Demi Keluhuran Pancasila, Mari Boikot Piala Eropa!
Eddward S. Kennedy ; Penulis buku ’’Sepak Bola Seribu Tafsir’’
|
JAWA POS, 06 Juni
2016
Melihat situasi
kekinian Indonesia yang gegar segala hal tentang komunisme, saya kira sudah
sepatutnya kita semua waspada. Apalagi sebagai warga negara yang menjunjung
tinggi nilai-nilai Pancasila.
Sebagai langkah awal,
mari kita mulai memantaunya dari Piala Eropa (Euro) 2016. Caranya mudah saja.
Anda cukup memperhatikan negara mana yang memiliki sejarah komunisme yang
kental, lalu laporkan ke Bapak Kivlan Zein.
Mari kita mulai dari
negara pertama, Albania. Sejarah Albania adalah sejarah panjang komunisme.
Bermula dari Perang
Dunia II atau ketika Albania mulai dikuasai oleh Blok Timur yang dikomando
Uni Sovyet. Pengaruh komunisme dengan cepat tersebar hingga ke segala lini
kehidupan masyarakat di sana.
Kala itu, Albania
dipimpin Enver Hoxha. Dia adalah seorang kader Sovyet yang patuh, meski
akhirnya membelot dari Moskow.
Di bawah kuasanya,
Albania melarang segala jenis kegiatan keagamaan (termasuk Islam yang
merupakan agama mayoritas di sana) sekaligus menutup seluruh tempat ibadah.
Hoxha pun
mendeklarasikan Albania sebagai negara ateis pertama di dunia. Sungguh biadab
dan tidak pancasilais.
Sistem komunisme di
Albania juga memiliki pengaruh buruk dalam konteks sepak bola. Meski konon
The Party of Labour of Albania –semacam PKI-nya Albania– membentuk klub
bernama Flamurtari (yang kemudian menjadi salah satu klub tersukses di sana),
pemerintahan komunis Albania tetap tak memberikan sumbangsih berarti dalam
perkembangan sepak bola lokal. Bahkan, cenderung menciptakan mimpi buruk.
Salah satu contohnya
pada awal 1960-an. Bersama Sovyet, Albania menolak bergabung dengan UEFA
karena alasan politis. Barulah, menjelang medio 1960-an, Albania kembali
bergabung bersama Uni Sepak Bola Eropa tersebut.
Hingga kini, yang
dikenal dari sepak bola Albania hanya barisan ultrasnya yang sangar. Terlebih
jika mereka bertemu dengan ’’saudaranya’’ sendiri, Serbia. Setiap kedua
negara bertemu, bisa dipastikan muncul keributan.
Akar permusuhan
keduanya dimulai dari hubungan panas antara Hoxha dan Joseph Tito (dulu
pemimpin Yugoslavia). Hoxha yang ’’Stalinis’’, sedangkan Tito, meski seorang
komunis, tidak mematuhi garis politik Sovyet di bawah kendali Stalin.
Negara kedua yang
patut diwaspadai di Euro 2016 adalah Hungaria. Memiliki narasi sejarah
politik yang tak berbeda jauh dengan Albania –dicaplok Blok Timur di bawah
kendali Sovyet, tetapi Hungaria memiliki kisah sepak bola yang spektakuler.
Untuk mengetahui hal
ini, kita dapat melihatnya dari tim nasional mereka pada era 1950-an yang
dijuluki Golden Team atau Magical Magyars. Inilah tim sepak bola yang kerap
dianggap para pundit sebagai tim terbaik yang pernah ada sepanjang sejarah.
Begitu mengerikannya
Magical Magyars tak perlu diperdebatkan lagi. Bukan hanya pernah membantai
Inggris di Wembley dengan skor telak 6-3 (dan 7-1 di kandang sendiri),
Hungaria turut berkontribusi dalam taktikal sepak bola.
Formasi 2-3-3-2 (biasa
ditulis WM) yang diracik Gusztav Sebes, pelatih Hungaria kala itu, dianggap
sebagai embrio total football dan metode awal 4-3-3. Salah satu penggawa
Magical Magyars, Nandor Hidegkuti, juga disebut sebagai pelopor awal role
false 9 setelah Matthias Sindelar memulainya dengan Austria pada 1930-an.
Ironisnya, kedigdayaan
sepak bola Hungaria mesti punah karena kediktatoran pemerintah berhaluan
komunisme yang dipimpin Matyas Rakosi. Sama seperti Hoxha di Albania, Rakosi
juga merupakan kader Sovyet yang taat.
Namun, tidak seperti
Hoxha yang posisinya adem ayem, Rakosi sempat mendapat perlawanan sengit dari
rakyatnya.
Dimulai pada 23
Oktober 1956. Yakni, saat sekelompok mahasiswa melakukan demonstrasi
besar-besaran, termasuk merobohkan patung Stalin di Budapest. Perang terjadi.
Hungaria chaos selama
berhari-hari dan baru berakhir pada 4 November 1956. Peristiwa tersebut
memakan jumlah korban jiwa 2.500 orang, 26 ribu orang ditahan, serta 1.200
lainnya dieksekusi mati.
Jika Anda jeli,
sejatinya seluruh negara yang ikut serta dalam Euro 2016 memiliki partai
komunis masing-masing. Bahkan, 11 negara di antaranya memiliki sejarah
komunisme yang mengakar dalam masyarakatnya. Selain Albania dan Hungaria, ada
Rumania.
Di bawah kendali
kediktaktoran Nicolae Ceausescu, Rumania pernah mengalami abad kegelapan
komunisme selama 24 tahun. Begitu pula halnya dengan Slovakia, Republik Ceko,
Ukraina, Austria, Polandia, Kroasia, dan tentu saja Rusia.
Jangan pula lupakan
Italia. Dengan romantisme Livorno dan Cristiano Lucarelli (ikon komunisme
paling populer dalam dunia sepak bola), narasi ’’kiri’’ dimaknai dengan
begitu seksi di kalangan ultras Indonesia.
Persoalan ini,
saudara-saudara sekalian, sungguh berbahaya bagi stabilitas bangsa. Bukan
tidak mungkin pengaruh-pengaruh halus komunisme dapat tersebar lewat iklan,
kibaran bendera, atau nyanyian para ultras berhaluan kiri yang kebanyakan
berasal dari negara Eropa Timur.
Bagi saya pribadi,
demi menjaga keluhuran nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme negeri kita,
tiada cara yang ampuh untuk menanggulanginya selain dengan memboikot tayangan
Euro 2016. Hehehe... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar