Bongkar Pasang Negara Pancasila
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 31 Mei 2016
Pancasila adalah
monumen gagasan agung mahakarya para pendiri bangsa Indonesia yang merupakan
manifestasi tekad mulia: mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang bahagia
dan sejahtera. Hasrat mulia tersebut dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi,
dan lestari sampai kini. Karya agung yang digali oleh Bung Karno dan
tokoh-tokoh kemerdekaan itu bersumber dari berlimpahnya kekayaan nilai-nilai
kearifan bangsa. Gagasan akbar tersebut setara bobotnya dengan dua ideologi
yang mendominasi dunia kala itu, liberalisme dan komunisme, yang membelah
dunia menjadi Blok Barat dan Blok Timur.
Berbekal cita-cita
mulia tersebut, bangsa Indonesia menyusun organisasi kekuasaan negara guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin. Namun, upaya itu tidak
selalu mulus, bahkan harus melalui jalan terjal, berkelok, berbelit,
berpilin-pilin. Sejarah panjang upaya menegara belum berhasil mewujudkan
tatanan kekuasaan yang menghasilkan pemerintahan efektif dan demokratis.
Bongkar pasang penataan kekuasaan, mulai dari perubahan konstitusi sampai
peraturan perundang-undangan turunannya, sosok negara Indonesia termasuk
pemerintahannya, hingga kini belum jelas benar.
Berbagai model bentuk
negara dan sistem pemerintahan silih berganti. Awalnya disepakati negara
kesatuan, kemudian menjadi negara federal, kembali ke negara kesatuan; dan
dinamika politik pasca reformasi, meskipun bentuknya negara kesatuan, rasa
federal juga menyengat. Tatanan pemerintahan tidak kalah dinamisnya. Diawali
sistem presidensial, berubah menjadi sistem federal, kembali ke presidensial,
dan hampir dua dekade terakhir menjadi rancu, presidensial rasa parlementer.
Muncul anekdot, bentuk negara dan pemerintahan adalah negara bukan-bukan. Bukan negara kesatuan, tetapi bukan pula
federal; bukan presidensial, tetapi juga bukan parlementer.
Pada tataran lebih
operasional semakin kusut masai dan nyaris melumpuhkan roda pemerintahan.
Contoh paling kasatmata adalah kebijakan otonomi daerah. Praktik
desentralisasi mulai penyeragaman total pemerintahan lokal, termasuk budaya
(atas nama persatuan dan kesatuan bangsa) pada masa Orde Baru, sampai rasa
federasi yang menihilkan peran pemerintahan pusat pada masa Reformasi. Tragisnya,
bongkar pasang acap kali disertai bongkar paksa karena absennya politik
perundang-undangan.
Dalam perspektif
ideologis, apakah akar permasalahan tersebut dan bagaimana diatasinya?
Mengingat akar permasalahan terletak pada tataran pengelolaan jiwa, tidak ada
resep instan untuk mengobati penyakit tersebut. Solusi harus dilakukan jangka
panjang dengan melakukan pendidikan hasrat manusia Indonesia dalam mengelola
gelora dan gerak jiwanya. Pendidikan hasrat akan menghasilkan manusia yang
terasah nuraninya sehingga secara gradual pengelolaan negara paralel dengan
pengelolaan jiwa yang memuliakan kekuasaan. Hadirnya negara bermartabat akan
mewujudkan keadilan, dan merupakan senjata yang sangat ampuh untuk melawan
ideologi apa pun.
Persoalan yang dihadapi
bangsa Indonesia adalah persoalan universal sepanjang sejarah umat manusia
dalam membangun kehidupan bersama. Perdebatan filosofis sekitar 2.500 tahun
lalu, persoalan tersebut dijawab oleh dalil Socrates yang dikutip oleh Plato
dalam buku Republic (editor dan
penerjemah Chris Emlyn-Jones dan William Preddy, 2013). Di bagian
pengantar, ”Structure of The State and
Soul”, intinya ia mendalilkan bentuk tatanan kekuasaan, mulai oligarki,
demokrasi, dan tirani paralel dengan tata kelola kalbu manusianya, terutama
elite penguasa. Kualitas pengelolaan kekuasaan negara sejalan dengan mutu
pengelolaan moral para penyelenggara negara. Jika tatanan kekuasaan
dikangkangi pemburu uang (money
grubbing), dapat dipastikan jabatan publik menjadi komoditas. Orang kaya
dipuja, mereka yang miskin dikutuk. Negara bermartabat akan mewujudkan
keadilan, dan merupakan senjata ampuh untuk melawan ideologi apa pun,
termasuk kapitalisme, komunisme, dan gerakan politik yang bertentangan dengan
Pancasila.
Perlawanan lain
dilakukan dengan meneliti pemahaman ideologi-ideologi tersebut. Meskipun
kedigdayaan kapitalisme masih kokoh sampai kini, tetapi tingkat kegelisahan
negara-negara industri yang menerapkan demokrasi kapitalis risau menghadapi
fenomena ketimpangan (inequality)
serta rasa tidak aman (insecurity)
juga semakin tinggi.
Sama halnya dengan
gerakan kaum komunis yang bersumber dari ajaran Marx dan dijadikan pergerakan
sosial dan politik oleh Friedrich Engels, sahabat Marx; dan kemudian menjadi
komunisme sebagai gerakan dan kekuatan politik Partai Komunis. Dengan
memahami filsafat Marx dapat dibongkar ajaran pergerakan Marxisme dan
diketahui mengapa komunisme tamat. Meskipun sebagai filsafat pemikiran tetap
eksis, ajaran itu telah kehilangan relevansinya.
Karena itu, peringatan
Hari Pancasila, 1 Juni, harus dijadikan momentum untuk menggugah ingatan yang
memuliakan nilai-nilai Pancasila. Melawan ideologi apa pun tak cukup dengan
pidato, retorika, seremoni, atau meliburkan Hari Pancasila, melainkan
pendidikan yang membangun hasrat mulia dan karakter bangsa. Maka, niat agenda
Revolusi Mental perlu segera dijabarkan lebih nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar