Hormon di Balik Kuasa dan Dahaga
Reza Indragiri Amriel ;
Penikmat Bacaan Tentang Bung Karno
|
KORAN SINDO, 04 Juni
2016
Kendati
kedigdayaannya selaku pemimpin nasional tidak terbantahkan, satu hal yang
acap dianggap memberi warna ”khas” terhadap nama besar Bung Karno:
keputusannya memiliki lebih dari satu istri.
Nama-nama
yang dikenal sebagai istri sang Proklamator adalah Oetari, Inggit, Fatmawati,
Hartini, Dewi, Kartini, Haryati, Yurike, dan Heldy. Selain nama-nama
tersebut, hingga kini masih mengapung obrolan tentang kemungkinan adanya
perempuan-perempuan lain yang pernah menjadi— meminjam kata-kata Hartini,
”istri-istri dan pacar-pacar Bapak”.
Bak
kata datuk nenek tempo doeloe, Bung Karno adalah tipe lelaki yang tak boleh
menengok kening licin. Apa motif Bung Karno menikahi sekian banyak perempuan?
Alasan paling fundamental yang pernah Bung Karno kemukakan adalah karena ia
pengagum kecantikan. Ungkapan itu, dalam biografi Bung Karno Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia , dibubuhinya dengan dalil bahwa Nabi Muhammad SAW pun
mencintai keindahan.
Itu
kalimat sadar yang Bung Karno utarakan secara terbuka. Namun, orang-orang psikologi
percaya bahwa perilaku manusia disebabkan oleh faktor jamak. Begitu pula para
penganut mazhab Biopsikologi atau Psikologi Faal. Mereka tidak percaya
sepenuhnya pada apa yang berseliweran dalam kesadaran manusia. Ada pengaruh
nonpsikis nan hebat yang diyakini tak kalah bahkan jauh lebih dominan
memengaruhi perilaku manusia.
Atas
dasar itu, meski tak terucap, niscaya ada penjelasan yang lebih esensial
sekaligus lebih jujur di balik sikap Bung Karno untuk berpoligami. Apalagi
karena perilaku poligami Bung Karno bergesekan dengan pandangan-pandangannya
sendiri tentang keperempuanan. Sebagaimana tulisannya dalam buku Sarinah,
semakin kuat dugaan bahwa justifikasi religi atas poligaminya itu lebih
sebagai pemulas bibir saja.
Bung
Karno seolah bukti hidup tentang pengaruh faktor hormonal terhadap
tindak-tanduk manusia. Sudah sejak lama testosteron diasosiasikan dengan
libido. Juga, Alexandra Alvergne dari Universitas Montpellier menemukan bahwa
lelaki yang berpoligami mempunyai tingkatan testosteron lebih tinggi. Sampai
di situ bisa disimpulkan, testosteron adalah hormon yang kemungkinan kuat
bertanggung jawab di balik derasnya dorongan yang Bung Karno alami untuk
berpoligami.
Studi
yang menyatakan bahwa hormon testosteron turun secara gradual setelah usia
tiga puluhan sepertinya tidak berlaku pada Bung Karno. Nyatanya, Bung Karno
kian kencang mempersunting sejumlah perempuan sebagai belahan jiwanya justru
saat ia berada di umur lima puluhan tahun.
Demikian
pula teori yang menyebut bahwa orang dengan level tes-tosteron yang tinggi
kurang peduli pada anak-anaknya. Teori itu tumbang untuk menjelaskan perilaku
Bung Karno yang faktanya sangat mencintai serta memerhatikan anak-anaknya,
dan itu diakui oleh darah daging Bung Karno sendiri. Betapa nyatanya pengaruh
faktor hormonal terhadap diri Bung Karno sebenarnya pernah dia akui sendiri.
Kepada
Cindy Adams, penulis biografinya, disebutkan testimoni bahwa ia adalah
seorang lelaki yang penuh dengan luapan hasrat seksual. Karena itu, Bung
Karno tak tedeng aling-aling berujar, ”Aku harus bercinta setiap hari!”
Begitulah efek testosteron di ranah kehidupan pribadi Bung Karno. Pada sisi
lain, testosteron juga yang boleh jadi merupakan penjelasan biologis-hormonal
tentang manuver-manuver politik revolusioner Bung Karno.
Semakin
Bung Karno bertambah umur, geledek politiknya semakin sambar-menyambar. Dari
perjuangan merebut Papua Barat, konfrontasi dengan Malaysia, keluar dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga rupa-rupa perlawanan terhadap
neokolonialisme-imperialisme. Semua itu diimbuhi kumandang Panca Azimat
Revolusi tiada henti, menjadi rentetan ledakan testosteron sang Pemimpin
Besar Revolusi di gelanggang politik.
Sebuah
studi yang dilakukan Robert Josephs dari Universitas Texas beberapa tahun
lalu mendukung spekulasi tersebut. Simpulannya, lelaki yang terpacu oleh
motivasi kekuasaan mempunyai kadar testosteron lebih tinggi. Semakin besar
ancaman atau pun tantangan yang dirasakan seorang anak Adam, semakin deras
pula pompaan hormon steroid itu terhadap perilaku agresifnya.
Lengketnya
hormon dalam kehidupan Bung Karno juga menyelipkan misteri tentang mengapa,
berdasarkan catatan perawatnya, ke tubuh Bung Karno disuntikkan testosteron
manakala dia bermukim di Wisma Yaso. Apakah karena Bung Karno mengalami penurunan
kadar testosteron (hypogonadism)?
Rasanya tidak mungkin. Pasalnya, ketika pemeriksaan medis terhadap organ
vital saja tidak dilakukan, apa pula urgensi penguasa kala itu untuk
memeriksa kondisi testosteron Bung Karno.
Tambahan
lagi, penurunan testosteron pada lelaki berumur tampaknya diagnosis yang
terlalu didramatisasi. European Male
Ageing Study menemukan, tingkatan testosteron menurun hanya 0,1% pada
lelaki berumur 40 tahun, 0,6% pada usia 50 tahun, dan 3,2% (60 tahun) dan
5,1% (70 tahun).
Itu
sebabnya, banyak praktisi medis meragukan ketepatan terapi pengganti
testosteron, sebagaimana yang dikenakan ke Bung Karno, karena penurunan
hormon tersebut ternyata tidak sebesar yang digembar-gemborkan. Pada sisi
lain, terapi testosteron juga direkomendasikan sekian banyak dokter dalam
penanganan pasien yang mengalami masalah ginjal, jantung, dan tekanan darah
tinggi. Problem-problem kesehatan itu pula yang tercatat diidap Bung Karno.
Hormon Bukan Segalanya
Apabila
manifestasi testosteron Bung Karno di ranah privat (poligami) dan arena
publik (revolusi) seperti tertulis di atas digabung menjadi satu, keluarlah
penalaran dari perspektif evolusi. Bahwa tingginya testosteron mempertinggi
peluang organisme bereproduksi sekaligus— pada saat yang sama— memperkokoh
kesiapan individu untuk berkonfrontasi.
Ujung-ujungnya,
manusia bertestosteron tinggi adalah manusia yang paling siap mempertahankan
diri. Tentu tidak mungkin mengabaikan unsur-unsur individual dan sosial
lainnya yang mengantarai hormon dan tingkah laku Bung Karno. Pun, terlalu
mengada-ada untuk lantas menyebut Bung Karno diperbudak hormon.
Terbukti,
sebagaimana dilukiskan panjang lebar dalam seluruh biografi para istri, anak,
bahkan ajudan Bung Karno, mereka mengabadikan figur yang pernah diangkat
menjadi presiden seumur hidup itu sebagai suami, sekaligus ayah dengan cinta
kasih sepanjang usianya. Allahu a’lam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar