadangan tersebut
meningkat saat kinerja perekonomian nasional sedang menurun.
Perbedaannya adalah target yang dituju. Dengan
menyisihkan dana cadangan risiko NPL, bank mampu memelihara fungsinya sebagai
lembaga intermediasi sehingga menjamin kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan. Konsekuensinya, penambahan dana cadangan risiko NPL lebih bersifat
kuratif.
Di sisi lain, dengan memupuk dana cadangan
kredit, perbankan dapat meningkatkan fungsi intermediasinya dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, dana cadangan kredit bersifat
preventif untuk mengantisipasi prospek ekonomi di masa mendatang.
Berangkat dari sini, tesis yang berkembang
adalah permintaan kredit menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi. Karena itu,
pembenahan tata kelola kredit menjadi prasyarat. Apabila tesis tersebut
berlaku, dana cadangan NPL dan cadangan kredit dengan sendirinya menjadi
sumber kemubaziran.
Volume dana cadangan perbankan di atas cukup
materiil di saat pembangunan infrastruktur memerlukan pembiayaan dalam jumlah
besar. Sepanjang 2014-2019, kebutuhan dana investasi mencapai Rp 5.500
triliun guna membangun berbagai infrastruktur di Indonesia.
Dalam perspektif yang lebih luas, fenomena
semacam itu hanya merupakan potret kecil dari langkanya sinkronisasi
kebijakan. Faktanya, tiap lembaga mengambil keputusan sendiri atas dasar
kepentingan masing-masing.
Hal tersebut tentu saja menjadi pemborosan
yang tidak seharusnya terjadi. Alhasil, isu inefisiensi perbankan nasional
dalam aspek mikro tidak hanya dikontribusi perilaku perbankan itu sendiri.
Tapi juga dalam level makro disokong kebijakan yang tidak rapi terkoordinasi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar