Jakarta Tanpa Tanggul Raksasa
Muslim Muin ;
Ketua Kelompok Keahlian Teknik
Pantai, Institut Teknologi Bandung
|
KOMPAS, 06 Mei 2016
Tanggul raksasa atau giant sea wall (GSW) dan reklamasi
bukanlah sesuatu yang tabu dan harus ditentang. Jika GSW memberi manfaat
dengan alasan yang jelas dan dampak lingkungan yang terukur, pembangunan GSW
tentu bisa didukung.
Salah satu contohnya adalah GSW di
St Petersburg, Rusia, yang dibangun untuk melindungi kota dari storm surge,
yaitu naiknya muka air laut akibat badai. Sebelum membangun GSW, pemerintah
St Petersburg memperbanyak jumlah tempat pengolahan limbah (Sewerage
Treatment Plant/STP) untuk menjamin air yang akan mengalir ke waduk
penampungan memenuhi baku mutu.
Ada kajian, GSW Jakarta yang akan
dibangun tidak memberi manfaat dan berdampak luar biasa bagi lingkungan.
Tidak mengherankan jika usulan National Capital Integration Coastal
Development (NCICD) ini perlu ditentang.
Jakarta Coastal Defence Strategy
(JCDS) sebagai cikal bakal NCICD memulai ide penutupan Teluk Jakarta karena
ancaman naiknya permukaan laut. Setelah dikritik bahwa storm surge, tsunami,
dan muka air laut naik akibat pemanasan global di Jakarta sangat kecil,
akhirnya ancaman banjir laut itu tidak lagi menjadi alasan pembangunan GSW.
Saat ini alasan utama NCICD
membangun GSW adalah penurunan muka tanah atau land subsidence. Betulkah GSW
diperlukan untuk melindungi Jakarta dari penurunan muka tanah?
Penurunan muka tanah memperoleh
perhatian khusus Presiden Joko Widodo. Setelah rapat kabinet terbatas,
pemerintah memutuskan untuk meneruskan Program NCICD yang akan menutup Teluk
Jakarta dengan GSW. Keputusan ini perlu dikaji ulang karena pemerintah kurang
memahami secara teknis kelemahan GSW Teluk Jakarta.
Jika GSW dibangun, selain memakan
biaya sangat besar, biaya operasional dan dampak lingkungannya juga sangat
besar. Yang lebih parah, GSW justru akan memperparah risiko banjir Jakarta.
Pengamanan
Jakarta
Memang ada dua opsi untuk
mengamankan Jakarta dari ancaman penurunan muka tanah. Opsi pertama adalah
menanggul pantai dan sungai di sepanjang daerah yang terancam dan mengalami
penurunan muka tanah. Opsi kedua adalah menutup Teluk Jakarta dengan GSW.
Opsi pertama pernah penulis
sampaikan di Rubrik Opini Kompas (19 Maret 2013), yang merupakan pilihan
tepat untuk Jakarta. Opsi ini tidak memerlukan pompa untuk mengalirkan 13
sungai dari daerah hulu Jakarta. Air mengalir dengan gravitasi tanpa bantuan
pompa raksasa.
Pengelola Jakarta cukup memompa
air hujan yang turun di daerah penurunan muka tanah dengan kapasitas pompa
yang jauh lebih kecil. Selain itu, dengan opsi pertama, Jakarta bisa
mempertahankan sumber daya ekonomi kelautan Teluk Jakarta dengan potensi luar
biasa. Perairan Teluk Jakarta mempunyai nilai sangat penting untuk mendukung
program pemerintah menjadi poros maritim. Dengan opsi pertama, pemerintah
tidak perlu memindahkan PLTU Muara Karang, Pelabuhan Ikan Nusantara, dan
merelokasi masyarakat nelayan. Dampak lingkungan dari opsi ini hampir tidak
ada. Mangrove pun tetap subur untuk mendukung ekosistem Teluk Jakarta.
Opsi kedua merupakan usulan
konsultan Belanda, NCICD. Teluk Jakarta akan ditutup dengan GSW yang
bertujuan sebagai waduk air minum, pengatur banjir, dan melindungi daerah
permukiman baru yang dibangun melalui reklamasi. Jika disimak saksama, tidak
satu pun tujuan pembangunan GSW akan tercapai karena secara teknis usulan GSW
tidak masuk akal dan memperparah banjir Jakarta.
Pompa
raksasa
Akibat dibangunnya GSW, Jakarta
tidak hanya harus memompa air hujan yang turun di daerah penurunan muka
tanah, tetapi juga harus memompa air dari daerah hulu (Bogor, Cipanas, Depok,
dan lain-lain). Akibatnya, biaya operasional GSW sangat besar, sekitar Rp 500
miliar per tahun, apalagi ternyata operasi GSW memperparah risiko banjir
Jakarta.
Jika Jakarta hanya memperkuat
tanggul pantai dan tanggul sungai di sepanjang daerah penurunan muka tanah
tanpa GSW, Jakarta cukup memompa air dari daerah penurunan muka tanah. Sebuah
perbedaan besar dan mudah dipahami. Daerah tangkapan dari penurunan muka
tanah hanya sekitar 1/15 tangkapan area sampai daerah hulu. Artinya besar
pompa GSW 15 kali lebih besar dari tanpa GSW.
Untuk menampung banjir, elevasi
air di waduk direncanakan lebih rendah dari muka air laut terendah atau lebih
dikenal sebagai LWS (Lowest Water Spring). Data NCICD menunjukkan jumlah air
yang mengalir ke GSW Jakarta selama enam hari bisa mencapai 730 juta m3.
NCICD mengklaim pompa 730 m3/detik bisa mengatur elevasi muka air 2,5 meter
dengan luas waduk 75 km2. Padahal, jika dihitung dengan lebih saksama,
dibutuhkan pompa 1.050 m3/detik.
Jika hanya memasang pompa 730
m3/detik, muka air di waduk GSW harus diturunkan 4,7 meter. Jika pompa macet,
Jakarta akan tenggelam oleh banjir kiriman dari daerah hulu. Pompa raksasa
GSW akan menjadi pompa terbesar di dunia, apakah Jakarta siap dan sanggup
mengoperasikan pompa besar ini? Saat ini Jakarta mengoperasikan pompa 30
m3/detik saja suka gagal, apalagi mengoperasikan pompa 1.050 m3/detik.
Seandainya Jakarta tidak menutup
Teluk Jakarta atau tanpa GSW, pompa 100 m3/detik sudah mencukupi untuk
mengendalikan banjir di daerah penurunan muka tanah. Seandainya pompa macet,
risiko banjir Jakarta hanya dari hujan yang turun di daerah penurunan tanah.
Penampung
air minum
NCICD merencanakan elevasi waduk
GSW lebih tinggi dari elevasi daerah penurunan muka tanah. Akibatnya, Jakarta
tetap harus mempunyai tanggul pantai dan tanggul sungai di daerah penurunan
muka tanah. Walaupun melalui pendekatan ini, NCICD mengharapkan tinggi
tanggul pantai dan sungai untuk opsi kedua bisa dibuat lebih rendah daripada
tanggul di pilihan pertama.
Selisih tinggi tanggul harus
sesuai dengan tunggang pasang surut ditambah tinggi gelombang di Teluk
Jakarta, ternyata besarnya hanya 2,0 meter. Selisih tinggi tanggul 2,0 meter
yang akan dihemat NCICD tersebut jauh lebih kecil apabila dibanding tinggi
tanggul GSW yang bisa mencapai 25 meter.
Dengan luas waduk GSW sekitar
7.500 ha dan kedalaman rerata 10 m atau sekitar 750 juta m3, air yang
ditampung terlampau besar apabila dibandingkan dengan defisit air bersih
Jakarta yang hanya 10 m3/detik. Dengan anggapan sungai mengering selama 3
bulan sekalipun, air bersih yang diperlukan hanya 78 juta m3. Seandainya
waduk air bersih di Teluk Jakarta itu tetap diperlukan, luasnya cukup 1.000
ha saja.
Jika ukuran pompa GSW hanya 730
m3/detik seperti yang direncanakan oleh NCICD, untuk mengantisipasi banjir,
elevasi muka air di waduk GSW harus diturunkan 5,2 meter LWS. Artinya
Pelabuhan Ikan Nusantara dengan draf sekitar 4,0 meter menjadi kering atau
menjadi daratan. Seandainya dikeruk 4 meter, operasi bongkar muat di
pelabuhan tak bisa dilakukan karena dermaga berada 6,2 meter di atas muka
air. Pemerintah tidak punya pilihan, pelabuhan perikanan Nusantara harus
direlokasi.
Dengan diturunkannya elevasi muka
air laut 5,2 meter, praktis PLTU Muara Karang kehilangan sirkulasi air
pendingin. PLTU Muara Karang harus pindah ke lokasi baru dengan biaya tidak
sedikit.
Hasil pengukuran lapangan dan
kajian NCICD jelas sekali menunjukkan laju penurunan muka tanah tidak merata.
Laju penurunan tertinggi adalah 25 cm/tahun. Yang menarik adalah prediksi
NCICD tentang daerah yang akan berada di bawah laut, ternyata hampir 70 persen
elevasi pantai lebih tinggi dari elevasi daratan. Kawasan tepi pantai akan
menjadi penghalang aliran 13 sungai sebelum mengalir ke waduk GSW.
Laju sedimentasi di muara sungai
akan meningkat drastis. Dapat dibayangkan jika tiba-tiba menerima banjir kiriman
dari daerah hulu, sungai-sungai di daerah penurunan muka tanah akan melimpah
akibat dari backwater curve karena perbedaan elevasi dasar sungai di daerah
penurunan muka tanah dan elevasi dasar laut sepanjang tepi pantai. Selain
itu, daerah reklamasi akan menghalangi aliran sungai. Tak dapat dimungkiri,
GSW yang diharapkan bisa mengatur banjir malah memperparah banjir Jakarta.
Ide untuk menampung air kotor
Jakarta di waduk GSW dan selanjutnya dibersihkan adalah kesalahan fatal.
Membersihkan air sungai yang sudah tercampur polutan kota membutuhkan biaya
sangat besar. Debit rerata 13 sungai Jakarta 300 m3/detik, dengan asumsi
biaya pengolahan Rp 1.000 per m3, Pemprov DKI Jakarta harusmengalokasikan
dana sekitar Rp 9 triliun per tahun. Tidak heran di kota-kota besar dunia,
sumber polutan harus dikendalikan di STP sebelum air buangan dialirkan ke
sungai. Biaya pengolahan limbah menjadi lebih murah dengan kapasitas STP yang
lebih kecil.
Saat ini Jakarta tidak mempunyai
STP karena saluran drainase dan selokan bergabung menjadi satu saluran. Jika
Jakarta ingin membangun STP, drainase sebagai saluran pembuangan air hujan
harus dipisahkan dulu dari selokan sebagai saluran pembuangan limbah kota.
Got mengalir ke STP untuk selanjutnya diolah. Seharusnya Gubernur Jakarta
menata dulu saluran drainase dan selokan kota Jakarta sebelum membangun GSW.
Bagaimana Jakarta membangun GSW jika tidak punya selokan?
Bom
waktu
Dengan dibangunnya GSW, sirkulasi
air di waduk GSW akan menurun drastis, bahkan bisa dikatakan menjadi air diam
(stagnant water). Pembersihan alami
melalui proses adveksi dan difusi dari Laut Jawa tidak akan lagi terjadi.
Seperti diketahui umumnya, ancaman dari air diam adalah meningkatnya ancaman
malaria dan demam berdarah (dengue).
Sejarah Jakarta membuktikan, wabah malaria besar pernah terjadi di Jakarta
pada zaman kolonial Belanda dengan ribuan korban.
Dengan makin berkurangnya jumlah
air di Teluk Jakarta akibat reklamasi dan hilangnya sirkulasi air akibat
dibangunnya GSW, kadar polutan di waduk GSW akan meningkat drastis. Kualitas
air di dalam waduk GSW akan makin memburuk sesuai dengan perjalanan waktu.
Cita-cita waduk GSW sebagai sumber air minum tidak akan tercapai.
Maka, demi mengamankan Jakarta
dari ancaman banjir, pemerintah perlu membuat kebijakan berikut. Pertama,
menghentikan reklamasi Teluk Jakarta karena reklamasi menghambat aliran
sungai, meningkatkan ancaman banjir, dan memperburuk kualitas air di Teluk
Jakarta.
Kedua, menolak usulan NCICD untuk
membangun tanggul karena biaya operasi dan dampak lingkungannya sangat besar.
Ketiga, melanjutkan penguatan
tanggul pantai dan tanggul sungai sepanjang daerah penurunan muka tanah.
Keempat, Jakarta harus segera
memisahkan selokan dari drainase dan membangun STP untuk memperbaiki kualitas
air di Teluk Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar