Ironi Kebijakan Impor Ikan
Rokhmin Dahuri ; Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani
Indonesia (Ganti)
|
KOMPAS, 14 Juni
2016
Di tengah gencarnya
klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang melimpahnya ikan di laut
Indonesia setahun terakhir, tiba-tiba Senin (6/6) lalu kementerian ini
mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor ikan. Impor ikan ini secara luas
meliputi semua jenis ikan, kecuali jenis-jenis ikan yang dilindungi dan
dilarang untuk diperdagangkan di pasar domestik.
Kebijakan ini bukan
hanya ironis, tetapi juga sangat menyesakkan dada. Pasalnya, pertama, Indonesia negara
kepulauan terbesar di dunia, yang tiga perempat wilayahnya berupa laut dengan
potensi produksi lestari (maximum
sustainable yield/ MSY) ikan laut yang besar 7,3 juta ton/tahun, sekitar
8 persen total MSY stok ikan laut dunia.
Di perairan umum darat (danau, sungai, waduk, dan perairan rawa tawar)
terdapat pula potensi produksi ikan 0,9 juta ton/tahun.
Selain itu, total
potensi produksi perikanan budidaya (aquaculture) di laut, perairan payau (tambak), dan
perairan tawar diperkirakan 60 juta ton/tahun. Dengan demikian, Indonesia sejatinya
memiliki total potensi produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya 68,2
juta ton/tahun, alias terbesar di dunia (FAO, 2012). Sementara, dengan
konsumsi ikan per kapita sekitar 38 kilogram dan jumlah penduduk 254 juta,
total kebutuhan ikan nasional hanya sekitar 9,7 juta ton/tahun. Artinya, jika sektor perikanan dikelola
secara cerdas dan benar, Indonesia tak hanya akan mampu memasok ikan untuk
kebutuhan domestik, tetapi juga bisa mengekspor beragam produk perikanan
untuk kebutuhan global (feeding the
world) secara berkelanjutan.
Kedua, sepanjang
sejarah NKRI, baru kali ini pemerintah mengeluarkan kebijakan impor ikan secara
luas. Sebelumnya, memang Indonesia mengimpor ikan, tetapi sebagian besar
berupa tepung ikan sebagai bahan baku untuk industri pakan ternak dan ikan,
dan jenis-jenis ikan yang tak bisa diproduksi di dalam negeri, seperti salmon
dan kepiting alaska. Itu pun dengan
volume terbatas, dan nilainya kecil. Contohnya, pada 2004 total nilai ekspor
perikanan Indonesia sebesar 2,9 miliar dollar AS, dan nilai impornya hanya
0,1 miliar dollar AS. Lalu, pada 2014
nilai ekspor perikanan mencapai 4,7 miliar dollar AS, sedangkan impornya 0,46
miliar dollar AS.
Ketiga, kalau betul
berkat kebijakan moratorium eks kapal asing, transhipment (alih muat ikan di
laut dari kapal penangkap ke kapal pengangkut), dan penggunaan seluruh jenis
pukat hela serta pukat tarik, membuat ikan di laut melimpah, seharusnya
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jauh sebelumnya sudah mempersiapkan
teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap) beserta SDM
nelayannya yang mampu menangkap ikan yang berlimpah itu secara lebih produktif,
efisien, dan ramah lingkungan.
Selain itu, sistem
rantai dingin, transportasi, dan logistik perikanan pun mestinya dibenahi
lebih dulu. Namun, karena tanpa
persiapan memadai, produksi perikanan tangkap (volume pendaratan ikan) di
hampir semua pelabuhan perikanan dan nilai ekspor perikanan pada 2015 turun
drastis. Kalau pada 2014 nilai ekspor
perikanan 4,7 miliar dollar AS, di 2015 terjun bebas menjadi hanya 2 miliar
dollar AS.
Sebenarnya, lonceng
peringatan kelangkaan bahan baku ikan bagi industri pengolahan hasil
perikanan akibat sejumlah kebijakan KKP itu sudah muncul sejak medio
2015. Buktinya, sejak saat itu
sejumlah unit pengolahan ikan di Bitung, Makassar, dan sentra industri
pengolahan ikan lainnya sudah mulai mengimpor ikan cakalang, tuna, dan
lainnya dari Korea Selatan, India, Tiongkok, dan Maladewa (Kompas, 15/2, dan
Bisnis.com Bitung, 16/1). Kondisi
memprihatinkan ini juga terkonfirmasi saat Wapres Jusuf Kalla melakukan
kunjungan kerja ke Bitung, Ambon, dan Tual pertengahan Maret 2016 (Kompas,
18/3), bahwa memang hampir semua pabrik pengolahan ikan
"megap-megap" atau gulung tikar lantaran kekurangan bahan baku.
Solusi
Kebijakan impor ikan
secara luas bukan hanya ironis, tetapi juga mencederai cita-cita luhur
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia
sebagai poros maritim dunia (PMD). Makna PMD adalah menjadikan laut sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi baru, pendulang devisa, penciptaan lapangan kerja,
kesejahteraan, dan daya saing baru.
Impor ikan secara luas
bukan hanya penghamburan devisa yang tak perlu karena potensi produksi
perikanan jauh lebih besar ketimbang kebutuhan nasional, tetapi juga
berpotensi membanjiri pasar dalam negeri, menghancurkan daya saing, dan
kesejahteraan nelayan kita. Dengan mengimpor
ikan, harga diri (dignity) dan kedaulatan ekonomi kita sebagai bangsa maritim
juga tergerus. Mestinya, di kala negara kewalahan akibat ketergantungan pada
impor daging sapi yang harganya kelewat mahal, kita genjot produksi ikan
serta produk perikanan lain, dan mengedukasi masyarakat agar beralih
mengonsumsi ikan dan seafood yang lebih bergizi dan sehat ketimbang daging
sapi.
Karena itu, kita tidak
perlu impor ikan secara luas.
Sebaliknya, KKP mulai sekarang mesti segera mengeluarkan izin penangkapan
untuk ribuan kapal ikan milik rakyat dan pengusaha nasional yang sudah
berbulan- bulan menganggur tertambat di sejumlah pelabuhan perikanan. Demikian juga halnya untuk sekitar 500
kapal ikan berukuran besar (di atas 100 GT) dan kapal modern "eks asing" yang memang sudah
lama menjadi milik pengusaha nasional dan dinyatakan hanya ada kesalahan
kecil oleh satgas IUU Fishing.
Ribuan kapal besar dan
modern ini segera digunakan untuk menangkap ikan di wilayah-wilayah perairan
laut yang menurut KKP stoknya melimpah (underfishing) atau yang selama ini
menjadi lokasi penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing. Contohnya di Laut Natuna, Sulawesi, Teluk
Tomini, Laut Banda, Laut Arafura, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di bagian
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Kita juga mesti segera mengaktifkan
kembali ratusan ribu nelayan pukat hela dan pukat tarik yang sudah
berbulan-bulan menganggur, atau kalaupun sebagian bisa melaut harus keluar
biaya mahal, karena harus menyogok oknum aparat nakal.
Berkelanjutan
Sudah tentu bahwa
semua aktivitas penangkapan ikan oleh kapal-kapal tersebut harus ramah
lingkungan dan tingkat penangkapan ikan di setiap wilayah perairan tidak
melebihi MSY-nya. Kaidah ini sangat penting untuk memastikan usaha perikanan
tangkap dapat memasok kebutuhan ikan nasional dan menyejahterakan seluruh
nelayan secara berkelanjutan. Secara paralel, kita meningkatkan produksi
berbagai jenis ikan melalui
intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi usaha perikanan
budidaya ramah lingkungan di perairan laut, payau, dan tawar.
Jenis ikan budidaya
laut yang relatif mudah dibudidayakan, sangat dibutuhkan untuk pasar domestik
maupun ekspor, dan keuntungannya lumayan besar, antara lain berbagai jenis
kerapu, kakap, bawal bintang, bandeng, gobia, abalone, kerang hijau,
gonggong, teripang, dan lobster. Untuk perairan payau, antara lain udang
windu, udang vanamme, kerapu lumpur, bandeng, nila salin, dan berbagai jenis
kepiting termasuk kepiting soka. Di
perairan tawar, kita bisa budidayakan ikan nila, patin (dori), lele, emas,
gurami, belida, baung, bawal air tawar, udang galah, lobster air tawar (Cerax
spp).
Sekadar ilustrasi
betapa besarnya potensi ekonomi perikanan budidaya adalah usaha budidaya
udang vanname. Indonesia memiliki 3
juta hektar lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang
vanamme. Jika kita usahakan 500.000
hektar (17 persen total potensi) dengan rata-rata produktivitas selama ini
sekitar 40 ton/hektar/tahun, maka bisa diproduksi 20 juta ton atau 20 miliar
kilogram udang per tahun.
Saat ini harga udang
vanamme di tambak (on-farm) rata-rata 4 dollar AS/kilogram, sehingga bisa
dihasilkan nilai ekonomi 80 miliar dollar AS (Rp 1.000 triliun/tahun atau
sekitar 40 persen APBN 2016. Rata-rata
keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta/hektar/bulan. Potensi tenaga kerja on-farm sebanyak tiga
orang/ hektar x 500.000 hektar = 1,5 juta orang. Dan, potensi tenaga kerja off-farm (orang
yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang) sekitar dua
orang/hektar x 500.000 hektar = 1 juta orang.
Mengingat jarak antara
lokasi penangkapan ikan (fishing grounds) atau budidaya ikan dengan pelabuhan
perikanan dan kawasan industri pengolahan ikan, maka pemerintah melalui BUMN
maupun perusahaan swasta harus mulai sekarang juga menyediakan jasa kapal
pengangkut ikan berpendingin. Selain
itu, pemerintah harus menjamin ketersediaan sarana produksi perikanan
(seperti alat tangkap, bahan bakar, perbekalan melaut, benih ikan, benur, dan
pakan) dengan jumlah mencukupi dan harga relatif murah bagi semua nelayan dan
pembudidaya ikan di seluruh wilayah NKRI.
Pasar untuk ikan hasil
tangkapan nelayan dan pembudidaya harus dijamin dengan harga yang
menguntungkan nelayan serta pembudidaya, dan sekaligus terjangkau oleh
rakyat. Permodalan (kredit perbankan) dengan suku bunga relatif murah dan
persyaratan relatif lunak (seperti di emerging economies lainnya) harus bisa
diakses seluruh nelayan dan pembudidaya ikan.
Jangan lupa, kita juga harus terus-menerus meningkatkan kapasitas dan
etos kerja nelayan dan pembudidaya ikan melalui program pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan secara sistematis dan berkesinambungan.
Dengan pendekatan
pembangunan kelautan dan perikanan seperti ini, niscaya kita tidak perlu
impor ikan secara luas. Lebih dari
itu, Indonesia bisa menjadi pengekspor ikan dan produk perikanan terbesar di
dunia; nelayan, pembudidaya ikan, dan rakyat lebih sejahtera; dan menjadi PMD
dalam waktu tidak terlalu lama, 2030. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar