Ise-Shima Summit dan Jokowi
Tirta N Mursitama ;
Guru Besar Bisnis Internasional; Ketua Departemen Hubungan
Internasional Binus University; Senior Analis KENTA Institute
|
KORAN SINDO, 30 Mei
2016
Pertemuan
G-7, kelompok negara termaju di dunia baru selesai diselenggarakan 26-27 Mei
2016 di Ise-Shima, Mie Prefektur, Jepang.
Pertemuan
yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sebagai tuan rumah,
dihadiri oleh para pemimpin negara dari Amerika Serikat, Inggris, Italia,
Jerman, Kanada, dan Prancis. Bagi Jepang dan negaranegara di Asia, pertemuan
G-7 di tanah Asia menjadi penting. Pertama, pertemuan ini pertama kali
diadakan di Asia dalam delapan tahun terakhir. Kedua, situasi Asia yang
dinamis dalam pertimbangan geostrategis maupun geoekonomis kawasan.
Potensi
konflik Laut China Selatan dan kekhawatiran akan uji coba nuklir Korea Utara
terus membayangi kestabilan kawasan Asia. Sedangkan di sisi yang lain,
kekuatan ekonomi dunia yang sedang bangkit dan mulai menguasai dunia juga berada
di Asia, yaitu China. Dinamika ini semakin kompleks ketika kepentingan
negara-negara maju di luar kawasan Korea Utara dan berbagai kepentingan
negara maju di dalamnya.
Ketiga,
menunjukkan kepemimpinan Jepang yang lebih asertif secara internasional dengan
mengatur agenda pembicaraan dan inisiatif mengundang beberapa negara Asia-Pasifik,
Afrika dan lembaga internasional dalam G-7 outreach meeting. Diskursus yang
diangkat tentang kesejahteraan di Asia yang menempatkan Asia sebagai motor
perekonomian dunia merupakan tema yang relevan saat ini.
Inisiatif
Ekonomi Layaknya pertemuan penting lainnya, para pemimpin negara mengeluarkan
G-7 Ise-Shima’s Leaders Declaration
yang mengedepankan Inisiatif Ekonomi Ise-Shima. Pernyataan setebal 32 halaman
tersebut menggarisbawahi pentingnya beberapa hal seperti perekonomian dunia,
migran dan pengungsi, perdagangan, infrastruktur, kesehatan, perempuan,
siber, anti korupsi, iklim dan energi.
Dari
masing-masing persoalan tersebut sepakati beberapa hal yang lebih rinci lagi
untuk dilakukan. Di antara sekian banyak hal yang dibahas, mengatasi
persoalan melambatkan pertumbuhan ekonomi global masih menjadi perhatian yang
utama. Para pemimpin negara G-7 sepakat untuk menggunakan kebijakan fiskal,
moneter dan struktural secara terintegrasi.
Dengan
penerapan strategi fiskal yang fleksibel, mereka berharap dapat menciptakan
pertumbuhan dan lapangan kerja yang luas. Mereka juga sepakat untuk terus
melakukan serangkaian kebijakan struktural dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan, potensial output dan menjadi contoh bagaimana menangani
tantangan struktural.
Komitmen
negara-negara tersebut terus berinvestasi pada area-area yang mendukung
pertumbuhan ekonomi seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, energi yang ramah
lingkungan, ekonomi digital dan pengembangan sumber daya manusia. Serangkaian
kebijakan ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan tersebut dikombinasikan
dengan penguatan sektor perdagangan internasional.
Mereka
terus meyakinkan bahwa upaya perdagangan multilateral melalui organisasi
perdagangan internasional (WTO) harus dikedepankan. Sementara itu, sembari
terus melakukan liberalisasi perdagangan di berbagai kawasan dunia dengan
mendorong kesepakatan perjanjian perdagangan seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), Japan-EU Economic Partnership Agreement (EPA), the Transatlantic Trade and Investment
Partnerhip (TTIP).
Bila
dilihat dari dua komponen besar di atas, jelas bahwa upaya mengatasi kelesuan
ekonomi global sangat terletak pada dorongan pemerintah agar swasta khususnya
perusahaan- perusahaan global dan berskala besar lebih aktif. Artinya,
hambatan-hambatan tarif maupun nontarif harus semakin dihilangkan atas nama
bekerjanya mekanisme pasar secara lebih baik.
Bila
hal ini terus terjadi, tidak akan ada tempat lagi bagi negara berkembang
untuk menerapkan kebijakan yang protektif. Pada akhirnya, perlindungan
terhadap usaha nasional, pengusaha menengah dan kecil dan kelompok-kelompok
ekonomi marjinal semakin terpinggirkan. Hal ini yang harus menjadi perhatian
khususnya bagi negara-negara di Asia termasuk Indonesia.
Bangga
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) diundang dalam rangka G-7
outreach meeting untuk berbicara di depan tujuh pemimpin adidaya dunia di
Jepang. Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang diundang. Selain
Indonesia, beberapa negara yang diundang adalah antara lain Bangladesh, Laos,
Vietnam, Chad, Sri Lanka, dan Papua New Guinea.
Perwakilan
lembaga internasional seperti PBB, OECD dan Bank Pembangunan Asia pun
diundang. Undangan ini dapat dilihat dari tiga pandangan. Pertama, tidak bisa
dimungkiri Jokowi semakin diakui secara internasional. Kepemimpinan Jokowi
dalam menakhodai 255 juta penduduk Indonesia dan kompleksitas masalah yang
dihadapi Indonesia jadi salah satu alasannya.
Hingga
menjelang dua tahun kepemimpinannya, Jokowi relatif mampu mengatur
permasalahan ekonomi bahkan berhasil melakukan konsolidasi politik domestik
untuk mendukung pemerintahannya. Kedua, posisi strategis Indonesia di Asia
Tenggara tidak bisa dinafikan dari percaturan politik, ekonomi dan strategis
di kawasan.
Artinya,
bila para pemimpin G-7 berkomitmen menggerakkan ekonomi dunia yang sedang
lesu sedangkan Jepang dalam keketuaannya menegaskan bahwa Asia sebagai mesin
penggerak untuk bangkit, maka mendengarkan Indonesia menjadi keharusan.
Paparan yang disampaikan Jokowi pun berusaha menyambut sinyal dari para
pemimpin negara maju tersebut dengan mengedepankan pentingnya stabilitas
kawasan dankesejahteraanpada saat yang sama.
Ketiga,
bagi bangsa Indonesia sudah selayaknya bangga dengan kehadiran Jokowi
tersebut. Dalam khasanah percaturan global, diundang saja dalam satu forum
prestisius kelas dunia sudah menjadi hal yang diharapkan, apalagi bila
diberikan kesempatan untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Kehadiran
Jokowi ini juga merupakan penghormatan Indonesia terhadap negaranegara besar
di dunia. Indonesia menunjukkan partisipasi aktif dalam mewujudkan
kesejahteraan dunia.
Negara
G-7 dan Indonesia sama-sama berkepentingan menjalin hubungan yang baik,
khususnya Indonesia dan tuan rumah Jepang pascamemanasnya hubungan karena
kasus High Speed Train lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar