Kebangkitan Komunisme dan
Kelas Menengah "Ngehek" di Indonesia
Bambang Priyo Jatmiko ;
Wartawan dan
Penjaga Gawang Desk Ekonomi
Kompas.com
|
KOMPAS.COM, 06 Mei
2016
Ribut-ribut soal kebangkitan
komunisme di Indonesia yang digulirkan sejumlah purnawirawan kembali
menimbulkan pertanyaan, apa iya komunis mau bangkit lagi?
Tak jelas apa motif yang mendorong
para purnawirawan tersebut "menakut-nakuti" publik dengan
mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) akan bangkit lagi? Motif politik?
Saya tidak tahu.
Pun jika tudingan para
purnawirawan itu benar adanya, apa keuntungan yang diperoleh para pengikut
PKI dengan kembali membangunkan partai tersebut?
Pertanyaan inilah yang belakangan
menggelayuti saya. Apalagi saat para purnawirawan dan sejumlah ormas
menengarai akan terjadi kebangkitan PKI di Tanah Air.
Komunisme, tanpa harus dilawan
dengan kekerasan dan melibatkan ormas, telah terbukti gagal. Setidaknya itu
terlihat di banyak negara.
Impian indah akan lahirnya
masyarakat tanpa kelas kerapkali harus berakhir tragis dan jauh dari yang
diangankan: kediktatoran dan totaliarianisme.
Komunisme,
Tawaran yang Menggiurkan?
Komunisme merupakan implementasi
dari gagasan Karl Marx yang mendambakan terciptanya tatanan sosial, politik
dan ekonomi tanpa kelas. Di mana, alat-alat produksi dimiliki bersama tanpa
membedakan satu orang dengan yang lainnya.
Dalam struktur masyarakat
kapitalis, menurut Marx, masyarakat terbagi dalam dua kelompok, yakni pemilik
modal (borjuis) dan kelas pekerja (proletar). Kapitalis sebagai pemilik
alat-alat produksi (aset), melakukan eksploitasi terhadap kelompok pekerja
guna meraih untung sebanyak-banyaknya.
Karena itu untuk menciptakan
keadilan di masyarakat, Marx menyatakan harus dilakukan "perjuangan
kelas", yakni perlawanan kelompok pekerja terhadap pemilik modal. Dengan
cara ini, pola hubungan yang eksploitatif bisa dihilangkan seiring dengan
dikuasainya aset-aset produksi oleh kelas pekerja.
Dalam kondisi tertentu, gagasan
yang diusung Marx ini memang menarik. Karena sejauh ini, pemikiran tersebut
mampu mendefinisikan mana kelompok berkuasa yang lalim, dan mana kelompok
yang tertindas serta mendorong melakukan aksi untuk melawan struktur yang
eksploitatif.
Selain itu, pemikiran ini juga
menawarkan hasil yang menggiurkan yaitu terciptanya struktur masyarakat
egaliter, di mana semua aset yang ada menjadi milik bersama.
Berdirinya negara komunis sedikit
banyak juga diawali oleh perlawanan terhadap kelompok berkuasa yang dianggap
sebagai representasi borjuis yang menguasai banyak aset.
Seperti Revolusi Bolshevik tahun
1917 di Rusia, yang menjadi tonggak berdirinya Uni Soviet. Gerakan tersebut
diawali oleh ketidakpuasan terhadap Kekaisaran Rusia dan keluarganya yang
menguasai hampir seluruh aset di wilayah tersebut.
Saat itu penduduk Rusia sebagian
besar adalah petani miskin yang tak berpendidikan dan sisanya adalah buruh
pabrik. Mereka tak punya aset yang diandalkan, selain tenaga mereka sebagai
pekerja.
Karena itu, gagasan mengenai
masyarakat tanpa kelas dan pemilikan aset secara kolektif menjadi mimpi indah
bagi mereka. Tak heran, kelompok Bolshevik yang dipimpin oleh Vladimir Lenin
mendapatkan dukungan yang cukup besar dari petani miskin dan kelompok buruh.
Dalam perjalanannya, masyarakat
yang dulunya memimpikan kepemilikan aset secara kolektif dan terdistribusi
merata, menghadapi kenyataan bahwa negara mereka jatuh dalam kediktatoran.
Selain itu sistem ekonomi komando,
yang merupakan fitur utama dari sistem komunis, membuat laju pertumbuhan
ekonomi Uni Soviet bagaikan jalan di tempat. Ini karena semua aspek
perekonomian diatur oleh pemerintah.
Di satu sisi sistem ekonomi ini
memang mampu memperkecil kesenjangan yang ada di masyarakat, dan pemerintah
dengan mudah mengendalikan laju inflasi. Namun di sisi lain tidak ada
keleluasaan dalam perekonomian sehingga pasar tidak terbentuk secara
sempurna.
Akibatnya, ekonomi Uni Soviet
makin tertinggal dari negara-negara yang menganut sistem pasar. Hingga pada
26 Desember 1991 negara ini bubar.
Di Indonesia, lahirnya komunisme
kurang lebih juga berasal dari kondisi yang sama dengan Uni Soviet, yakni
aset-aset dikuasai oleh penguasa kolonial.
Pada 1914 Henk Sneevliet dan
sejumlah aktivis buruh pelabuhan membentuk Asosiasi Sosial Demokrat Hindia
Belanda (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging/ISDV).
Dengan berpegang pada konsep
Marxisme, kelompok ini menyerukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial
yang represif.
Seiring dengan berjalannya waktu,
makin banyak kelompok yang tertarik dengan gagasan ISDV.
Ini karena ISDV membawa
"kesadaran baru" yang lebih universal dalam memaknai perlawanan
terhadap Belanda, yakni kesadaran berbasiskan ekonomi: eksploitasi terhadap
kaum lemah oleh penguasa yang memiliki modal besar.
Dalam perjalanannya, kelompok
komunis tersebut mendeklarasikan diri sebagai Partai Komunis Indonesia.
Namun, jalan terjal terus dihadapi oleh PKI.
Meski berjasa dalam melawan
Belanda, gesekan dengan kelompok lain menjadikan PKI dianggap sebagai musuh
bersama. Tak hanya itu, gagasan masyarakat tanpa kelas dan kepemilikan aset
secara kolektif juga kurang populer.
Kelas
Menengah
Seperti dibicarakan sebelumnya,
belakangan ini sejumlah pihak menengarai bahwa komunisme akan bangkit di
Indonesia. Bahkan dengan berapi-api diserukan agar seluruh rakyat Indonesia
mewaspadai gerakan tersebut.
Ada yang menganggap itu serius.
Apalagi komunisme dikaitkan dengan ateisme yang membuat sejumlah ormas ikut
menyerukan bahaya kebangkitan ideologi tersebut di Indonesia.
Namun demikian, ada juga yang
menertawakan klaim tersebut, lantaran dianggap mengada-ada. Beberapa menyebut
seruan itu hanya untuk mencari proyek, serta ada motivasi politik di
baliknya.
Kalau saya? Ya, sebagai orang yang
pemahaman agamanya masih "hijau" serta buta terhadap masalah
politik, memilih untuk tidak serius maupun tidak tertawa.
Namun di sini saya cuma mau
bertanya, apa iya komunisme akan bangkit di Indonesia?
Sebagaimana diketahui, Indonesia
dihuni bukan oleh kelas pekerja yang tertindas oleh struktur produksi yang
eksploitatif. Melainkan, didominasi oleh kelas menengah yang terkadang sudah
merasa sebagai borjuis meski tak borjuis-borjuis amat.
Sejauh ini, jumlah penduduk kelas
menengah di Indonesia mencapai 70 persen dari total penduduk.
Mengutip Asian Development Bank
(2010), definisi kelas menengah adalah mereka dengan belanja per kapita per
hari di rentang 2 dollar AS hingga 20 dollar AS atau sekitar Rp 27.000 hingga
270.000 per hari per orang.
Tak hanya sebatas itu kelas
menengah didefinisikan. Hal lain yang juga menjadi ciri kelas menengah adalah
golongan yang konsumtif dan senang berutang.
Untuk apa berutang dan konsumtif?
Ya untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan lagi kelas bawah.
Atau dalam terminologi Marxisme,
kelas menengah ingin menunjukkan dirinya sebagai kelas borjuis dan bukan lagi
proletar. Meskipun dalam kenyataannya belum masuk kategori borjuis yang
menguasai alat-alat produksi.
Karena gayanya yang ingin seperti
borjuis itulah, beberapa orang menambahkan atribut "ngehek" untuk
masyarakat kelas menengah.
Apa bukti "kengehekan"
kelas menengah itu? Salah satunya adalah senang bepergian ke mana-mana dengan
naik pesawat. Tapi pesawat murah. Jika delay, para kelas menengah tersebut
hebohnya minta ampun di media sosial.
Lainnya adalah senang mengenakan
barang-barang branded sebagaimana dikenakan oleh kalangan atas atau borjuis.
Namun untuk menyiasati kantong yang tak terlalu tebal, kelompok kelas
menengah suka berburu diskon, meskipun harus dilakukan pada tengah malam.
Selanjutnya adalah gemar memburu
gadget baru, meskipun dengan cara mencicil. Dengan cara itu, si kelas
menengah ingin menunjukkan dirinya selalu mengikuti trend teknologi.
Kelas menengah adalah golongan
yang telah merasa mapan, yang akan sangat sulit bahkan mustahil untuk
melakukan "perjuangan kelas" lantaran telah memiliki kesadaran
sebagai borjuis dengan cara melakukan konsumsi.
Semakin konsumtif, makin berasa
sebagai borjuis. Perjuangan kelas? Mungkin hanya tinggal kenangan.
Karena itu, untuk menghalau
kebangkitan komunisme, tak harus dengan menggelar seminar, simposium, apel
akbar maupun proyek-proyek lain yang menyedot anggaran.
Cukup digelar program diskon
belanja nasional sesering mungkin, Insya Allah mayoritas rakyat Indonesia tak
akan menoleh kepada ideologi yang bernama Komunisme, Marxisme dan sejenisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar