Hukuman yang Merendahkan
M Ali Zaidan ;
Dosen Ilmu Hukum UPN ”Veteran”
Jakarta
|
KOMPAS, 31 Mei 2016
Ditandatanganinya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 sebagai
revisi atas UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak dapat disambut suka cita.
Pasalnya, perppu tersebut merupakan respons pemerintah terhadap merebaknya
kekerasan terhadap anak yang terjadi secara sistematis dan meluas.
Untuk menjadi UU,
perppu tersebut masih harus menempuh jalan panjang dan berliku. Hal ini
mengingat proses politik di DPR yang diwarnai berbagai kepentingan, di
samping masih adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Masyarakat di satu
pihak menyambut kehadiran perppu ini dengan antusias dan adanya harapan dapat
ditanggulanginya kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak. Namun, pada
sisi lain, beberapa kalangan—terutama dokter—belum ada kesepakatan apakah
tindakan kastrasi tidak bertentangan dengan etika kedokteran yang sejatinya
untuk mempertahankan hak hidup seorang pasien atau setidak-tidaknya menolong
pasien dalam batas-batas yang manusiawi.
Hukuman dalam bentuk
pengebirian dalam Perppu No 1/2016 dapat dinilai telah mengembalikan semangat
untuk membalas dendam terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini disebabkan
karena, di negara-negara modern, sistem hukuman tidak lagi memperkenankan
dijatuhkannya hukuman fisik.
Dikecualikan dari
konsep ini, yakni ketentuan yang terdapat dalam qanun yang berlaku di Aceh
karena acuannya adalah hukum Islam. Meski demikian, dalam perkara perzinaan (overspel) hukuman rajam tidak diikuti
dengan konsisten. Satu dan dua hal disebabkan jenis hukuman itu merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang melarang dijatuhkan hukuman yang
bersifat corporal punishment,
hukuman badani (fisik).
Pada era sekarang,
hukum dapat dipandang sebagai refleksi keberadaban suatu bangsa. Begitu juga
jenis-jenis hukuman yang diancamkan akan mencerminkan tingkat kebudayaan yang
telah dicapai oleh suatu masyarakat bangsa bersangkutan.
Sifat membalas
Perjalanan sejarah
sering kali tidak linear, tetapi bersifat sirkuler. Artinya, hukuman dengan
tujuan untuk membalas yang sejak lama telah ditinggalkan, sekarang malah
muncul kembali sebagai respons maraknya kejahatan, dan kegagalan sistem
peradilan pidana memberikan hukuman yang efektif terhadap kejahatan maupun
penjahat. Teori retributif yang pernah dikembangkan sejak zaman Immanuel Kant
telah bergeser ke arah teori resosialisasi dan bahkan rehabilitasi dengan
dikedepankannya konsep keadilan restoratif.
Hukum maupun hukuman
bukan semata-mata untuk pembalasan, atau perbaikan (resosialisasi). Hukum
maupun hukuman juga dimaksudkan agar memulihkan keseimbangan yang terganggu
akibat tindak pidana dengan mewajibkan kepada si pelanggar untuk mengganti
kerugian terhadap korban dalam hal tindak pidana itu menimbulkan kerugian
materiil.
Akan halnya terhadap
tindak pidana yang tergolong luar biasa, di samping dijatuhkannya hukuman
badan (penjara) dan denda, juga pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana
korupsi merupakan konsekuensi dianutnya ide double track system yang menggabungkan jenis hukuman (punishment) dan tindakan (treatment).
Dalam konteks perppu
di atas, sepanjang berkaitan dengan hukuman kastrasi telah menghidupkan
kembali teori pidana klasik di mana hukuman dimaksudkan sebagai sarana
pembalasan, yakni kejahatan dibalas dengan kejahatan pula. Implisit di dalam
konsep itu mengandung nuansa apa yang disebut oleh Hobbes dengan homo homini lupus, yang
konsekuensinya: manusia yang satu merupakan ancaman bagi manusia yang lain.
Untuk menghilangkan ancaman itu, si pengancam harus dibinasakan.
Di sini fungsi negara
dipertaruhkan. Dalam tingkatan tertinggi negara bertanggung jawab atas ide
dihidupkannya kembali konsep klasik yang semata-mata ditujukan untuk membuat
jera pelaku. Padahal, seperti kata Cesare Beccaria, sesungguhnya penjeraan
itu tidak pernah muncul dari hukuman yang berat, tetapi ditimbulkan dari
pidana yang patut.
Hukuman manusiawi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa sejak 1984 mengesahkan konvensi yang menentang penyiksaan,
tindakan lain yang kejam, tidak manusiawi atau tindakan/hukuman yang
merendahkan (Convetion Against Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).
Indonesia telah
meratifikasinya dengan UU No 5/1998. Konsekuensinya, cara-cara yang tidak
manusiawi dalam penegakan hukum, baik yang menyangkut proses penyidikan
sampai peradilan, harus dihindarkan. Begitu juga ketentuan legislasi maupun
hukuman yang dijatuhkan harus menghindarkan bentuk- bentuk hukuman yang
merendahkan manusia, yang bersifat kejam, dan tidak manusiawi.
Meskipun hukuman
kastrasi dipandang sebagai upaya terakhir di mana penerapannya harus
seselektif mungkin, disebabkan karena pengulangan atau menimbulkan korban
yang meluas, jenis hukuman itu tetaplah akan menimbulkan akibat yang tidak
humanis. Pemberatan ancaman pidana yang secara alternatif diancamkan, seperti
pidana mati, seumur hidup, atau 20 tahun jauh lebih manusiawi daripada
hukuman badan yang pelaksanaanya masih diperdebatkan.
Hukuman kebiri dalam
perppu hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang telah dewasa. Akan tetapi,
dengan diperberatnya hukuman, landasan filosofis maupun sosiologis hukuman
kastrasi telah kehilangan relevansinya.
Konvensi di atas
merupakan salah satu ketentuan universal yang dijiwai semangat self
determination dan tetap mengindahkan prinsip the rule of law yang telah
disetujui Indonesia.
Konsekuensinya, kita
pun harus menyesuaikan peraturan perundang-undangan maupun sistem penitensier
agar Indonesia tidak dipandang sebagai negara yang melanggar hak asasi
manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar